Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pasang Surut Seni Jaran Kepang Di Ponorogo

30 Agustus 2014   21:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:04 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="567" caption="Jaran kepang, jaran dor, Senterewe, Jaran Thik, Kuda Lumping "][/caption]

Ada yang baru di peringatan hari Jadi Kabupaten Ponorogo kemarin, ada 5-7 kelompok peserta yang menampilkan seni Kuda Lumping, dan ini baru pertama kalinya terjadi. Orang sering menyebut Sentherewe, Jaran Thik, Jaran Kepang, Jaran Pegon, Jaran Dor namun kesemuanya mirip dalam penampilan maupun iringan gamelan serta tariannya.

Ada semacam makna rekonsialisasi, karena masyarakat Ponorogo beranggapan kedua seni ini dulu bertolak belakang atau bermusuhan.

Masih terngiang di ingatan penulis waktu kecil ketika nenek penulis melarang ketika mau menonton seni Jaran Kepang ini, nenek bilang tabu, karena seni ini kental dengan syetan dan dedemit, dan puncaknya ketika kakak perempuan penulis terinjak orang yang ndandi (kesurupan), dan kakak harus dirawat di puskesmas.

[caption id="" align="aligncenter" width="563" caption="jaran thik di hari Jadi Ponorogo"][/caption]

Namun intinya bukan itu nenek melarang, menurut mbah Panut yang kalau itu penulis curhati jaman masih anak-anak, mbah Panut bilang Jaran Kepang indentik dengan musrik, mulai dari persiapan yang memakai kemenyan dan wewangian dan bunga bungaan. Penulis waktu itu protes reyog dadag juga memakai juga. Mbah Panut diam sambil berkata kelak kalau saya dewasa akan tahu apa alasannya.

Penulis masih teringat ketika itu para penari jathil reyog anak-anak laki-laki sebaya penulis, dan belum perempuan seperti sekarang ini, itu di era tahun 70-80 an. Teman laki laki yang jadi penari jaranan reyog dianggap banci di sekolah, dia selalu necis perpakaian, dan ngomongnya kelemak kelemek seperti perempuan, dan ditangannya hampir selalu memakai jam tangan yang ada krepyaknya warna gilap terang, dan waktu tampil dimake up halus seperti perempuan.

[caption id="" align="aligncenter" width="567" caption="celengan dan penari jaran kepang"][/caption]

Dan kebetulan kakak sepupu ada yang mencuri curi kesempatan untuk begabung seni kuda lumping di dusun sebelah,  pada waktu itu kakak sepupu bilang, ndak mau jadi penari jathil reyog karena takut dikeloni oleh pembarong. Terang saja make up penari jarang kepang didominasi merah dan hitam yang sangar dan menakutkan pikir saya kalau itu.

Penulis kecilpun mencuri curi kesempatan ikut kakak sepupu tampil, ternyata seni jaran kepang di dusun sebelah adalah buat tandingan dengan seni reyog dadag yang dianggap keliru karena melegalkan hubungan sejenis antara penari jathil laki  laki dengan pembarong atau para orang kaya yang kala itu mengasuh gemblag atau penari jathil reyog tersebut.

[caption id="" align="aligncenter" width="420" caption="mata merah, melilik penari sudah mulai kesurupan"][/caption]

Jaman berubah, ketika reyog dadag tidak lagi menggunakan penari jathil laki laki dan menggantikan anak perempuan sampai sekarang ini. Dan reyog dadag dan reyog Thik bisa berdampingan dalam satu lapangan, meski tidak satu arena, ini era tahun 85 an.

Namun kembali sejarah terulang lagi ketika musim kampanye orde baru, partai Golkar boleh memakai reyog dadak untu kampanye dan PDI, dan PPP tidak boleh memakai kesenian reyog untuk mengumpulkan massa. Dan akhirnya kala itu PDI menggunakan seni Sentherewe ini untu media pengumpul massa.

Kembali situasi pecah Jarang Kepang (Sentherewe) dianggap abangan dan reyog dadag dianggap mewakili golongan putih, bahkan kala itu muncul kata kata santri abangan dengan santri putihan, meski keduanya sama sama orang masjid.

[caption id="" align="aligncenter" width="567" caption="jaran kepang"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="567" caption="tampil di depan kantor bupati Ponorogo"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="567" caption="cemeti menggelegar, tanda tanda roh mulai datang, dan pertunujukan dimulai"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="567" caption="Pawang, bertugas sebagai penawar orang kesurupan"][/caption]

Bahagia rasanya Peringatan Hari Jadi Kabupaten Ponorogo ini menjadi momentum bersatunya seni seni yang ada di Ponorogo, selain reyog dadag. Bupati dan wakil bupati menerima cindera mata Cemeti besar dari  pawang (gambuh) sebagai ungkapan diterima kasih atas diterimanya kembali seni ini di Ponorogo.

Seni dan politik terkadang bisa berjalan selaras dan terkadang saling bertolak belakang, sesuai selera jaman. Dan karena kepentingan politik tertentu seni jadi kurbannya,agama dan seni seringkali diadu domba,

"Seni tanpa agama akan amburadul, agama tanpa seni akan kaku."

*) salam jepret dari kampret

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun