Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Orang Kedua Tak Sekedar sebagai Pendulang Suara

13 September 2014   18:29 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:48 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sejarah kepemimpinan di Indonesia  dulu hanya wakil presiden yang ada belum ada wakil kepala daerah, itu pun dulu kesannya hanya simbolis, perannya bisa dikatakan ada dan tidak adanya wakil sama saja. Terutama jaman orde baru peran presiden (Pak Harto) sangat dominan. Segala keputusan yang setrategis dipegang oleh presiden, dan wakil presiden hanya seremonial belaka, seperti menghadiri upacara, undangan, serta peresmian proyek.

Namun sejarah berbalik ketika kejatuhan Pak Harto, wakil presiden kala itu BJ Habibie ditunjuk untuk menggantikan Pak Harto yang mengundurkan diri karena desakan dari berbagai pihak. Semua baru menyadari bila wakil presiden sangat berperan, meski dari dulu jabatan presiden dan wakil presiden jelas-jelas termaktup dalam UUD 45. Tapi itulah sejarah negeri kita.

Setelah saat itu pemilihan presiden dan wakil presiden benar-benar mengalami perubahan yang dramatis, dari yang hanya simbolis menjadi demokratis untuk kali pertamanya, dan kala itu Gusdur terpilih mengalahkan Megawati, dan pada babak selanjutnya Megawati menjadi wakil presidennya.

Waktu hanya berselang beberapa tahun Gusdur dijatuhkan oleh partai pengusungnya, dan Gusdur pun benar-benar lengser dan wakilnya menggantikannya. Dan kali ke dua wakil presiden menjadi Presiden setelah presidennya lengser. Dan Megawati didampingi oleh wakil presiden Hamzah Haz kala itu. Untuk kali kedua orang kedua bukan sebagai pelengkap.

Dan selanjutnya dilakukan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, presiden SBY kala itu menggadeng JK memenangkan pertarungan dan berhak memimpin Indonesia, dan baru saat itulah wakil presiden terasa benar-benar ikut mengambil keputusan. Namun kala itu JK dicurigai langkahnya melebihi langkah SBY presidennya, banyak keputusan strategis yang lahir dari pemikirannya, seperti BBM, Elpiji 3 kg, dan kebijakan moneter sampai isue BLBI sampai ujungnya SBY dan JK harus bercerai, dan keduanya mencalonkan diri sendiri sendiri. Dan SBY kala itu yang memenangkan pertarungan pilpres langsung yang mengusung Budiono. Kala itu Budiono berangkat dari praktisi perbankan dan moneter dan saat itu pula negara sedang dilanda badai moneter, mungkin kejelian SBY mengusung Budiono kala itu sehingga bisa mendulang suara. Kesederhanaan Budiono dan latar belakang pekerjaan kala itu bisa mengambil simpati rakyat menghasilkan dulangan suara yang menjadikannya presiden dan wakil presiden.

Dan pemilihan langsung diikuti oleh pemilihan kepala daerah daerah di Indonesia kecuali propinsi Yogyakarta.

Dan masih lekat diingatan kita calon kepala daerah atau presiden menggadeng calon wakil yang berbasis masa, bukan berlatar belakang keahlian atau basic keilmuan. Banyak pemuka agama dan lingkungan pesantren ataupun organisasi keagamaan terjun ikut dalam pilpres atau pilkada, dengan harapan bisa mendulang suara dari masanya. Banyak orang NU, Muhammadiyah, Masyumi, serta Islam moderat kala itu (PKS) terjun ke dunia politik.

Dan lagi-lagi wakil presiden, atau wakil kepala daerah seakan duduk di belakang meja, dan seakan dijadikan umpan untuk mendulang suara, bukan dipilih dari keahlian dan latar belakang pendidikannya.

Peta politik begitu terhentak lagi ketika Jokowi mengandeng Ahok untuk memimpin Jakarta, Jokowi yang kalem didampingi tukang gebrak Ahok seakan menjadi paket yang serasi. Di mana unsur api dan unsur air bersatu, yang satu mendinginkan dan mencari aliran sungai yang satu bersemangat seperti api.

Namun hal ini menjadikan kepanikan di tubuh partai pengusung, ketika orang yang diusungnya lebih mementingkan kepentingan bukan kepentingan yang menguntungkan partai, sebut saja Risma, Ahok, dan Jokowi mereka lebih mementingkan kepentingan rakyat yang memilihnya dibanding partai yang mengusungnya. Hal ini bisa dilihat ketika Risma dihakimi partai pengusungnya, dan bisa dilihat ketika Jokowi belum mendapat restu dari partainya ketika rakyat bawah mencalonkan dirinya karena partai kala itu sudah menjalin komitmen dengan partai lain untuk mengusung orang luar partai, lagi-lagi terjadi perdebatan dalam partai pengusungnya dan akhirnya Jokowi diusung oleh partainya meski akhirnya partainya mengambil resiko mengingkari komitmen dengan partai lain yang hingga sampai kini masih berlanjut cerita itu.

Lagi-lagi Ahok, dia tipe pemimpin yang keras kepala asal urusan rakyat dia akan libas segalanya, demi rakyat dan demi rakyat demi rakyat......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun