"Geser ke kanan sedikit. Jangan menghalangi sinar matahariku," sahut pria gaek yang berbaring itu sembari mengangkat kepalanya sedikit. Dia barusan ditanya apa keinginannya. Jawaban dari mulutnya betul-betul tak terduga sama sekali. Dia tampak tak peduli dan tetap asyik-ma'syuk menikmati sinar mentari pagi yang menghangatkan jiwa.
Sosok di hadapan pria gaek pun bergeser, antara kaget, bingung, kagum, terpaksa dan sukarela. Sosok itu sejatinya seorang raja besar, Alexander Agung. Alexander bermimpi bisa memenuhi keinginan pria gaek di depannya itu, dan bertanyalah dia. Rupanya maksud sang pria paling tangguh di muka bumi itu ibarat gayung tak bersambut. Jawaban pria gaek lebih seperti meledeknya.
Lelaki gaek di depan Alexander itu adalah Diogenes. Alexander yang dikawal pasukan elitnya beringsut mundur, berbalik, dan berjalan menjauh. Orang-orang di pasukannya itu pun mulai menertawakan dan mengolok-olok kebodohan dan kenaifan si gaek lancang di belakang. Tak mungkin si gaek itu tak tahu betapa kuat, kaya, dan berkuasanya pemimpin mereka ini, sehingga tinggal sebut saja maunya apa, pastilah terkabul. Tapi, manakala mendengar celotehan para bawahannya, Alexander justru berkata mantap,"Kalau aku bukan Alexander, maka aku ingin menjadi seperti Diogenes."
Siapakah dan mengapa Diogenes selancang itu?
Diogenes (412 atau 404 SM -- 323 SM) dianggap orang-orang Yunani sebagai bijaksanawan. Dia murid Antisthenes yang senyatanya murid Sokrates, filsuf bijak legendaris. Dibanding Platon, Antisthenes memang kalah tenar meskipun yang pertama lebih muda dua dekade darinya. Dan, muridnya, si Diogenes kiranya juga lebih masyhur tinimbang gurunya.
Kemiskinan merupakan kebajikan. Demikian pandangan Diogenes. Dia lazim meminta-minta untuk menyambung hidup. Dia acapkali tidur di dalam pithos, guci keramik besar, di pasar yang dionggokkan dengan posisi melintang. Ia masyhur tidur dan makan dimanapun dia mau dan meneguh-kuatkan dirinya terhadap alam. Diogenes dengan gaya hidup ugahari dan tingkah lakunya mengecam nilai-nilai sosial dan kelembagaan yang dia lihat sebagai masyarakat nan bingung dan korup. Dia mendaku orang yang kosmopolitan dan warga dunia tinimbang berikrar setia pada satu tempat semata.
Pria kelahiran Sinope ini dianggap menggiring ajaran filsafat Sinisisme (Cynicism) pada bentuk ekstremnya. Dia juga dianggap menjadi pola dasar (archetype) filsuf Sinis (Cynic). Saat menyindir tentang kekayaan, ia berhikmat, "Di rumah orang kaya tak ada tempat untuk buang ludah kecuali di wajahnya."
Diogenes pernah membawa lentera di siang bolong. Saat ditanya mengapa, ia menukas, "Aku mencari manusia." Manakala ditanya soal menjaga keamanan diri, jawaban Diogenes sungguh memicu nalar. "Seorang lelaki perlu kawan yang baik atau musuh yang gigih, karena yang pertama berperan mengarahkan dirinya sedangkan yang terakhir menjadikannya harus bekerja keras."
Karena dia dikenal sebagai filsuf tapi mengemis, dia pernah disodori pertanyaan sarkastis mengapa orang-orang berderma pada pengemis tapi tidak pada filsuf. Dia pun menjawab, "Karena orang menganggap satu saat kelak dirinya akan lumpuh dan buta, tapi mereka tak pernah menganggap diri sendiri berkeinginan jadi filsuf." Diogenes sering diolok-olok sebagai anjing, dia menukas, "Anjing-anjing lain hanya menggigit musuhnya, kalau aku, teman-temanku juga kugigit agar mereka selamat."
***
Bila Diogenes ada di peradaban Yunani, dalam peradaban Islam, kita perlu membincang Abu Nawas (lahir circa 757 M). Syair Abu Nawas dikenal di mesjid-mesjid dilantunkan setelah selesai wiridan. Syairnya itu yang bunyinya: Ilahi lastu lil firdausi ahlaa/Walaa aqwa 'alannaril jahiimi/Fahabli taubatan waghfir dzunubi/Fainnaka ghafirudzdzambil 'adziimi/Dzunubi mitslu a'dadir rimali, fa habli taubatay-ya dzal jalali/Wa 'umri naqishu fi kulli yaumi/wa dzambi zaidun kaifa ihtimali; Tuhanku, aku tak layak menjadi penghuni (surga) Firdaus/tapi aku juga tak kuat menghadapi api Neraka Jahim/Maka terimalah taubat dan ampuni dosaku/karena Engkau adalah Maha Pengampun dosa/Dosaku bertebaran layaknya pasir/terimalah taubatku wahai Dzat yang penuh keagungan/Tiap hari umurku terus berkurang/sedangkan dosaku terus bertambah, bagaimana aku akan memikulnya?