Sebagai penulis tentu Hemingway adalah seorang perenung. Ternisbah dengan batu sandungan dalam menulis, dia berkalam demikian: "Kadang kala, aku memulai satu kisah baru dan tak bisa melanjutkannya. Maka aku akan berdiri dan memandang atap-atap kota Paris dan berpikir. Aku lantas berucap pada diriku sendiri: 'Semua nan harus kamu lakukan hanyalah satu kalimat nan jujur. Tulis kalimat nan paling jujur nan kamu tahu.' Maka akhirnya, aku akan menulis satu kalimat nan jujur dan meneruskan dari sana. Sungguh itulah perasaan nan luar biasa saat aku bekerja dengan baik."
Sylvia Plath berucap: Musuh paling buruk adalah keraguan-diri (self-doubt). Plath (1932-63) adalah seorang penyair, novelis, dan penulis cerita ringkas. Dia lahir di Amerika Serikat. Kekatanya di atas tampak tegas dan bersemangat. Implisit bahwa pengucapnya adalah orang nang sangat yakin akan dirinya. Tapi, ironi menelannya bulat-bulat. Umur Plath hanya 30 tahun. Ia kehilangan keyakinan diri untuk terus hidup. Plath rupanya menderita depresi berlarat-larat. Berkali-kali ia mencoba membunuh diri, namun gagal. Pada akhirnya, ia berhasil memutus nafasnya sendiri. Ajaibnya, pasca bunuh dirinya, dia ditahbis jadi ikon dan dianggap penyair terbesar pada generasinya. Plath dianggap pengembang gaya puisi konfesional.
Menulis tak bisa lepas dari kesejarahan. Ini juga yang disadari Edward Wadi Said, penulis tenar kelahiran Palestina. Dia sungguh tertarik dengan kepenulisan sebagai keterampilan/kriya (craft) dan diri nang menulis. Dia juga sadar akan nisbah nan dimilik seseorang kepada daya sosial dan historis nang lebih besar, yang mana nang belakangan memberikan penjelasan lebih cegak pada aliran takdir-takdir kecil. Buku pertamanya menegaskan ini. Buku pertamanya berjudul Joseph Conrad and the Fiction of Autobiography terbit warsa 1966.
Terkait dengan menulis hikmah dari Kurosawa, sutradara terkenal Jepang, berikut menarik tuk direnung. Hikmah ini saya kutip dari Amitava Kumar dalam bukunya Every Day I Write the Book. Kurosawa menyesali---dan ia berhak melakukannya---bahwa anak muda di hari-hari ini tidak punya kesabaran tuk bekerja keras, jemu untuk bekerja perlahan, menanti lama demi akhir nan tiba. Dia memberi saran berfaidah berikut: "Ketika kau mendaki gunung, hal pertama nan diberitahu adalah jangan melihat puncaknya, tapi tetap jaga matamu di pijakan nang kau daki. Dakilah terus dengan sabar setahap demi setahap. Apabila kau terus melihat puncak, kau akan frustasi. Aku kira menulis juga sama. Kau harus terbiasa dengan tugas menulis. [ ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H