Mohon tunggu...
Bung Ojan
Bung Ojan Mohon Tunggu... Penulis - Pecinta Sastra dan Filsafat

Menulis adalah melawan!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

DPR, Kau itu Kacung!

25 September 2019   15:02 Diperbarui: 25 September 2019   15:17 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Catatan Seorang Demonstran pada Tragedi 24 September 2019)

"Aneh: hukum negara bertabrakan dengan hak dasar kemanusiaan, dan keduanya telah tiba pada kondisi purik (saling membenci) yang susah disembuhkan. Tetapi, jalan terang tetap terlihat, setidak-tidaknya di cakrawala pandangan setiap orang yang tak mengenal putus asa." ~Emha Ainun Nadjib

24 September 2019. Aku bersama kawan-kawan demonstran yang yang menolak adanya revisi terhadap beberapa UU berhasil mengepung Gedung DPR. Sehari sebelumnya, 23 September 2019, kami juga sudah melakukan aksi. Beberapa presiden mahasiswa dari berbagai kampus diajak audiensi oleh DPR, tetapi usulan dan gagasan kami ternyata: ditolak.

Proses aksi berjalan lancar sebelum akhirnya sekitar jam 16.00 WIB pada tanggal 29 September, aparat mulai menembaki kami dengan water canon dan gas air mata. Mahasiswa dipaksa mundur. Chaos terjadi sampai waktu tengah malam tiba. Daerah gedung DPR, GBK, dan Palmerah menjadi zona merah. Terjadi bentrok antara para demonstran dengan aparat kepolisian. Jalan yang melingkari gedung DPR penuh dengan api. Jumlah korban yang pingsan dan luka-luka sudah tidak terhitung jumlahnya karena begitu banyaknya.

Kami bingung. Kami sungguh tidak mengerti apa tujuan aparat menembaki kami dengan begitu buasnya. Padahal kami datang hanya membawa gagasan yang kami yakin akan mewadahi aspirasi rakyat Indonesia.

Kami membawa pikiran-pikiran rakyat kepada mereka yang "katanya" wakil rakyat. Kami menyampaikan apa yang ingin disampaikan oleh rakyat.

Bukan cuma satu dua orang tukang angkot, tukang bengkel, penjual siomay, dll, yang bilang kepada kami saat diperjalanan bahwa mereka menitipkan "salamnya" kepada para DPR.

Mereka bingung harus menyampaikan dengan cara apa dan kepada siapa segala keresahan bahkan kekecewaan mereka. Dan atas premis inilah kami turun ke jalan.

Tetapi kami diwejangi dengan water canon dan gas air mata. Pikiran kami dilawan dengan seragam lengkap polisi, tendangan dari sepatu lars panjang mereka, pukulan serta upaya represif lainnya.

Kami para demonstran yang datang dengan tangan kosong, disuguhi dengan peralatan lengkap. Kami dipaksa untuk konfrontasi dengan aparat, sementara pejabat, duduk dengan nikmat.

Suara dari ribuan demonstran tidak didengar. Suara kami menemui gerbang DPR yang mentok. Dan pada akhirnya yang kami dapat adalah sesak nafas, luka sobek, mata pedih, kaki terkilir, dan darah segar yang menetes dari tubuh-tubuh kami.

Kepada para aparat kami hanya ini menyampaikan bahwa tugas pokok kalian itu manjaga kami. Mengawal bagaimana kami bisa menyampaikan suara-suara ini. Kita sama-sama cinta negeri ini, karenanya kami turun aksi.

Jadi bukan kami yang seharusnya kalian pukuli, tetapi yang korupsi. Mereka yang menindas dan mengebiri hak-hak kami. Apa perlu kalian kami kuliahi kembali soal tugas pokok polisi?!

Di sisi lain, alih-alih merespon, Bapak dan Ibu DPR yang terhormat justru menilai aksi kami ditunggangi dan masa bodoh terhadap substansi dari demonstrasi yang kami lakukan.

Sebagian yang lain bilang tidak mengerti dengan tuntutan kami. Ada pula yang menganggap aksi yang kami lakukan adalah cara yang salah, dan menghimbau para demonstran untuk melakukan jalur diplomasi.

Biar kuberi tahu, dengan aksi yang sedemikian saja DPR menolak gagasan kami bahkan memaksa kami mundur. Apalagi dengan cara yang DPR ajukan.

Sudah barang tentu kami hanya akan dianggap ngibul. Lagi pula, mosi tidak percaya masyarakat terhadap DPR memaksa kami untuk turun ke jalan demi tersampaikannya aspirasi rakyat Indonesia ke depan hidung Bapak dan Ibu di Senayan.

Perlu anggota DPR ingat bahwa dulu, mahasiswa dikecam kala tragedi '98 terjadi. Dianggap membuat rusuh dan hanya merugikan. Tetapi toh saat ini kita sama-sama menikmati hasil jerih payah mereka.

Reformasi yang saat ini kita huni, adalah berkat perjuangan berdarah-darah sampai ada yang meregang nyawa.

Jadi tak usahlah ajari kami bagaimana cara menyampaikan aspirasi, toh juga kalau kalian sejak semula DPR mendengar pikiran-pikiran kami, maka kami akan kembali ke kampus masing-masing untuk membaca buku-buku, diskusi sambil ngopi, dan menikmati ademnya bangku-bangku kampus.

Pesanku juga untuk kawan-kawan mahasiswa yang sampai saat ini masih aktif mengawal jalannya demokrasi di negeri ini, kita tak gagal, kawan! Iya, kita tak gagal.

Mungkin banyak orang yang menilai kita gagal karena gerbang DPR belum ambruk, atap gedung DPR belum kita duduki, dan tuntutan kita belum dipenuhi. Dalam tolok ukur itu mungkin kita harus akui kalau kita belum berhasil. Tetapi kita sukses di lain hal.

Kita berhasil memperlihatkan kepada bangsa Indonesia bahwa DPR memang pandai mengadu domba antara rakyat dan aparat, sementara mereka duduk ngopi sambil ketawa-ketiwi.

Kita juga sukses menunjukkan bahwa Bapak dan Ibu yang ada di Senayan sana lupa siapa tuan dan siapa kacung. Mereka lupa bahwa dulu mereka mengemis suara kita, mengemis agar dipilih dan dicoblos. Lupa bahwa tempat duduk, tempat kencing dan tai mereka, semua kita yang biayai. Mereka lupa bahwa makan mereka beserta anak bini adalah kita yang subsidi.

Mereka telah lupa semua itu, dan kita telah perlihatkan kepada bangsa Indonesia dengan luka di badan kita, darah yang mengalir dari tubuh kita, serta memar dan lebam di daging-daging kita.

DPR mungkin mengira bahwa keresahan bisa diredam dengan alat-alat aparat. Percayalah wahai Bapak dan Ibu sekalian, bahwa kami tak akan berhenti sampai tuntutan kami didengar dan dikabulkan. Kemanusiaan tidak akan redup hanya dengan gas air mata, water canon, bahkan pelor senjata.

Kami akan terus ada dan bertambah. Kami juga tak akan lelah untuk menunjukkan kepada kalian bahwa rakyatlah sebenar-benarnya penguasa di negara ini. Dari tangan dan kaki merekalah kalian makan dan minum. Dari keringat merekalah anak bini kalian tumbuh dan berkembang biak.

Ingat-ingat pesan kami: seberapa kerasnya kau berusaha memadamkan api perlawanan kami, maka sekeras itulah kami akan tetap melawan pada setiap penindasan dan ketidakwarasan. Karena kita adalah generasi yang tak mengenal putus asa. Persis seperti tulisan Cak Nun Hidup yang dikutip di awal tulisan ini.

Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat yang Melawan! (Bung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun