Mohon tunggu...
BungRam
BungRam Mohon Tunggu... Konsultan - Pemerhati pendidikan, konsultan program pendidikan

Book lover, free traveller, school program consultant, love child and prefer to take care for others

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengenal Sosok John Dewey dan Teori Pendidikan Konstruktivisme

21 Januari 2019   14:02 Diperbarui: 6 Agustus 2021   05:34 7369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam bidang pendidikan, kita pernah mendengar sebuah teori, atau sebut saja sebuah metode 'belajar sambil melakukan'- learning by doing.

Teori dan metode tetsebut pertama kali dikenalkan oleh seorang filosof asal Amerika yang lahir pada 20 October 1859 di Burlington, Vermont Amerika Serikat, yaitu John Dewey.

John Dewey lulus dengan gelar sarjana dari University of Vermont pada tahun 1879. Setelah menerima gelar doktor dalam bidang filsafat dari Universitas Johns Hopkins pada tahun 1884, ia mulai mengajar filsafat dan psikologi di University of Michigan. 

Di sana minatnya secara bertahap bergeser dari filosofi Georg Wilhelm Friedrich Hegel ke psikologi eksperimental baru yang dikembangkan di Amerika Serikat oleh G. Stanley Hall dan filsuf dan psikolog pragmatis William James. 

Kemudian studi lebih lanjut tentang psikologi anak mendorong Dewey untuk mengembangkan filosofi pendidikan yang akan memenuhi kebutuhan masyarakat demokratis yang berubah.

Baca juga : Penerapan Model Pembelajaran Konstruktivisme Sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Menulis Esai

Pada tahun 1894 ia bergabung dengan fakultas filsafat di University of Chicago, tempat ia mengembangkan pedagogi progresifnya lebih lanjut di Sekolah Laboratorium universitas. 

Pada tahun 1904 Dewey meninggalkan Chicago ke Universitas Columbia di New York City, di mana ia menghabiskan sebagian besar karirnya dan menulis karya filosofisnya yang paling terkenal, Experience and Nature (1925). Tulisannya berikutnya, yang termasuk artikel dalam majalah populer, membahas topik dalam estetika, politik, dan agama.

Dalam teori dan metodenya ini,  ia berpendapat bahwa untuk mempelajari sesuatu, tidak perlu orang terlalu banyak mempelajari itu.  Dalam melakukan apa yang hendak dipelajari itu, dengan sendirinya ia akan menguasai gerakan-gerakan atau perbuatan-perbuatan yang tepat, sehingga ia bisa menguasai hal yang dipelajari itu dengan sempurna.

 Ia mengambil contoh tentang seorang yang akan belajar berenang. Menurutnya, seorang itu tidak perlu diajari macam-macam teori tetapi cukup ia langsung disuruh masuk kolam renang dan mulai berenang, dengan cepat seorang itu akan menguasai kemampuan berenang.

Teori Pengetahuan

Fokus sentral dari minat filosofis Dewey sepanjang kariernya adalah apa yang secara tradisional disebut "epistemologi," atau "teori pengetahuan". Akan tetapi, ini menunjukkan sikap kritis Dewey terhadap upaya masa lalu di bidang ini bahwa ia secara tegas menolak istilah "epistemologi," lebih memilih "teori penyelidikan" atau "logika eksperimental" sebagai mewakili pendekatannya sendiri.

Dalam pandangan Dewey, epistemologi tradisional, apakah rasionalis atau empiris, telah menarik perbedaan yang mencolok antara pemikiran, domain pengetahuan, dan dunia fakta yang konon disebut pemikiran: pikiran diyakini ada terpisah dari dunia, secara epistemis sebagai objek kesadaran langsung, ontologis sebagai aspek unik dari diri. 

Baca juga : Yuk, Pahami Belajar Konstruktivisme agar Siswa Lebih Aktif

Komitmen rasionalisme modern, yang berasal dari Descartes, ke doktrin ide bawaan, ide-ide yang terbentuk sejak lahir dalam hakikat pikiran itu sendiri, telah mempengaruhi dikotomi ini; tetapi kaum empiris modern, dimulai dengan Locke, telah melakukan hal yang sama persis dengan komitmen mereka terhadap metodologi introspektif dan teori ide-ide representasional.

Pandangan yang dihasilkan membuat misteri dari relevansi pemikiran dengan dunia: jika pemikiran merupakan domain yang berdiri terpisah dari dunia, bagaimana bisa keakuratannya sebagai sebuah bagian dari perhitungan dunia menjadi ada ? Bagi Dewey, sebuah model baru, yang menolak anggapan tradisional, menginginkan, sebuah model yang berusaha ia kembangkan dan sempurnakan selama bertahun-tahun dalam penulisan dan refleksi.

Menurut pragmatisme Dewey, atau yang disebutnya "instrumentalisme," adalah pandangan bahwa pengetahuan dihasilkan dari ketajaman korelasi antara peristiwa, atau proses perubahan. 

Penyelidikan membutuhkan partisipasi aktif dalam proses-proses tersebut: penyelidik memperkenalkan variasi spesifik di dalamnya untuk menentukan perbedaan apa yang terjadi dalam proses terkait dan mengukur bagaimana suatu peristiwa tertentu berubah dalam kaitannya dengan variasi dalam peristiwa terkait. 

Baca juga : Teori Konstruktivisme Komunikasi

Sebagai contoh, penyelidikan eksperimental dapat berupaya untuk mengetahui bagaimana keganasan dalam suatu organisme manusia berubah dalam kaitannya dengan variasi dalam bentuk-bentuk perlakuan tertentu, atau bagaimana siswa menjadi pembelajar yang lebih baik ketika terpapar metode pengajaran tertentu.

Pragmatisme juga merupakan respons terhadap apa yang oleh para filsuf disebut teori kebenaran dan makna: gagasan bahwa dalam belajar kita adalah reseptor pasif dari rangsang sensorik. Pragmatisme, sebaliknya, menegaskan bahwa individu itu terutama aktif dalam pembangunan dunianya, dan bahwa makna yang kita peroleh dalam hidup kita adalah hasil dari hubungan yang kompleks antara ide yang diterima dan pengalaman sekarang.

Dalam teori instrumentalisme, pikiran-pikiran berfungsi dalam penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Menurut dewey, kita hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. 

Pertama, kata temporalisme yang berarti ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini juga dianut oleh William James.

Konsep Pendidikan John Dewey

Konsep pendidikan Dewey memberi prioritas pada kegiatan yang bermakna dalam pembelajaran dan partisipasi dalam demokrasi kelas. Tidak seperti model pengajaran sebelumnya, yang mengandalkan otoriterianisme dan hafalan, pendidikan progresif menegaskan bahwa siswa harus diinvestasikan dalam apa yang mereka pelajari. 

Dewey berpendapat bahwa kurikulum harus relevan dengan kehidupan siswa. Dia melihat belajar dengan melakukan dan mengembangkan keterampilan hidup praktis sebagai hal penting untuk pendidikan anak-anak. Beberapa kritikus berasumsi bahwa, di bawah sistem Dewey, siswa akan gagal memperoleh keterampilan dan pengetahuan akademik dasar. Yang lain percaya bahwa tata ruang kelas dan otoritas guru akan hilang.

Bagi Dewey, keharusan etis sentral dalam pendidikan adalah demokrasi. Setiap sekolah, seperti yang ditulisnya di The School and Society, harus menjadi "kehidupan komunitas embrio, aktif dengan jenis pekerjaan yang mencerminkan kehidupan masyarakat yang lebih luas dan meresap ke seluruh dengan semangat seni, sejarah dan sains. 

Ketika sekolah memperkenalkan dan melatih setiap anak masyarakat untuk menjadi anggota dalam komunitas kecil seperti itu, menjenuhkannya dengan semangat pelayanan, dan memberinya instrumen pengarahan diri sendiri yang efektif, kita akan memiliki jaminan terdalam dan terbaik dari masyarakat yang lebih besar yang layak, menyenangkan dan harmonis. "

Dalam bukunya Democracy and Education (1916), Dewey menawarkan suatu konsep pendidikan yang adaptif dan progresif bagi perkembangan masa depan.

"Dewey elaborated upon his theory that school reflect the community and be patterned after it so that when children graduate from school they will be properly adjusted to asumse their place in society."

Kutipan di atas dapat dipahami secara bebas bahwa pendidikan harus mampu membekali anak didik sesuai sengan kebutuhan yang ada pada lingkunga sosialnya. Sehingga, apabila anak didik tersebut telah lulus dari lembaga sekolah, ia bisa beradaptasi dengan masyarakatnya.

Untuk merealisasikan konsep tersebut, Dewey menawarkan dua metode pendekatan dalam pengajaran. Pertama, problem solving method. Dengan metode ini anak dihadapkan pada berbagai situasi dan masalah-masalah yang menantang, dan anak didik diberi kebebasan sepenuhnya untuk memecahkan masalah-masalah tersebut sesuai dengan perkembangan kemampuannya. 

Dalam proses belajar mengajar model ini guru bukannya satu-satunya sumber, bahkan kedudukan seorang guru hanya membantu siswa dalam memecahkan kesulitan yang dihadapinya. Dengan metode semacam ini, dengan sendirinya pola lama yang hanya mengandalkan guru sebagai satu-satunya pusat informasi (metode pedagogy) diambil alih kedudukannya oleh metode andragogy yang lebih menghargai perbedaan individu anak didik.

Kedua, Learning by doing. Konsep ini diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan dalam masyarakat. Supaya anak didik bisa eksis dalam masyarakat bila telah menyelesaikan pendidikannya, maka mereka dibekali keterampilan-keterampilan praktis sesuai dengan kebutuhan masyarakat sosialnya.

Teori Konstruktivisme

Beberapa kalangan menyebutkan bahwa pendiri teori konstruktivisme adalah Jean Piaget. Namun John Dewey sering dikutip sebagai pendiri filosofis dari pendekatan teori konstruktivisme ini. Bruner dan Piaget dianggap sebagai ahli teori utama di antara konstruktivis kognitif, sementara Vygotsky adalah ahli teori utama di antara konstruktivis sosial.

Dalam konstruktivisme John Dewey menolak anggapan bahwa sekolah harus fokus pada pengulangan, hafalan yang menghafal & mengusulkan metode "hidup terarah" - siswa akan terlibat dalam lokakarya praktis di dunia nyata di mana mereka akan menunjukkan pengetahuan mereka melalui kreativitas dan kolaborasi. Siswa harus diberi kesempatan untuk berpikir dari diri mereka sendiri dan mengartikulasikan pemikiran mereka.

Dewey menyerukan agar pendidikan didasarkan pada pengalaman nyata. Dia menulis, "Jika Anda ragu tentang bagaimana pembelajaran terjadi, terlibatlah dalam penyelidikan berkelanjutan: belajar, merenungkan, mempertimbangkan kemungkinan alternatif dan sampai pada keyakinan Anda yang didasarkan pada bukti."

John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Weare Noegayya 2012). Apabila belajar siswa tergantung pada pengalaman

dan minat siswa maka suasana belajar siswa akan menjadi lebih menyenangkan dan hal ini akan mendorong siswa untuk berfikir proaktifdan mampu mencari pemecahan masalah, di samping itu kurikulum yang diajarkan harus saling terintegrasi agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memiliki hasil maksimal

Menurut John Dewey, pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya. 

Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam teori konstruktivisme disebutkan bahwa permasalahan muncul dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa sendiri, hal ini dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan antara siswa dengan permasalahan yang dihadapi dan siswa tersebut yang merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki.

Dapat disimpulkan, bahwa pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:

1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.

2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya mampu membina pengetahuan mereka secara mandiri.

3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.

4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.

5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.

6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.

Sumber tulisan :

https://www.britannica.com/biography/John-Dewey

https://www.pbs.org/onlyateacher/john.html

http://www.ucdoer.ie/index.php/Education_Theory/Constructivism_and_Social_Constructivism

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun