Jaman berubah, ketika reyog dadag tidak lagi menggunakan penari jathil laki laki dan menggantikan anak perempuan sampai sekarang ini. Dan reyog dadag dan reyog Thik bisa berdampingan dalam satu lapangan, meski tidak satu arena, ini era tahun 85 an.
Namun kembali sejarah terulang lagi ketika musim kampanye orde baru, partai Golkar boleh memakai reyog dadak untu kampanye dan PDI, dan PPP tidak boleh memakai kesenian reyog untuk mengumpulkan massa. Dan akhirnya kala itu PDI menggunakan seni Sentherewe ini untu media pengumpul massa.
Kembali situasi pecah Jarang Kepang (Sentherewe) dianggap abangan dan reyog dadag dianggap mewakili golongan putih, bahkan kala itu muncul kata kata santri abangan dengan santri putihan, meski keduanya sama sama orang masjid.
[caption id="" align="aligncenter" width="567" caption="jaran kepang"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="567" caption="tampil di depan kantor bupati Ponorogo"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="567" caption="cemeti menggelegar, tanda tanda roh mulai datang, dan pertunujukan dimulai"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="567" caption="Pawang, bertugas sebagai penawar orang kesurupan"][/caption]
Bahagia rasanya Peringatan Hari Jadi Kabupaten Ponorogo ini menjadi momentum bersatunya seni seni yang ada di Ponorogo, selain reyog dadag. Bupati dan wakil bupati menerima cindera mata Cemeti besar dari  pawang (gambuh) sebagai ungkapan diterima kasih atas diterimanya kembali seni ini di Ponorogo.
Seni dan politik terkadang bisa berjalan selaras dan terkadang saling bertolak belakang, sesuai selera jaman. Dan karena kepentingan politik tertentu seni jadi kurbannya,agama dan seni seringkali diadu domba,
"Seni tanpa agama akan amburadul, agama tanpa seni akan kaku."
*) salam jepret dari kampret
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H