Bermula kita tengok urang purba kala jumpa dengan api. Lembar-lembar buku sejarah kata bahwa orang-orang purba dulu kala pertama jumpa api mereka lari. Mengapa lari? Tentu karena api itu benda asing. Tak ada manusia bisa buat api nan jelas panas, bersinar, dan membakar. Terkisah, perjumpaan paling epik dialami oleh manusia-manusia prasejarah ini manakala lidah petir menghantam-membelah-membakar batang pokok di hadapan mereka. Ragam tanggapan pun terjadi. Ada langsung lintang-pukang karena dimamah bulat oleh ketakutan. Mereka ini lantas menjauhi segala tersangkut dengan petir-api. Mengutukinya sebagai bencana dan mala.
Namun, ada pula di antara mereka rasa ingin tahunya lebih digdaya tinimbang rasa takut. Boleh jadi memang mulanya takut, lalu bersulih jadi rasa ingin tahu benda apa itu. Api itu rupanya bisa membakar dan bikin luka, tapi bisa juga menjadi obor dan lantas bertambah menjadi pemanggang makanan. Bolehlah diterka, mengapa orang Majusi atawa Zoroaster menjadi penyembah api abadi, mungkin karena warisan rasa primitif pendaran keagungan-Nya dalam wujud api.
Serupa itu pula ihwal pembenaran dan kebenaran. Mereka nan takut api melakukan pembenaran atas ketakutannya. Namun, mereka nan tahu kebenaran ihwal api bisa meneroka lebih jauh apa bisa dibuat oleh sang dahana.
Apa hubungan pembenaran dengan kepenulisan seperti judul tergurat di atas? Penulis pemula lah nan jadi pokok bincangan. Redaksi tak jarang dengan gampang lebih melihat nama besar. Betul, nama besar. Nama besar jadi jaminan bahwa tulisan seseorang itu akan banyak di-view, deras dibaca, ruah didaras. Nama besar pula jadi jaminan tulisan itu pukal dan bermutu. Penulis pemula nan namanya asing gampang dilempar dan disingkirkan.
Adalah tengara Syeikh 'Abd al-Razzaq al-Kasyani. Karya al-Kasyani bertajuk Tafsir al-Quran al-'Azhim didaku oleh penerbit berabad-abad lampau sebagai karya Ibn 'Arabi. Tujuannya, tak lain tiras, oplah. Jenama Ibn 'Arabi di dunia intelektual dan spiritual Islam adalah nama besar. Mencantumkan namanya akan menaikkan angka penjualan kitab. Tapi, ini jelas bukan sebuah kejujuran. Dan, kelancungan bagaimanapun niscaya akan tersingkap. Pada akhirnya, orang-orang tahu bahwa kitab itu bukanlah karya sang Syeikh Akbar.
Mengapa seorang penulis bisa memiliki nama besar? Tentu, dia tidaklah terlahir begitu saja. Pasti ada proses dilampauinya. Proses berdarah-darah dan bertungkus-lumus. Proses menempanya sehingga dari pemula naik level menjadi penulis nan apik sebelum menjadi master. Betul. Tak ada kehidupan tanpa ujian. Begitu pula penulis, tak ada penulis master tanpa melintasi level penulis pemula nan tulisannya dianggap remeh-temeh, sepele, gampangan.
Ada orang bilang, tulisan pertama kali dimuat adalah pembuka jalan. Ini betul, namun tak selalu. Proses penolakan oleh redaksi berupa pemberitahuan dan pen-takmuatan setelah berpurnama-purnama adalah ujian naik level. Ada kalanya redaksi juga tak beri kabar apa pun. Ya, inilah ujian kesabaran, pun ujian konsistensi bagi pemula untuk sentiasa meneroka hal-ihwal, gaya menulis, dan sudut pandang anyar. Adalah lembek dan cengeng bila penolakan-muat bikin si penulis pemula bertamat mengaksara.
Perlahan ihwal penulis pemula ini menggiring pada kalam Hemingway, penulis tersohor Amerika, "Kita semua adalah anak magang dalam kerajinan nan tak ada seorang pun ahlinya." Anak magang tak akan pernah menjadi seorang skill bila tak belajar dengan betulan orang skill. Artinya, untuk jadi ahli, belajarlah pada ahli. Bukan bermimpi sendiri sebagai ahli dan sudah merasa menjadi ahli. Nama besar penulis, sekali lagi, tentu tak hadir jatuh dari langit. Ia adalah hasil dari kegagalan demi kegagalan nan menjadi pembelajaran. Pembelajaran-lah nan membawa seseorang bersulih dari penulis nan bagus menjadi penulis masterful.
Pesona apa nan dipunya penulis nan bagus? Bisa dikata gagasan, pemilihan kata, serta kekayaan cakrawala bahasa nan direngkuhnya. Penulis bagus meletak magnetnya sudah dari pilihan judul nan menarik magnet pembaca. Paragraf awal adalah pertaruhan utamanya. Bila paragraf awal tiada menarik lazimnya tulisan itu bisa dilampaui begitu saja.
***
Sebelum menjadi penulis cerita pendek, Hemingway menjadi reporter di Toronto Star. Dengan posisi ini, Hemingway bisa menyusuri seluruh belahan Eropa. Dia mewartakan beragam tema. Ya politik, konferensi perdamaian, perselisihan sempadan negara, sekaligus juga olahraga, ski, dan memancing. Belakangan dia menulis tentang matador di Spanyol. Pekerjaan di Toronto Star memberi waktu Hemingway untuk menulis ceritanya sendiri. Toronto Star senang dengan karya-karya jurnalistiknya dan memintanya menulis lebih banyak. Tapi, Hemingway belakangan lebih tersedot pada minatnya akan cerita pendek. Akhirnya, dia memusatkan waktunya sepenuhnya menjadi penulis cerita pendek.
Sebagai penulis tentu Hemingway adalah seorang perenung. Ternisbah dengan batu sandungan dalam menulis, dia berkalam demikian: "Kadang kala, aku memulai satu kisah baru dan tak bisa melanjutkannya. Maka aku akan berdiri dan memandang atap-atap kota Paris dan berpikir. Aku lantas berucap pada diriku sendiri: 'Semua nan harus kamu lakukan hanyalah satu kalimat nan jujur. Tulis kalimat nan paling jujur nan kamu tahu.' Maka akhirnya, aku akan menulis satu kalimat nan jujur dan meneruskan dari sana. Sungguh itulah perasaan nan luar biasa saat aku bekerja dengan baik."
Sylvia Plath berucap: Musuh paling buruk adalah keraguan-diri (self-doubt). Plath (1932-63) adalah seorang penyair, novelis, dan penulis cerita ringkas. Dia lahir di Amerika Serikat. Kekatanya di atas tampak tegas dan bersemangat. Implisit bahwa pengucapnya adalah orang nang sangat yakin akan dirinya. Tapi, ironi menelannya bulat-bulat. Umur Plath hanya 30 tahun. Ia kehilangan keyakinan diri untuk terus hidup. Plath rupanya menderita depresi berlarat-larat. Berkali-kali ia mencoba membunuh diri, namun gagal. Pada akhirnya, ia berhasil memutus nafasnya sendiri. Ajaibnya, pasca bunuh dirinya, dia ditahbis jadi ikon dan dianggap penyair terbesar pada generasinya. Plath dianggap pengembang gaya puisi konfesional.
Menulis tak bisa lepas dari kesejarahan. Ini juga yang disadari Edward Wadi Said, penulis tenar kelahiran Palestina. Dia sungguh tertarik dengan kepenulisan sebagai keterampilan/kriya (craft) dan diri nang menulis. Dia juga sadar akan nisbah nan dimilik seseorang kepada daya sosial dan historis nang lebih besar, yang mana nang belakangan memberikan penjelasan lebih cegak pada aliran takdir-takdir kecil. Buku pertamanya menegaskan ini. Buku pertamanya berjudul Joseph Conrad and the Fiction of Autobiography terbit warsa 1966.
Terkait dengan menulis hikmah dari Kurosawa, sutradara terkenal Jepang, berikut menarik tuk direnung. Hikmah ini saya kutip dari Amitava Kumar dalam bukunya Every Day I Write the Book. Kurosawa menyesali---dan ia berhak melakukannya---bahwa anak muda di hari-hari ini tidak punya kesabaran tuk bekerja keras, jemu untuk bekerja perlahan, menanti lama demi akhir nan tiba. Dia memberi saran berfaidah berikut: "Ketika kau mendaki gunung, hal pertama nan diberitahu adalah jangan melihat puncaknya, tapi tetap jaga matamu di pijakan nang kau daki. Dakilah terus dengan sabar setahap demi setahap. Apabila kau terus melihat puncak, kau akan frustasi. Aku kira menulis juga sama. Kau harus terbiasa dengan tugas menulis. [ ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H