Kelompok “pembela agama”, pada saat itu mendapat angin segar, pasalnya, sedang didukung langsung oleh Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo (ILC TVOne, 8/11/2016), karena kebetulan pernyataannya sama dengan argumentasi yang dibangun mereka. Kira-kira demikian yang ia katakan “Perbuatan Ahok menjadi salahsatu faktor perpecahan dan harus segera diselesaikan.”
Jika ditafsirkan bebas apa yang disampaikan jenderal tersebut adalah Ahok sebagai biang keladi kegaduhan negeri ini. Saat itu, sang jenderal menjadi idola baru kelompok tersebut. Sorak sorai, acungan jempol dan sejumlah pujian membanjirinya.
Sebaliknya, kelompok yang dianggap penista agama, juga tak kalah, mereka didukung, secara tidak langsung, oleh tokoh senior Muhammadiyah, Buya Syafii Ma’arif. Beliau menyesalkan sikap kegegabahan MUI yang berbuntut panjang hingga munculnya insiden aksi 4 November.
Beliau katakan: “Apakah kita mau mengorbankan kepentingan bangsa dan negara ini akibat fatwa yang tidak cermat itu atau apakah seorang Ahok begitu ditakuti di negeri ini, sehingga harus dilawan dengan demo besar-besaran? Jangan jadi manusia dan bangsa kerdil.”
Syafi’i Ma’arif tegaskan dalam tulisannya bahwa Ahok tidak menghina Al-Quran, berdasar pada video asli yang beliau lihat sebelum transkripnya diedit Buni Yani. Sebuah pernyataan yang berani dan tegas, menulis apa adanya.
Dua orang yang saya sebutkan di atas merupakan tokoh besar di negeri ini, yang mempunyai pengaruh besar bagi rakyat biasa (commoner). Jenderal Gatot diklaim pembenar argumentasi pembela agama, pula demikian Syafii Ma’arif diklaim sebagai pembela korban yang diduga sebagai penista agama.
Khusus untuk Syafi’i Ma’arif, beliau layaknya pahlawan. Beliau sudah mempertimbangkan konsekuensi dan risiko yang bakal diterima. Selain mendapat sanjungan, pujian dan penghargaan. Dalam waktu bersamaan, beliau juga mendapat kritikan, cercaan, cemoohan dan tuduhan beragam yang langsung melabeli dirinya masing-masing. Beliau sangat objektif dan rasional. Beliau menggunakan akal sehatnya untuk melawan gerombolan penganut agama yang hanya menjadikan agama sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan. Isu-isu agama digunakan untuk syahwat politik golongan dan kelompok tertentu.
Menjadi pahlawan memang penuh tantangan dan berisiko tinggi. Lihatlah bagaimana kerasnya perlawanan Syafii Ma’arif sebagai tokoh nasional saat meng-counter sekaligus meluruskan persoalan/kasus Ahok. Beliau tak pernah gentar dengan hasutan, cacian dan umpatan yang tak berdasar kepadanya. Beliau menjadi tokoh bangsa yang selalu konsisten dan komitmen menyuarakan kemajemukan dan keadilan bagi bangsa ini.
Beliau bekerja keras, berjuang tanpa lelah “mengajari” anak-anak penerus bangsa ini agar berani membela yang benar walau berbeda agama demi Indonesia yang berkeadaban. Selamat Milad ke-85, Buya. Sehat selalu, senantiasa menjaga akal sehat anak-anak bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H