Mohon tunggu...
Bung Lomi
Bung Lomi Mohon Tunggu... Freelancer - Debutant Writer

Read Well, Write Well

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang 12 September 1984

12 September 2019   19:00 Diperbarui: 13 September 2019   13:23 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tepat hari ini 35 tahun lalu, di Tanjung Priok - Jakarta Utara jadi hari yang pilu bagi saudara umat muslim. Bentrokan terjadi yang melibatkan massa dengan kelompok aparat senjata, yang menghasilkan banyaknya tumpahan darah dan banyaknya jiwa - jiwa yang melayang sia - sia akibat peristiwa ini.

Peristiwa ini adalah catatan merah dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia , 14 tahun sebelum tragedi 1998 terjadi. Yang juga melibatkan sekelompok massa dengan tindakan aparat yang berlebihan dalam menghadapi demonstrasi massa kala itu. 

Kejadian pilu ini bermula saat penerapan Pancasila sebagai asas tunggal yang mulai gencar digaungkan sejak awal 1980-an oleh presiden kedua republik ini, Soeharto.

Di tengah suasana yang seakan mengekang itu, tersiar kabar dari utara Jakarta bahwa Abdul Qodir Jaelani, memberikan sebuah khutbah yang berisi penentangan terhadap asas tunggal Pancasila di masjid As Saadah. 

Beberapa hari sebelum kejadian penumpahan darah itu terjadi, bermula saat Sersan Hermanu seorang anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) tiba di Mushala As Sa'adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok-Jakarta Utara (08-09-1984), dan mengatakan kepada pengurusnya Amir Biki, untuk mencopot pamflet maupun spanduk bertenggeran yang isinya mengkritik pemerintah.

Namun Biki menolak untuk melakukannya. Hingga akhirnya Hermanu sendiri yang turun tangan untuk melakukan pencopotan spanduk dan pamflet tersebut. Saat melakukannya, Hermanu dilaporkan memasuki area batas suci masjid tanpa melepas alas kakinya. Dan juga ia menyiram air comberan untuk menyiram pamflet tersebut.

Kelakuan Babinsa itu sontak membuat kalangan jemaah dan warga sekitar menjadi naik pitam, kendati demikian warga masih menahan diri untuk bisa menyelesaikan kejadian itu dengan kepala dingin. Namun tidak ada tindak lebih lanjut dari pihak - pihak yang berwenang untuk menyelesaikan kasus ini sebelum emosi warga tumpah dan polemik besar terjadi.

Isu ini kemudian berbuntut panjang di kalangan warga dan jemaah sekitar, dan masih belum ada upaya nyata dari pihak berwajib.

Dua hari setelahnya (10-09-2019), jemaah As Sa'adah bertemu empat mata dengan Hermanu dan rekan babinsanya. Mereka terlibat perselisihan sengit hingga harus diselesaikan di kantor pengurus Masjid Baitul Makmur, yang tidak jauh dengan mushala. Namun saat perundingan tengah berlangsung, tiba-tiba massa sudah berkumpul di depan pos dan sudah gatal ingin menangkap Hermanu. 

Entah bagaimana tiba - tiba situasi mulai ricuh saat salah seorang dari gerombolan itu membakar sepeda motor milik tentara. Aparat yang juga hadir dalam perundingan antara jemaah dan Hermanu itu sontak bertindak melakukan penangkapan pada keempat orang yang diduga adalah provokator.

Keempat orang itu adalah Syarifuddin Rambe, Syafwan Sulaeman, Achmad Sahi, dan Muhammad Noor. Penangkapan yang dilakukan oleh aparat itu sontak membuat emosi warga naik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun