Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pedagang Kembang Salatiga Ajarkan Keikhlasan

8 September 2014   04:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:20 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_322535" align="aligncenter" width="540" caption="Mbah Paijah pedagang kembang di pasar besar kota Salatiga"][/caption]

Dinginnya Salatiga terasa sampai tulang, meski matahari enggan untuk semburat para pedagang sayur dan pekerja di pasar besar Kota Salatiga sudah hilir mudik tanpa merisaukan dinginya udara, mungkin ia sudah terbiasa.

Meski berkali-kali mengunjungi salatiga, namun baru kali ini keluar di pagi hari untuk keliling kota untuk melihat-lihat. Tujuan saya meengunjungi pasar tradisional karena pasar Salatiga meski sudah dibangun dengan megah dan bersih namun para penjualnya masih unik dan mengusik untuk saya dekati.

[caption id="attachment_322740" align="aligncenter" width="540" caption="mawar buat ke kuburan"]

14100989231269963622
14100989231269963622
[/caption]

Jumat pagi itu saya penasaran dengan bunga mawar berhamparan sepanjang jalan anatar pasar utara dan selatan, bunga-bunga dibiarkan begitu saja ditaruh di bawah dialasi karung bekas beras, tampak para penjual sudah nenek-nenek. Dengan ramahnya mereka menawarkan bunga, "Ngersakne sekar mas....? kata perempuan tua yang saya hampiri, dengan menggeleng saya menjawab, "Matur suwun mbah mboten, kulo tiyang tebih, meniko sekar kagem nopo kok kathah sanget?"

"Sekar kagem nyekar, ngirim luhur mas, mase daleme pundi?" si simbah yang belakangan bernama Paijah itu menjawab disertai pertayaan halus yang semanak.

"Kulo Jawa Timur, niki pas liwat mriki nggumun kok sekar mawar kathah sanget, lajeng kulo tangklet meniko mbah" jawab saya sambil mengamati hamparan mawar putih yang ada di hadapan saya.

"Tiyang Solotigo yen malem atawi dinten Jemuah sami ngirim luhure, ndongakne luhure sing wis mati ben teng akherat saget ayem lan adem..." Mbah Painah menjelaskan.

"Yen moro dateng kuburan lan kathung-kathung nggowo kembang rasane luwih marem mas, yen gak anak putu sopo maneh sing arep ndongakne mbah mbahe, eklas kanthi ngarep ngarep pangapurane Pangeran mas... iklaas..." tambahnya lagi.

[caption id="attachment_322739" align="aligncenter" width="540" caption="beda bunga beda gunanya"]

14100987271230088607
14100987271230088607
[/caption]

"Mbah yen kembang sing ditumbas mase sing numpak motor niku kok sae dowo dowo mbah, niku nggih damel nyekar mbah?" tanya saya pada simbah sambil menunjuk anak muda yang baru membeli bunga yang dibungkus dengan kertas koran yang kebetulan beberapa meter dari saya dan simbah ngomong-ngomong.

"Kalau mas e itu buat pacarnya, dia nggak iklas dia memberi bunga dengan mengharap dicintai oleh pacarnya, kalau ndak gitu bunga itu untuk merayu mas" jawab cucu nenek yang bantu bantu bersihkan mawar.

"Wakakakakakaka......... ngaten nggih" saya terbahak mendengar penjelasan cucu mbak Paijah.

"Injih mas.... kalau nyekar ke leluhur itu ndak mengharap apa-apa dari orang yang dibawakan kembang, malah mendoakan buat yang dibawakan, ini bener bener ikhlas, beda dengan mase itu, dia bawakan buat pacarnya, dia purih, dia punya tujuan dari yang dibawakan...." timpal tukang becak yang berada deket nenek Paijah sambil nongkrong di becaknya.

[caption id="attachment_322741" align="aligncenter" width="540" caption="akrab, tukang becak Salatiga"]

1410099482337412837
1410099482337412837
[/caption]

"Matur nuwun mbah sampun dijelasne, sepuntene kulo tak tumbas anggrek e mawon sing wonten plastik polybak niku mawon pintenan?" sambil memilah milah bakalan anggrek bulan yang berada di bawah lapak si nenek.

"Borong mawon sedoyo, papat niku 30 ewu pas gak nawakne, yen gak sing tuku nggantheng gak bakalan tak wenehne" jawab si mbah Paijah sambil senyam senyum karena kamera saya terus ceprat-cepret.

[caption id="attachment_322742" align="aligncenter" width="540" caption="Salatiga pagi yang dingin, pedagang bunga berjaket tebal"]

14100998081959792773
14100998081959792773
[/caption]

[caption id="attachment_322743" align="aligncenter" width="540" caption="keramahan mereka ajarkan keiklasan"]

1410099934950775197
1410099934950775197
[/caption]

*) Bahasa campuran Jawa dan bahasa Indonesia karena mbah Paijah tidak bisa pakai bahasa Indonesia

*) Salam Njepret, salam Kampret

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun