Jenis aktifitas pembelajaran di kelas cenderung memposisikan murid sebagai obyek. Orientasi materi ajar tidak mengajak murid memahami realitas kehidupan, informasi dalam pembelajaran kurang beririsan dengan konteks kehidupan yang mereka hadapi atau saksikan sehari-hari. Namun kegiatan belajar lebih didominasi oleh pemenuhan kepuasan pencapaian nilai dan prestasi akademik, bukan penambahan nilai internal yang membungkus kesadaran anak untuk menunjukkan perilaku paripurna sebagai insan terdidik. Â
Dari fakta itu, pendidikan melahirkan anak-anak yang tidak memiliki kemampuan analisis yang baik. Anak-anak menjadi pribadi yang rapuh dan minim kepedulian atas berbagai permasalahan sosial, politik, lingkungan, atau budaya.
Mereka mudah terpolarisasi dalam arus informasi yang massif dan acapkali bercampur berita bohong --hoaks. Pasalnya selama ini pola interaksi yang dibangun diantara mereka tidak dibangun dengan dasar pemikiran kritis. Guru sebagai pengajar dan murid sebagai penerima materi pembelajaran. Guru adalah orang yang  tahu semua informasi sehingga ia paling otoritatif, sedangkan murid ada di posisi orang "bodoh", tidak tahu informasi yang disampikan oleh guru.
Maka dari itu lembaga pendidikan perlu membangun pondasi berpikir kritis bagi segenap peserta didik. Â Bahkan bagi tenaga pendidik itu sendiri. Dalam menerapkan cara berpikir kritis, paling tidak ada beberapa hal yang harus difasilitasi sebagai bagian dari sesuatu yang dengannya para murid terlibat, untuk melatih keterampilan berpikir kritis, yaitu:
- Aktifitas bertanya
- Menggunakan logika
- Bersikap objektif
- Proses menguji sebuah informasi/data
- Menganalisis
- Melakukan interpretasi atas sebuah pernyataan
- Melakukan evaluasi
- Memberikan argument yang baik dan benar
- Melakukan refleksi
berbagai tantangan di dalamnya. Karena berpikir kritis adalah jiwa yang menyertai kurikulum pendidikan, dengannya pendidikan di zaman sekarang ini akan memberi makna dan dampak yang berarti.
Proses pendidikan sejatinya memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis dari setiap individu, menetapkan tujuan yang jelas dan logis dari setiap pembelajaran. Logis maksudnya apa yang dipelajari oleh murid akan memiliki keterhubungan dengan fakta-fakta kehidupan. Kemudian mereka  belajar memutuskan apa yang ingin dicapai dan kemudian membuat keputusan berdasarkan berbagai kemungkinan.
Para murid juga dilatih menjelaskan tujuan itu untuk diri mereka sendiri, mereka harus belajar menggunakannya sebagai titik awal dalam semua situasi di masa depan yang membutuhkan pemikiran, dan  mungkin, pengambilan keputusan lebih lanjut.
Oleh karenanya jika lembaga pendidikan tidak mampu menjadi medium dalam memberikan kesempatan bagi semua muridnya untuk melibatkan diri dalam kegiatan di atas, maka pendidikan justru akan melahirkan generasi yang lemah dalam berpikir. Tidak percaya diri dalam pengambilan keputusan, tidak peduli terhadap isu kontekstual yang menuntutnya terlibat dalam menangani berbagai permasalahan yang terjadi, baik ekonomi, sosial, lingkungan, politik dan budaya.
Kultur berpikir kritis sangat perlu dihidupkan di dunia pendidikan kita. Hal ini tentunya juga sudah menjadi kebutuhan global -- 'skill needed' bagi setiap anak generasi zaman ini dalam menjalani perkembangan kehidupan modern dan berbagai tantangan di dalamnya. Karena berpikir kritis adalah jiwa yang menyertai kurikulum pendidikan, dengannya pendidikan di zaman sekarang ini akan memberi makna dan dampak yang berarti.
U5R-290819
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H