Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Belajar Naturalisasi Pemain dari Jepang

18 November 2024   02:42 Diperbarui: 18 November 2024   11:41 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

STY meminta pemain naturalisasi tanpa henti karena menilai kualitas Liga 1 buruk. Padahal kalau kita mau fair menilai, sebenarnya tidaklah seburuk itu.

Nyatanya di Piala Asia yang baru lalu ada tiga kontestan selain Indonesia yang memasukkan pemain Liga 1 dalam skuatnya. Ketiganya adalah Palestina yang membawa gelandang Bali United Mohammed Rashid, Malaysia (Junior Eldstal, Dewa United) dan Thailand (Elias Dolah, Bali United). 

Toh, selama ini STY selalu percaya pada Rizki Ridho, Witan Sulaeman, Egy Maulana Vikri dan Pratama Arhan yang adalah produk asli Liga 1. Sangat kontras dengan alasan yang ia berikan tatkala ditanya alasan tidak memanggil dua pemain yang statistiknya oke musim lalu: Stefano Lilipaly dan Nadeo Argawinata.

Sekali lagi, tak ada masalah dengan program naturalisasi pemain. Terlebih jika PSSI sedang mengincar target jangka pendek: lolos Piala Dunia 2026 atau juara Piala Asia 2027. Kita semua dapat memakluminya.

Karena bersifat jangka pendek itulah PSSI harus bisa menjawab sampai kapan program naturalisasi ini berlangsung? Mau menaturalisasi sampai total berapa pemain baru akan berhenti?

Kalau jawabannya adalah tidak ada batasan waktu dan sebanyak-banyaknya seperti pernah disampaikan salah satu anggota Exco PSSI dalam banyak kesempatan, jangan bilang Anda sedang membangun sepak bola Indonesia. Yang sebenarnya dikejar adalah prestasi instan demi mengangkat nama pengurus.

Jepang telah memberi bukti bahwa cara yang mereka tempuh lebih sukses membangun timnas berkualitas dunia secara berkesinambungan. Terbukti dengan partisipasi tanpa henti di Piala Dunia sejak edisi 1998.

Jika pada 1991 Jepang mempelajari Galatama kala hendak menggulirkan liga profesional, tidak ada salahnya jika kini ganti PSSI yang berguru pada JFA.

Talang Datar, 17 November 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun