Pintu pendidikan sejarah harus dikawal pembuat sejarah
Penguasa cenderung mengendalikan narasi dan juga fakta sejarah. Alat pentingnya adalah buku sejarah yang ditulis berdasarkan kepentingan penguasa saat itu. Melalui dominasi pemikiran, penguasa membuat pengaruh 'Zeigeist' terhadap pemikiran masyarakat di zaman itu.
'Zeitgeist' secara etimologi: 'Zeit' yang berarti waktu atau zaman dan 'Geist' yang berarti jiwa, merupakan pemikiran dominan pada suatu masa yang menggambarkan dan mempengaruhi sebuah budaya dalam masa itu sendiri. Â Zeitgeist diasosiasikan dengan sejarah filsafat, oleh Georg Hegel, Â Hegel berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang dapat melompati masanya sendiri, jiwa pemikiran pada zamannya (bahasa jerman: der geist seiner zeit), juga merupakan jiwanya sendiri. Â
Oleh karenanya tugas sejarawan seharusnya tidak menjadi sayap kepentingan penguasa, alat produksi 'zetgeist' yang terdominasi dan terlegitimasi. Bukan sekedar menunjukkan gambaran kontras tanggal peristiwanya, namun fakta yang dipilih untuk disajikan sebagai pelajaran penting. Karena nilai-nilai dan pesan sejarah menjadi pupuk tumbuhnya kekuatan dan kebangkitan generasi bangsanya di masa yang berkelanjutan. Bukan kepentingan penguasanya di satu zaman.
Tanggal 1 Juni, 18 Agustus, atau tanggal lainnya, boleh dijadikan sudut pandang lain dalam konteks sejarah kelahiran Pancasila. Para pembaca buku sejarah tentu punya hak menilai sejarah berdasarkan fakta. Dan fakta tidaklah harus tunggal berdasarkan ketetapan penguasa. Pintu pengetahuan harus terus dibuka melalui unsur sejarah, sebagai bagian dari pendidikan politik dan penguatan karakter bangsa.
Pintu pendidikan politik tentang berbagai peristiwa sejarah bangsa lebih penting untuk kita jaga dan terbuka. Para akademisi, peneliti, politisi dan penguasa adalah unsur-unsur yang bertanggungjawab terhadap kekuatan pintu itu, pengawal jendela-jendela baru yang menajadikan generasi bangsanya belajar lewat fakta kemudian menjadi bijak, dan kritis. Bukan belajar dari ketakutan dan kepentingan penguasa.Â
Dan hal itu akan menjadi patron baik dalam mempersiapkan generasi yang lebih unggul, lebih cerdas dan lebih maju, karena mereka terbiasa melihat sejarah sebagai fakta yang menarik, sarat makna dan menjadi pelajaran hidup. Bukan intrik dan kelicikan serta kebohongan yang dibungkus dengan satu narasi yang berbasis politik penguasa.
Fakta sejarah merupakan kumpulan data penguat peristiwa. Dan pentingnya bagi pembelajar sejarah adalah, bagaimana pelajaran kehidupan yang ia dapat melalui para pendahulunya menjadi momentum dan sumber pengetahuan baru untuk kehidupannya. Pelajaran sejarah harus menjadi pendidikan politik, sosial, dan lain sebagainya dalam wadah yang dinamis, terbuka dan jujur.Â
Para pembuat sejarah tentu  akan sulit melewati celah subjektifitas. Namun semakin kita memberikan narasi yang 'absurd', penuh intrik dan kepentingan, semakin membuat konsep sejarah itu sendiri melemah. Dan pasti kita  akan menuai dampak yang tidak diharapkan bagi generasi selanjutnya. Karena kita menjauhkan pesan yang sesungguhnya dari fakta sejarah melalui permainan redaksi atau impresi. Ibarat perbedaan pandangan tentang asal-usul manusia, teori Darwin memiliki peluang membuktikan teori evolusinya lewat fakta ilmiah.Â
Namun dogma dan  sumber literasi keagamaan yang diperkuat dengan pembuktian ilmiah lainpun bisa memberikan jendela berpikir baru bagi generasi belakangan memahami hakikat manusia, pentingnya nilai kemanusiaan dan perjuangan manusia mempertahankan nilai-nilai kemanusiaannya sepanjang zaman.
Perbedaan sudut pandang itu sejatinya tidak menjauhkan manusia dari kemanusiaannya, Â malah seharusnya membuka pintu baru untuk memahami hal-hal yang lebih substanstif daripada menjadi misorientasi karena perbedaan asal-usul.