Mereka berangkat bekerja bersama-sama dan pulangnya bersama-sama memakai 2 kendaraan, yang satu alat perontok padi yang dimodifikasi bisa untuk dinaiki meski terlihat berbahaya, dan satunyanya lagi naik pick up terbuka. Ongkos bahan bakar mereka tanggung bersam-sama dengan iuran dari hasil kerjanya. Â Meski berbahaya mereka seakan mengesampingkan resiko tersebut, dan untuk menghindari polisi lalu lintas mereka melewati jalan-jalan kecil jalan pintasan.
Tak jauh dari lahan bu Partini, nampak pula traktor pemanen padi masih meraung-raung di tengah sawah. Orang Madiun lebih suka menyebut Dozz. Dan saya pun penasaran ingin mendekat, kepingin tahu apa perbedaan panen dengan tenaga manusia dengan panen dengan tenaga mesin kayak mesin dozz ini.
Untung pemilik dozz berada di pinggir sawah tempat saya memotret, sementara 3 anak buahnya bekerja mengoprasionalkan mesinnya,
"Ongkosnya harian atau per luas lahan pak" tanya saya.
"Per kotak mas, sak kotaknya 350 ribu, yang punya padi tinggal nunggu di jalan besar ini, karena padi keluar langsung dimasukan karung, dan tinggal terima bersih." jawab pak Karno pemilik doz.
"Sehari bisa dapat berapa kota pak?" tanya saya.
"Antawis 4-5 kotak mas..." jawab pak Karno.
Luar biasa, lebih hemat tenaga, lebih hemat biaya, dan praktis dibanding dengan tenaga manusia. Dan pemilik sawah tinggal menungu di jalan besar sambil mengawasi tanpa mengeluarkan uang makan dan jasa angkut dari tengah sawah ke tepi, tanpa harus tapen (memisahkan yang kotor dan bersih), karena sudah ada blowernya yang memisahkan kotoran dengan padinya.