[caption id="attachment_346197" align="aligncenter" width="600" caption="Menimbang dagangan, memakai 3 lonjor bambu yang di bikin mirip tripod-nya tukang foto"][/caption]
Ponorogo, 14/01/15
Berkali-kali berkunjung ke telaga Ngebel baru tadi pagi tahu kalau diujung tenggara ada pasar, pasar yang sudah turun temurun. Karena selama ini begitu datang (sekitar subuh) langsung mengarah ke masjid dan setelah itu mencari spot barat telaga untuk menikmati matahari terbit dari balik bukit sebelah timur.
Pasar krempyeng, entah mengapa sering disebut begitu.
"Yen pengin moto teng mriki radi enjing mas, yen yah menten pun buyaran..." kata bu Sanikem sambil menimbangi ketela rambat di lonjoran bambu yang dibikin seperti tripot untuk menggantung timbangan neraca gantung. Dia menyarankan kepada saya kalau kepingin foto-foto di pasar supaya datang lebih awal.
"La milaine jam pinten bu bikake?" saya balik bertanya
"Jam 12 dalu niko tiyang tiyang sampun ngrembati dagangan asil tanen mas... jam 3 dalu sampun kebak peken mriki...." jawab bu Sanikem, dia menjelaskan kalau jam 12 malam orang-orang sudah berdatangan memikul hasil pertanian untuk dijual dipasar ini, dan jam 3 pagi pasar sudah ramai.
"Yen dalu sae, tiyang tiyang sami mbeto obor jentrek-jentrek, senter sentolop pating clorot iring-iringan bidal dateng peken ngiriki.....sampeyan saget mota-moto mas...." tambah bu Sanikem, dia menjelaskan orang-orang sini beragakat ke pasar bersama-sama dengan penerangan obor dan lampu senter, sinarnya gemerlapan di malam hari indah kalu di foto.
Saya jadi penasaran kepingin datang agak malam dan langsung menuju ke arah pasar ini.
[caption id="attachment_346198" align="aligncenter" width="600" caption="berjualan di bibir telaga, sudah terbiasa dari turun temurun"]
"Saben dinten pekenan bu peken mriki?" tanya saya