Mohon tunggu...
Bung Kusansejarah
Bung Kusansejarah Mohon Tunggu... -

Indonesia Tanah Air Beta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Vito Corleone & Citra Politik Tersangka Korupsi

9 Desember 2012   14:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:56 1349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menikmati tiga sekuel karya Mario Puzzo, bukan saja menginspirasi. Tapi juga seperti membaca sebuah buku tentang misteri, bagaimana sebuah kekuasaan dibangun, dipertahankan, diskenariokan, lalu dipertontonkan ke ruang publik.

Vito dari Corleone, seorang bocah kurus, penyakitan dan cerdas. Menjadi kuat setelah dibesarkan oleh kehidupan yang keras. Rasa sakit, penderitaan dan dendam menjadikan Vito dari Corleone, Sisilia, memiliki senjata ampuh: pribadi dengan banyak wajah!

Satu hal yang tak bisa dipungkiri oleh kawan dan lawan Vito dari Corleone, bahwa Vito dari Corleone yang tadinya lemah tak berdaya, telah berubah sebuah kekuatan tak tersentuh. Menjadi God Father.

Banyak keluarga Sisilia bisa menjadi Don. Tapi, tak semua bisa menjadi God Father seperti Vito dari Corleone. Kenapa?

Melalui Vito dari Corleone, sutradara Francis Ford Copolla menterjemahkan karya Mario Puzzo sebagai sebuah kekuasaan dibangun bukan dengan senjata atau peluru: tapi dari keluarga dan orang-orang kepercayaan. Narasi-narasi God Father, menjadikan batu-batu gunung yang kasar diubah dan digosok menjadi pualam kekuasaan.

"Do you spend time with your family? Good. Because a man that doesn't spend time with his family can never be a real man."

Vito dari Corleone adalah ayah yang tak pernah melewatkan waktu makan malam bersama keluarga. Memimpin doa dan tidak ada perbincangan pekerjaan di meja makan.

"Never tell anybody outside the family what you're thinking again."

Vito dari Corleone, tak percaya pada siapa pun, termasuk anaknya sendiri sampai dia melihat Michael Corleone sudah tumbuh makin dewasa dan bijak.

"Even the strongest man needs friends. Politics is knowing when to pull the trigger."

Vito dari Corleone, lebih memilih membayar pertemanan dengan siapa saja, dari pada harus membeli peluru dan senapan untuk memenangi duel di jalanan dengan para gangster.

Dan, sekuel ketiga dari film God Father menunjukan bahwa pada akhirnya tak ada yang abadi di dunia ini. Kekuasaan, kekayaan dan ketenaran yang berlebih, selalu berhadapan dengan hukum alam: membentur dindingnya sendiri.

* * *

Ini cerita berbeda. Tidak ada hubungannya dengan film God Father. Juga tak ada hubungan dengan Vito dari Corleone atau narasi-narasi dialognya. Ini hanya sedikit catatan sejarah dari sebuah peristiwa yang berangkai masa lalu ke masa kini.

Hari Kamis malam, tanggal 6 Desember di tahun 2012. Terus terang, tak ada menyangka kalau saja wartawan secara cermat melihat sebuah surat yang ditunjukkan oleh Wakil Ketua KPK bidang Penindakan, Bambang Widjojanto tentang perintah pencekalan terkait dengan kasus yang telah ditelusuri oleh KPK: Proyek Hambalang!

Disebutkan satu-satu inisial yang dicekal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ada AAM, AZM dan MAT. Butuh waktu beberapa saat untuk kemudian publik tahu bahwa yang dicekal adalah Andi Alifian Mallarangeng, Andi Zulkarnain Mallarangeng dan Moh Arief Taufikurahman.

Juga, butuh waktu beberapa saat untuk pada akhirnya publik tahu bahwa satu dari tiga nama yang dicekal itu berstatus TERSANGKA. Yaitu, Andi Alifian Mallarangeng. Itupun diketahui karena ada "sedikit" keterangan di surat itu.

Heboh. Ruang publik pun diisi dengan berita-berita tentang AAM yang menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga pada kabinet pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sampai puncaknya ketika jam sepuluh pagi, di hari berikutnya, Andi Alifian Mallarangeng menyatakan mundur dari jabatan sebagai Menteri.

Reaksi yang muncul mengejutkan. Tiba-tiba dukungan bergemuruh. Banyak yang menyatakan dukungan terhadap keputusan Andi Mallarangeng. Pujian juga saling bersahutan. Sampai-sampai, Ketua KPK Abraham Samad sendiri, menyampaikan pujian tepat di peringatan Hari Anti Korupsi, bahwa Andi Mallarangeng adalah Kesatria dari Bugis.

Bukan main!

Seorang Ketua KPK yang selama hampir satu tahun membuat pernyataan-pernyataan tentang kasus Hambalang, mulai dari istilah "menghitung hari" sampai "biar Tuhan yang membawa buktinya" menyampaikan pujian kepada orang yang akhirnya ditetapkan sebagai TERSANGKA.

Tentu, ini baru langkah pertama dari sebuah proses hukum. Bahwa, seorang yang ditetapkan Tersangka masih harus diuji melalui proses pengadilan atas apa yang di-SANGKA-kan padanya.

Masalahnya, selama hampir satu tahun kasus ini menjadi "bulan-bulanan" di ruang publik, telah menjadikan beberapa nama dicaci, dihina, difitnah, dituduh tanpa bukti apapun. Sementara, penetapan TERSANGKA justru diiringi dengan puja-puji dan menjadikannya sebagai Kesatria?

* * *

Ini cerita lain lagi. Ketika menjelang akhir pemerintahan Gus Dur, dua nama Mallarangeng muncul membawa "angin segar" dalam peta komentator politik Indonesia: Andi Rizal Mallarangeng dan Andi Alifian Mallarangeng.

Kakak-beradik ini menjadi pesohor baru sebagai analis dan komentator politik. Statemen-statemennya cadas dan cerdas. Meski, kecenderungan dukungan politiknya berbeda. Rizal Mallarangeng, pada akhirnya diketahui lebih dekat ke Megawati Soekarnoputri melalui Taufik Kiemas, dan sekarang telah berpindah lagi menjadi Wasekjen Partai Golkar.

Sementara, Andi Alifian Mallarangeng yang menjadi anggota KPU, akhirnya membangun PDK bersama Ryaas Rasyid. Meski kemudian, pada Pemilu 2004, Andi Mallarangeng bergabung ke dalam Tim Sukses pasangan SBY-JK, dan kemudian selama lima tahun menjadi juru bicara SBY dan bergabung ke Partai Demokrat.

Tahun 2009, muncul lagi satu Mallarangeng ke ruang publik yang dikenal sebagai konsultan politik SBY melalui perusahaan konsultan politik FOX Indonesia. Dia adalah Andi Zulkarnain Mallarangeng.

Sukses besar kemenangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009, membuat tiga Mallarangeng menjadi sangat akrab dengan dunia politik. Terutama yang terkait dengan strategi marketing dan komunikasi politik moderen.

Tiga bersaudara Mallarangeng ini, mau tidak mau, diakui sebagai salah satu pelopor politik modern Indonesia. Ketiganya mengenalkan apa yang kemudian kita kenal sebagai Politik Pencitraan. Terutama, melalui media mainstream atau media alternatif.

Pada tahun 2010, kira-kira sepanjang bulan Februari hingga Mei, Andi Alifian Mallarangeng maju sebagai calon Ketua Umum Partai Demokrat dalam kongres kedua Partai Demokrat di Bandung.

Catatan sejarah menunjukkan (kalau tidak percaya, silakan googling saja) bahwa Andi Alifian Mallarangeng adalah calon yang paling banyak "belanja iklan." Melalui telivisi, dibuat advetorial Andi Alifian Mallarangeng for PD-1. Juga melalui koran, online, plus banyak baliho, spanduk, ex-banner di jalan-jalan Jakarta.

Tidak main-main, putra bungsu Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono, memperkuat Tim Sukses Andi Alifian Mallarangeng. Selain ikut berkampanye, juga menjadi bintang iklan dalam media advetorial Andi Alifian Mallarangeng.

Waktu itu, banyak pihak memprediksi Andi Alifian Mallarangeng adalah satu-satunya calon Ketua Umum Partai Demokrat yang direstui oleh keluarga Cikeas.

Dan terakhir, ketika Kongres Partai Demokrat digelar di Bandung. Andi Alifian Mallarangeng adalah calon dengan spanduk, baliho dan billboard kampanye paling banyak!

Waktu itu, tak ada satupun pihak yang mempermasalahkan: darimana Timses Andi Alifian Mallarangeng mendapatkan dana sebegitu besar untuk "belanja iklan"?

Akhirnya, Kongres dimenangkan oleh Anas Urbaningrum yang deklarasi pertamanya dilakukan di saat-saat terakhir, di Taman Ismail Marzuki dengan acara yang sederhana (lebih tepatnya, murah-meriah).

Setahun kemudian, pertengahan 2011, muncullah petaka "Wisma Atlet dan Hambalang". Nazaruddin, bendahara umum Partai Demokrat yang dipecat, selama hampir satu tahun lebih (mulai dari 2011 sampai 2012) menebar tuduhan: bahwa, Anas Urbaningrum yang menjadi pesaing dalam kongres Partai Demokrat di Bandung sebagai orang yang terlibat.

Dalam keterangan yang berubah-ubah, baik di sidang pengadilan maupun di luar sidang pengadilan, Nazaruddin terus menuduh dan memfitnah Anas Urbaningrum. Sampai sidang Nazaruddin, dan Nazaruddin terus diperiksa KPK dan menjadi saksi-saksi di persidangan, tak ada satu bukti dan logika yang menunjukkan bahwa Anas Urbaningrum terlibat.

Kasus Wisma Atlet sudah divonis. Nazaruddin ditetapkan sebagai terpidana atas korupsi yang juga melibatkan mantan anak buahnya, Mindo Rosalina Manulang dan mantan Sesmenpora Wafid Muharam.

Hambalang, sudah menemui titik terang. Dua nama telah menjadi tersangka, yaitu Dedy Kusdinar, pejabat pembuat komitmen di Kemenpora dan Andi Alifian Mallarangeng, Menteri Pemuda dan Olahraga.

Lalu, apa kesimpulan dari peristiwa-peristiwa ini?

Sederhana saja: Bahwa, hukum dan citra diri dalam politik, tidak berjalan linear. Hati-hatilah merespon fitnah. Di politik, kebenaran memiliki jalannya sendiri. Bangsa ini membutuhkan rakyat yang makin cerdas untuk kejayaannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun