Mohon tunggu...
BungRam
BungRam Mohon Tunggu... Konsultan - Pemerhati pendidikan, konsultan program pendidikan

Book lover, free traveller, school program consultant, love child and prefer to take care for others

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan dan Kemampuan Berpikir Kritis

29 Agustus 2019   13:39 Diperbarui: 29 Agustus 2019   14:23 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Education is not the learning of facts, but the training the mind to think."

Berpikir kritis adalah proses disiplin intelektual yang secara aktif dan terampil mengkonseptualisasikan, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan / atau mengevaluasi informasi yang dikumpulkan dari, atau dihasilkan oleh, pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi, sebagai panduan untuk keyakinan dan tindakan. Dalam bentuk keteladanannya, ini didasarkan pada nilai-nilai intelektual universal yang melampaui pembagian materi: kejelasan, akurasi, presisi, konsistensi, relevansi, bukti kuat, alasan yang baik, kedalaman, luas, dan keadilan.

Keterampilan untuk berpikir kritis merupakan jantungnya pendidikan. Dahulu kala, manusia mengkonsepsikan berbagai fenomena yang terjadi di sekelilingnya melalui pandangan berdasarkan mitos, misalnya bangsa Yunani kuno menisbatkan setiap kejadian yang mereka temukan di alam dengan mitologi dewa-dewi, sebagai representasi kausalitas setiap kejadian. 

Hingga pada abad ke-6 sebelum Masehi, seseorang yang bernama Thales melakukan revolusi intelektual dengan mencoba menjelaskan fenomena alam via eksplanasi rasional. Misalnya terkait fenomena gempa bumi, ketika masyarakat Yunani melihat gempa bumi sebagai sesuatu yang dihasilkan oleh proses supranatural, Thales menjelaskan bahwa gejala alam tersebut terjadi karena bumi mengapung di atas air dan ia terjadi karena bumi digoyang oleh ombak-ombak di laut.

Pendidikan yang di dalamnya adalah serangkaian proses aktifitas berpikir, harus mampu memberikan ruang dan kesempatan yang sebesar-besarnya bagi anak untuk berpikir kritis. Karena jika sebuah institusi pendidikan, tenaga pendidik, hingga orang dewasa yang berada di sekitar anak membatasi keterampilan berpikir ini, sama dengan membunuh pendidikan itu sendiri.

Berpikir kritis sudah dimulai sejak lama sekali. Salah satu cerita sejarah bagaimana seseorang melakukan proses berpikir kritis adalah saat Nabi Ibrahim melakukan perenungan tentang Tuhan, Zat  Yang Maha Besar, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Nabi Ibrahim melakukan dialog dengan ayahnya Azaar atas kekeliruan ayahnya dan masyarakat pada saat itu yang menyembah berhala, Ibrahim berkata "Mengapa kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan."

Dalam catatan sejarah filsafat, Thales dikenal sebagai tokoh filsafat Yunani yang mengubah cara berpikir masyarakat kala itu dengan pandangan-pandangannya yang kritis. Salah satu kritiknya terhadap cara berpikir orang-orang Yunani kala itu ialah tentang kepercayaan berbagai mitos yang dihubungkan dengan fenomena alam. Pandangan Thales yang lebih mengedepankan logika telah membuatnya berpikir mendalam. 

Menurut  Aristoteles tentang Thales, bahwa dialah orang  yang berfilsafat pertama karena mencoba menjelaskan dunia dan gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada mitos melainkan pada rasio manusia. Selain sebagai filsuf, Thales juga dikenal sebagai ahli geometri, astronomi, dan politik. bersama dengan Anaximandros dan Anaximenes. Daya pikir kritis Thales melahirkan theorema yang dikenal dengan 'Theorema Thales'.

Lewat para pemikir Yunanilah kita kemudian mengenal ilmu filsafat, mengembangkan berpkir logika. Sebagaimana  sebagian ilmuwan muslim masa Abasiyah banyak mengambil sumber pemikirannya dari pengetahuan filsafat yunani tersebut.

Apakah sistim pendidikan yang dilaksanakan saat ini sudah memberikan porsi yang maksimal? Kita bisa mengevaluasi fakta yang ada dari berbagai pola belajar atau interaksi guru-siswa di sekolah-sekolah di sebagian besar lembaga pendidikan di negri ini. Beberapa aktifitas yang sering kita temukan pada cara interkasi antara guru dengan siswa di kelas, di lingkungan sekolah, menunjukkan terjadinya pola interaksi yang cenderung bersifat 'one way communicaton', secara dogmatik, berpusat pada guru.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun