"To remain ignorant of history is to remain forever a child" - Cicero
Dalam sebuah grup chat dibagikan sebuah artikel pendek tentang catatan pemahaman seorang publik figur, tokoh politik, mengenai tanggal lahirnya Pancasila. Sementara beberapa kalangan, terutama pemerintah telah menetapkan hari lahir Pancasila adalah tanggal 1 Juni 1945, penetapan itu didasari atas Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) juga telah mengeluarkan surat edaran untuk segenap komponen bangsa dan masyarakat Indonesia agar berkomitmen memperingati Hari Lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni sebagai bagian dari pengarusutamaan Pancasila dalam seluruh bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Namun banyak kalangan, seperti tokoh politik di atas, yang memberikan pendapat lain tentang fakta lahirnya Pancasila. Dengan narasi yang menurut saya cukup menarik dan memberikan wawasan baru dalam perspektif studi ilmu sejarah kemerdekaan. Bukan untuk mengamini "doktrin" tanggal tertentu karena secara implisit ada sudut pandang lain yang ingin dipersepsikan berbeda.
Perbedaan pendapat tentang hari lahir Pancasila itu merujuk kepada sejarah kemerdekaan Indonesia dan pembentukan dasar negara oleh para pendiri bangsa ini, yang secara umum para sejarawan menyebutkan nama-nama yang tergabung dalam tim perumus persiapan kemerdekaan Indonesia atau disebut juga  sebagai Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang. Â
Tokoh politik yang mengatakan bahwa hari lahir Pancasila bukanlah tanggal 1 Juni 1945, sebagaimana sekarang diperingati mayoritas bangsa Indonesia,  menyandarkan pendapatnya  pada peristiwa awal-awal sidang panitia persiapan kemerdekaan Indonesia, dimana waktu itu ketua BPUUPKI, dr. Radjiman Wedyodiningrat menanyakan apa  'filosofische grondslag' Indonesia merdeka nanti? Radjiman tidak bertanya tentang ideologi negara atau dasar negara. Dia bertanya 'filosofische gronslag' atau landasan falsafah negara.
Menurut tokoh politik itu ucapan Radjiman itu benar. Landasan falsafah adalah sesuatu rumusan yang mendasar, filosofis dan universal. Beda dengan ideologi yang bersifat eksplisit, yang digunakan oleh suatu gerakan politik, yang berisi basis perjuangan, program dan cara mencapainya.
Landasan falsafah negara haruslah merupakan kesepakatan bersama dari semua aliran politik ketika mereka mendirikan sebuah negara. Karena itu landasan falsafah negara harus menjadi titik temu atau common platform dari semua aliran politik yang ada di dalam negara itu.
Ada beberapa tokoh yang menanggapi pertanyaan Radjiman. Mereka menyampaikan gagasan tentang apa landasan falsafah negara Indonesia merdeka itu. Supomo, Hatta, Sukarno, Agus Salim, Kiyai Masykur, Sukiman adalah diantara tokoh-tokoh yang memberi tanggapan atas pertanyaan Radjiman.
Sementara penetapan tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila juga tentunya tidak jauh berbeda rujukannya, yaitu dari proses persiapan kemerdekaan Indonesia.
Setelah Jepang dinyatakan kalah dalam perang Perang Asia Timur Raya. Jepang berusaha mendapatkan hati masyarakat dengan menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia dan membentuk sebuah lembaga yang tugasnya untuk mempersiapkan hal tersebut.Â
Sebagaimana sejarah umumnya, sejarah kemerdekaan Indonesia identik dengan proses panitia sembilan dalam BPUPKI tersebut di atas. Â Dan mengapa tanggal 1 Juni kemudian ditetapkan sebagai lahirnya Pancasila? Karena pada tanggal 1 Juni tersebut Sukarno menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia yang dinamai "Pancasila", lima sila, yang kala itu memang butir-butirnya tidak sama dengan redaksi butir Pancasila yang ada sekarang.
Perbedaan pandangan tentang rumusan pancasila berkembang dalam diskusi lanjutan sidang BPUPKI hingga memunculkan ragam pandangan dan perbedaan tajam. Salah satunya terkait apakah bentuk negara ini adalah negara kebangsaan atau negara Islam? Butir-butir pancasila tersebutlah yang kemudian berdinamika sedemikian rupa, hingga pada tangga 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengesahkan konstitusi negara, yakni UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, yang di dalamnya tercantum Pancasila.
Narasi sejarah adalah potret pemikiran yang penting untuk perjalanan kehidupan bangsa
Menurut saya, penetapan tanggal lahir tentang konsep dasar negara ataupun disebut lebih tepat  sebagai falsafah negara misalnya tidak memiliki implikasi teramat besar dalam pendidikan sejarah bangsa. Saya mencoba memahami perbedaan pendapat tentang peristiwa "hari kelahiran" Pancasila itu dalam konteks wawasan pendidikan  sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Yang perlu dijadikan narasi sejarah secara edukatif tentu bukan tanggalnya. Apalagi sebatas apa yang disebut "kelahiran". Ketetapan perumusan sebuah konsep falsafah atau dasar negara, yang dinamikanya sedemikian rupa, menarik menjadi bahan pembelajaran untuk menumbuhkan rasa kritis dan sikap kenegarawanan yang justru lebih penting daripada kesepakatan  tanggal kelahirannya.
Perbedaan momentum dan keinginan generasi/penguasa setelah peristiwa sejarah terjadi tentu memiliki pengaruh akan penetapan hari bersejarah atau tanggal bersejarah dalam suatu pemerintahan, terutama terhadap penguasa. Apakah tanggal yang satu lebih menunjukkan pesan yang terdekat dengan kepentingan penguasa lalu dijadikan ketetapan, agar menjadi peringatan bagi masyarakatnya, atau bisa memberikan persepsi lain yang kelak berbeda dengan fakta lainnya.
Perbedaan pendapat di kalangan akademisipun bisa terjadi dalam menentukan momen sejarah yang sesuai atau lebih dekat dengan fakta sejarah. Meski banyak di beberapa peristiwa sejarah, generasi belakangan sering dipaksa menerima cerita sejarah secara tunggal, umumya versi penguasa.
Jadi, yang teramat penting tentang informasi sejarah adalah kejadian sejarah itu sendiri, dengan konsekwensi munculnya ragam intervensi dan persepsi atas cerita  kejadian sesungguhnya. Tentu tidak dipungkiri, klaim tentang catatan sejarah akan memengaruhi banyak hal dalam kehidupan generasi belakangan. Klaim tentang catatan sejarah akan memberi pijakan politik dan pijakan berpikir seseorang. Apalagi bagi penguasa atau orang-orang yang terlibat dalam sebuah pertarungan pemikiran di kehidupan global.
Pelajaran sejarah, menjadi penting untuk peta perjalanan bangsa yang memotret berbagai peristiwa. Pendidikan tentang wawasan sejarah kehidupan bangsa perlu disajikan secara faktual dan obyektif. Tentu bukan sekedar tanggal peristiwa, namun fakta kejadian sejarah yang benar yang harus dicantumkan dengan narasi yang independen. Itulah menurut saya tantangan yang agak berat dalam menuliskan atau menceritakan sebuah peristiwa sejarah.
Pesan penting apa yang seharusnya ditulis dalam buku sejarah? Apa yang dapat membuat generasi selanjutnya peduli terhadap sejarah? Menjadi lebih bersikap bijak, kritis, Â empati dan kreatif terhadap perjalanan sejarahnya sendiri yang sedang dibuat, dengan belajar dari peristiwa-peristiwa penting masa lalu.
Pintu pendidikan sejarah harus dikawal pembuat sejarah
Penguasa cenderung mengendalikan narasi dan juga fakta sejarah. Alat pentingnya adalah buku sejarah yang ditulis berdasarkan kepentingan penguasa saat itu. Melalui dominasi pemikiran, penguasa membuat pengaruh 'Zeigeist' terhadap pemikiran masyarakat di zaman itu.
'Zeitgeist' secara etimologi: 'Zeit' yang berarti waktu atau zaman dan 'Geist' yang berarti jiwa, merupakan pemikiran dominan pada suatu masa yang menggambarkan dan mempengaruhi sebuah budaya dalam masa itu sendiri. Â Zeitgeist diasosiasikan dengan sejarah filsafat, oleh Georg Hegel, Â Hegel berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang dapat melompati masanya sendiri, jiwa pemikiran pada zamannya (bahasa jerman: der geist seiner zeit), juga merupakan jiwanya sendiri. Â
Oleh karenanya tugas sejarawan seharusnya tidak menjadi sayap kepentingan penguasa, alat produksi 'zetgeist' yang terdominasi dan terlegitimasi. Bukan sekedar menunjukkan gambaran kontras tanggal peristiwanya, namun fakta yang dipilih untuk disajikan sebagai pelajaran penting. Karena nilai-nilai dan pesan sejarah menjadi pupuk tumbuhnya kekuatan dan kebangkitan generasi bangsanya di masa yang berkelanjutan. Bukan kepentingan penguasanya di satu zaman.
Tanggal 1 Juni, 18 Agustus, atau tanggal lainnya, boleh dijadikan sudut pandang lain dalam konteks sejarah kelahiran Pancasila. Para pembaca buku sejarah tentu punya hak menilai sejarah berdasarkan fakta. Dan fakta tidaklah harus tunggal berdasarkan ketetapan penguasa. Pintu pengetahuan harus terus dibuka melalui unsur sejarah, sebagai bagian dari pendidikan politik dan penguatan karakter bangsa.
Pintu pendidikan politik tentang berbagai peristiwa sejarah bangsa lebih penting untuk kita jaga dan terbuka. Para akademisi, peneliti, politisi dan penguasa adalah unsur-unsur yang bertanggungjawab terhadap kekuatan pintu itu, pengawal jendela-jendela baru yang menajadikan generasi bangsanya belajar lewat fakta kemudian menjadi bijak, dan kritis. Bukan belajar dari ketakutan dan kepentingan penguasa.Â
Dan hal itu akan menjadi patron baik dalam mempersiapkan generasi yang lebih unggul, lebih cerdas dan lebih maju, karena mereka terbiasa melihat sejarah sebagai fakta yang menarik, sarat makna dan menjadi pelajaran hidup. Bukan intrik dan kelicikan serta kebohongan yang dibungkus dengan satu narasi yang berbasis politik penguasa.
Fakta sejarah merupakan kumpulan data penguat peristiwa. Dan pentingnya bagi pembelajar sejarah adalah, bagaimana pelajaran kehidupan yang ia dapat melalui para pendahulunya menjadi momentum dan sumber pengetahuan baru untuk kehidupannya. Pelajaran sejarah harus menjadi pendidikan politik, sosial, dan lain sebagainya dalam wadah yang dinamis, terbuka dan jujur.Â
Para pembuat sejarah tentu  akan sulit melewati celah subjektifitas. Namun semakin kita memberikan narasi yang 'absurd', penuh intrik dan kepentingan, semakin membuat konsep sejarah itu sendiri melemah. Dan pasti kita  akan menuai dampak yang tidak diharapkan bagi generasi selanjutnya. Karena kita menjauhkan pesan yang sesungguhnya dari fakta sejarah melalui permainan redaksi atau impresi. Ibarat perbedaan pandangan tentang asal-usul manusia, teori Darwin memiliki peluang membuktikan teori evolusinya lewat fakta ilmiah.Â
Namun dogma dan  sumber literasi keagamaan yang diperkuat dengan pembuktian ilmiah lainpun bisa memberikan jendela berpikir baru bagi generasi belakangan memahami hakikat manusia, pentingnya nilai kemanusiaan dan perjuangan manusia mempertahankan nilai-nilai kemanusiaannya sepanjang zaman.
Perbedaan sudut pandang itu sejatinya tidak menjauhkan manusia dari kemanusiaannya, Â malah seharusnya membuka pintu baru untuk memahami hal-hal yang lebih substanstif daripada menjadi misorientasi karena perbedaan asal-usul.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI