Mohon tunggu...
Iip Rifai
Iip Rifai Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Penulis Buku PERSOALAN KITA BELUM SELESAI!, 2021 | Pernah Belajar @Jurusan Islamic Philosophy ICAS-Paramadina, 2007 dan SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, 2015

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Selawat (Bukan) Mantra!

7 November 2022   15:51 Diperbarui: 7 November 2022   16:21 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesuatu yang berlebih dari takaran akan tumpah. Demikian kira-kira gambaran sederhana soal "berlebih". Gambaran tersebut sejalan dengan peribahasa Indonesia yang berbunyi "terlalu aru berpelanting, kurang aru berpelanting" yang berarti segala sesuatu yang berlebih atau kurang akan berakibat kurang baik.

Hal di atas berlaku dalam segala hal, termasuk dalam konteks mencintai nabi, sekali pun. Ada sebuah kisah tentang sahabat nabi, Umar bin Khattab, saat mendengar kabar bahwa Nabi Muhammad saw. meninggal dunia, ia menolak setiap usaha orang lain yang meyakinkannya mengenai kabar pahit tersebut.

Umar berdiri di hadapan publik dan meyakinkan mereka bahwa Nabi tidak meninggal dunia. Menurutnya, Rasul sedang pergi menemui Allah dan akan kembali setelah 40 hari, layaknya Musa bin Imran dulu saat menemui Tuhannya. Ia menghilang selama 40 hari dan dianggap mati oleh orang-orang namun kembali setelah itu.

Satu penggalan terakhir yang Umar katakan kepada publik kala menanggapi kabar meninggalnya Rasul adalah "Orang yang menduga bahwa dia telah meninggal, tangan dan kakinya harus dipotong!" Sebuah ungkapan yang terlalu emosional dari seorang sahabat kepada nabi kesayangannya. Umar sedang dalam kondisi khilaf, saat itu, padahal Allah pernah berfirman dalam al-Quran bahwa setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian.

Umar kembali  menyadari kekhilafannya setelah Abu Bakar datang meyakinkannya bahwa Nabi sudah meninggal. Umar jatuh tersungkur ke tanah, kedua kakinya tak mampu menahan raganya yang lemah. Kemudian Abu Bakar mendatangi kerumunan dan mengabarkan kepada publik sembari berkata "Barang siapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barang siapa menyembah Allah, Allah hidup selamanya tak pernah mati."

Kemudian Abu Bakar juga mengutip ayat dari QS. Ali Imran: 144 "Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur."

Dalam konteks di atas Abu Bakar adalah sosok pengingat bagi sahabatnya, Umar bin Khattab, saat situasi dan kondisi Umar yang kalut. Umar kala itu "tak terima" kehilangan Nabi yang selalu ia cintai. Setiap saat ia menemani Nabi, berjuang di jalan Allah untuk kemuliaan agama yang Rasul bawa. Lebih dari itu ia termasuk sahabat Nabi yang dijamin masuk surga karena kesalehannya, pula karena jasanya terhadap Islam, berupa material maupun nonmaterial, yang tak terbilang.

Kebersamaan dengan seseorang yang sudah menjadi bagian dari hidupnya, kemudian orang yang dicintainya "menghilang" adalah sebuah situasi di mana kepedihan, kesunyian, kehampaan, kekosongan serta ketakbermaknaan tengah mendominasi Umar, akal sehatnya pun berhenti sejenak karena faktor tersebut.

Tak hanya Umar yang kehilangan Nabi, seluruh sahabat sedih dan menangis karenanya. Kecintaan mereka terhadap Nabi tak terdeskripsikan dengan kata-kata. Bahkan, umat Nabi  yang tak pernah melihat langsung Nabi pun rindu sosoknya yang hangat dan terpuji sebagaimana yang dikisahkan dalam beberapa hadis.

Ada beberapa cara mencintai Nabi yang sudah tiada, antara lain dengan memuliakan, meneladani, menaati perintahnya, membaca selawat, pula mengikuti sunah-sunahnya. Namun, pada praktiknya, disadari atau tidak, ada umat Nabi yang mengaku mencintainya, justru, menyalahi sunah-sunahnya.

Selawat Nabi

Membaca selawat untuk Nabi dan keluarga merupakan kegiatan yang dilakukan mayoritas umat Nabi di pelosok dunia. Ragam selawat "bersahutan" terdengar dengan jenis dan  masing-masing. Terlebih di Indonesia yang mayoritas kaum nahdhiyin. Berselawat bagi mereka adalah bagian penting dari setiap acara keagamaan atau lainnya.

Tak ada yang salah dari selawat. Ada anjuran bahkan perintah untuk membacanya. Namun, kini selawat dijadikan semacam "mantra" bagi sebagian orang untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat duniawi. Semua kebutuhan seolah bisa diselesaikan dengan selawat. Ada jumlah tertentu, dari puluhan, ratusan bahkan ribuan kali selawat tersebut harus dibaca agar segera hajatnya dikabul.

Menurut sebagian kiai atau ulama, memang fungsi selawat untuk keperluan di atas. Hal tersebut ia dasarkan pada sabda Nabi yang memerintahkan untuk memperbanyak selawat jika berada dalam kondisi sempit, kekurangan dan kesusahan. Pendapat ini yang paling banyak diikuti umat, karena hanya dengan membaca selawat segala hajat (baca: kebutuhan) yang dimohonkan bakal terwujud. Sangat efisien dan efektif menghadapi segala problematika dengan membaca selawat.

Menurut ulama lain, selawat berfungsi jauh lebih dari sekedar meminta hajat duniawi. Selawat dibaca dalam rangka mendoakan Nabi dan keluarga agar selalu dalam rida dan rahmat Allah swt. Mendoakan Nabi merupakan bagian dari cara agar kita, sebagai umatnya, juga mendapatkan syafaat di hari perhitungan.

Nabi begitu sayang terhadap umatnya. Saking sayangnya, dalam satu riwayat dikisahkan setelah Nabi didatangi malaikat dan berbincang dengannya, ada umat Nabi yang menempati satu jenis neraka. Nabi langsung murung, beliau sangat sedih, tak mau ditemui dan diajak bicara oleh para sahabatnya selama 3 hari.

Beliau baru mau ditemui dan menjawab alasan kenapa menyendiri setelah didatangi putri kesayangannya, Fatimah. Alasan spesifik, ternyata Nabi tak ingin ada umatnya yang masuk neraka. Membaca selawat untuk Nabi adalah salah satu cara agar kelak mendapatkan "remisi" langsung dari kanjeng Nabi.   

Ada bentuk lain yang lebih dahsyat dalam mencintai Nabi selain membaca ribuan hingga jutaan kali selawat adalah dengan mengikuti ucapan, tindak tanduk juga perilaku Nabi yang termaktub dalam sunahnya (ittiba'). Di lapangan kadang perilaku umat terlihat paradoksal, apakah mereka sedang mencintai Nabi atau justru sedang "mengerdilkannya" ketika selawat dipakai untuk hal-hal tertentu yang jauh dari prosedur sunahnya (taqlid ). Wallahu a'lamu bi al-shawwab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun