Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Diogenes, Abu Nawas

8 April 2024   13:01 Diperbarui: 8 April 2024   13:21 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Geser ke kanan sedikit. Jangan menghalangi sinar matahariku," sahut pria gaek yang berbaring itu sembari mengangkat kepalanya sedikit. Dia barusan ditanya apa keinginannya. Jawaban dari mulutnya betul-betul tak terduga sama sekali. Dia tampak tak peduli dan tetap asyik-ma'syuk menikmati sinar mentari pagi yang menghangatkan jiwa.

Sosok di hadapan pria gaek pun bergeser, antara kaget, bingung, kagum, terpaksa dan sukarela. Sosok itu sejatinya seorang raja besar, Alexander Agung. Alexander bermimpi bisa memenuhi keinginan pria gaek di depannya itu, dan bertanyalah dia. Rupanya maksud sang pria paling tangguh di muka bumi itu ibarat gayung tak bersambut. Jawaban pria gaek lebih seperti meledeknya.

Lelaki gaek di depan Alexander itu adalah Diogenes. Alexander yang dikawal pasukan elitnya beringsut mundur, berbalik, dan berjalan menjauh. Orang-orang di pasukannya itu pun mulai menertawakan dan mengolok-olok kebodohan dan kenaifan si gaek lancang di belakang. Tak mungkin si gaek itu tak tahu betapa kuat, kaya, dan berkuasanya pemimpin mereka ini, sehingga tinggal sebut saja maunya apa, pastilah terkabul. Tapi, manakala mendengar celotehan para bawahannya, Alexander justru berkata mantap,"Kalau aku bukan Alexander, maka aku ingin menjadi seperti Diogenes."

Siapakah dan mengapa Diogenes selancang itu?

Diogenes (412 atau 404 SM -- 323 SM) dianggap orang-orang Yunani sebagai bijaksanawan. Dia murid Antisthenes yang senyatanya murid Sokrates, filsuf bijak legendaris. Dibanding Platon, Antisthenes memang kalah tenar meskipun yang pertama lebih muda dua dekade darinya. Dan, muridnya, si Diogenes kiranya juga lebih masyhur tinimbang gurunya.

Kemiskinan merupakan kebajikan. Demikian pandangan Diogenes. Dia lazim meminta-minta untuk menyambung hidup. Dia acapkali tidur di dalam pithos, guci keramik besar, di pasar yang dionggokkan dengan posisi melintang. Ia masyhur tidur dan makan dimanapun dia mau dan meneguh-kuatkan dirinya terhadap alam. Diogenes dengan gaya hidup ugahari dan tingkah lakunya mengecam nilai-nilai sosial dan kelembagaan yang dia lihat sebagai masyarakat nan bingung dan korup. Dia mendaku orang yang kosmopolitan dan warga dunia tinimbang berikrar setia pada satu tempat semata.

Pria kelahiran Sinope ini dianggap menggiring ajaran filsafat Sinisisme (Cynicism) pada bentuk ekstremnya. Dia juga dianggap menjadi pola dasar (archetype) filsuf Sinis (Cynic). Saat menyindir tentang kekayaan, ia berhikmat, "Di rumah orang kaya tak ada tempat untuk buang ludah kecuali di wajahnya."

Diogenes pernah membawa lentera di siang bolong. Saat ditanya mengapa, ia menukas, "Aku mencari manusia." Manakala ditanya soal menjaga keamanan diri, jawaban Diogenes sungguh memicu nalar. "Seorang lelaki perlu kawan yang baik atau musuh yang gigih, karena yang pertama berperan mengarahkan dirinya sedangkan yang terakhir menjadikannya harus bekerja keras."

Karena dia dikenal sebagai filsuf tapi mengemis, dia pernah disodori pertanyaan sarkastis mengapa orang-orang berderma pada pengemis tapi tidak pada filsuf. Dia pun menjawab, "Karena orang menganggap satu saat kelak dirinya akan lumpuh dan buta, tapi mereka tak pernah menganggap diri sendiri berkeinginan jadi filsuf." Diogenes sering diolok-olok sebagai anjing, dia menukas, "Anjing-anjing lain hanya menggigit musuhnya, kalau aku, teman-temanku juga kugigit agar mereka selamat."

***

Bila Diogenes ada di peradaban Yunani, dalam peradaban Islam, kita perlu membincang Abu Nawas (lahir circa 757 M). Syair Abu Nawas dikenal di mesjid-mesjid dilantunkan setelah selesai wiridan. Syairnya itu yang bunyinya: Ilahi lastu lil firdausi ahlaa/Walaa aqwa 'alannaril jahiimi/Fahabli taubatan waghfir dzunubi/Fainnaka ghafirudzdzambil 'adziimi/Dzunubi mitslu a'dadir rimali, fa habli taubatay-ya dzal jalali/Wa 'umri naqishu fi kulli yaumi/wa dzambi zaidun kaifa ihtimali; Tuhanku, aku tak layak menjadi penghuni (surga) Firdaus/tapi aku juga tak kuat menghadapi api Neraka Jahim/Maka terimalah taubat dan ampuni dosaku/karena Engkau adalah Maha Pengampun dosa/Dosaku bertebaran layaknya pasir/terimalah taubatku wahai Dzat yang penuh keagungan/Tiap hari umurku terus berkurang/sedangkan dosaku terus bertambah, bagaimana aku akan memikulnya?

Anekdot-anekdot terkait Abu Nawas saya ingat kala remaja dulu selalu terkait kejenakaan, kekonyolan, ketakterdugaan. Belakangan, saya ketahui, figur Abu Nawas tidak monokrom, melainkan jauh lebih kompleks. Dia menerabas bahkan batas-batas syariat. Diwan Abu Nawas mengungkapkan hal ini.

Dia adalah peminum anggur dan berhasrat pada lelaki muda. Dia bisa mempengaruhi untuk melanggar aturan-aturan kala bulan Ramadhan. Andai saja bisa "membunuh satu" saja bulan dari tahun hijriyah, maka dia akan membunuh bulan suci untuk berpuasa ini.

Pemilik nama asli Abu Ali Hasan bin Hani' al-Hakami ini pada satu peristiwa tampak lebih taksa tentang "mencuri" sarapan (tentu maksudnya sahur). Saat bulan Ramadhan akan dimulai di akhir bulan Sya'ban, seorang temannya menyarankan agar mereka berbuka lebih cepat. Abu Nawas pun menyenandungkan: "Kita akan mencuri sehari dari bulan puasa kita/toh Tuhan memaafkan bahkan pencuri sekalipun!" Ada syairnya nan konyol dan mencengangkan. Dia bermain-main dengan rumusan baku azan: "Marilah shalat!", dia balikkan menjadi bentuk profan, "Mari tidur-bersama!"

Saat Abu Nawas menyindir ketamakan kalangan Barmaki, kelas paling berkuasa di bawah Kekhalifahan Abbasiyah Baghdad, menurutnya mereka ini bilang: "Tiada Tuhan kecuali Roti!" Jelas, Abu Nawas tengah memarodikan ihwal tauhid.

Dalam satu bersisahutan sengit dengan seorang penyanyi Baghdad bernama 'Inan, Abu Nawas menulis syair: "Duhai nan cantik! Tuhan membikin wajahmu jadi kiblatku/Maka izinkan aku berdoa ke arah wajahmu, dan mari berciuman." "Ciuman" (qubla) dan "arah berdoa" (qibla) dia jadikan irama, sebuah koplet berirama nan nyaris tak terelakkan.

Pria kelahiran al-Ahwaz, kiwari Khuzistan (salah satu propinsi Iran), ini bukan tak pernah merasakan penjara. Dua khalifah pernah menjebloskannya ke balik jeruji. Harun al-Rasyid (766-809), dan anaknya, Harun al-Amin (787-813). Al-Rasyid dua kali menahannya di penjara, malahan. Kali pertama, Abu Nawas dituduh murtad. Sementara kali keduanya, dia dianggap menyerang khalifah (di samping para elit politik lain) dalam syair terkenal yang menyatirkan Arab Utara. Perlu dicatat, syair-syair Abu Nawas punya ciri quasi-politik dikotomi antara suku Arab Utara dengan Arab Selatan dengan pemihakannya pada yang belakangan.

Tuduhan murtad yang dialamatkan pada Abu Nawas ada macam-macam. Disebutkan bahwa dia menyusun elegi yang mempertanyakan alam baka karena tak ada seorang pun yang pernah kembali untuk memastikan adanya. Kawannya, Yusuf ibn Daya mati-matian memperingatkan Abu Nawas bahwa para musuhnya mencari-cari kesalahannya agar dia jatuh. Yusuf memohon agar Abu Nawas menyembunyikan bait-bait tersebut, namun Abu Nawas menolak mengindahkannya. Seminggu berselang, penyair itu pun termangu di penjara.  

Di lain waktu, di sebuah tempat yang kumuh, Abu Nawas ikut salat magrib dan berada di barisan/saf depan. Saat imam mulai membaca Surah 109 (al-Kafirun), "Katakan wahai orang-orang kafir!", Abu Nawas menyahut: "Aku datang (labbaik)!". Pernah seorang pengawalnya, Zakariya al-Qusyari, memprotes Abu Nawas karena dia tak menemukan satu pun salinan al-Quran di rumahnya. Abu Nawas dengan ringan menjawab: "Cahaya dan kegelapan bukan teman seranjang!"

Arkian, disebutkan bahwa Imam al-Syafii turut menyalatkan jenazah Abu Nawas saat yang terakhir ini telah terbujur kaku. Mulanya al-Syafii enggan, tapi demi menemukan selarik kertas di saku pakaian Abu Nawas bertuliskan syair nan syahdu seperti disebutkan di atas, ia akhirnya turut menyalatkan. Kata-kata memang sungguh bertenaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun