Memang tidak kaget orang seperti Bu Isti dan rata-rata yang hadir di resepsi adalah para priyayi, yang selama ini sebagian besar belum pernah merasakan namanya nongkrong di angkringan, apalagi angkringan lebih lekat dengan orang kecil dan orang pinggir jalan.
"Lucu Mas... teh dicampur jahenya manteb meski jahenya cuman direbus dan ndak kelihatan, saya sampai tanduk 2 gelas biar badan anget," kata Pak Soemarmo kepada saya, dan saya pun terus jeprat-jepret.
"Meski menu makanan sama, namun penyajiannya yang berbeda Pak, di sini harus kelihatan lebih bersih. Kalau ndak gitu kita dimarahi oleh yang ngontak kita," kata Agus sambil menunjuk tahu bacem, tempe bacem, mendol, tahu goreng, sundukan, dan nasi bungkusan sambal dan teri.
"Air cuciannya harus ngalir, harus disabun gelas dan piringnya, dan dilap sampai bersih," imbuhnya lagi.
"Beda dengan jualan saya yang di pinggir jalan, tidak terlalu ribet, namun begitu saya juga memperhatikan kebersihan," jelas Agus lagi. Dan saya percaya karena saya mau beli di angkringan Agus yang di Soekarno-Hatta Ponorogo karena kebersihannya.
"Selamat berkuliner, selamat ber-angkring ria"
*) Salam Jalan-jalan
*) Salam Njepret
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H