Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Indonesia Vs Jepang adalah Kisah Murid Kalahkan Guru

16 November 2024   21:34 Diperbarui: 17 November 2024   06:39 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia yang diperkuat mayoritas pemain naturalisasi keok dari Jepang yang diisi pemain hasil binaan liga domestik. (ANTARA/Dhemas Reviyanto)

NETIZEN Indonesia kompak memaklumi kekalahan timnas atas Jepang di Matchday 5 Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026, Jumat (15/11/2024) malam WIB. Padahal ini sejatinya hasil ironis, mengingat dulu federasi sepak bola Jepang (JFA) sempat berguru pada Indonesia.

Mari balik ke tahun 1991, tahun di mana Indonesia meraih medali emas SEA Games di Manila. Lima tahun sebelum itu, Tim Garuda menembus semifinal Asian Games 1986 di Seoul.

Dua fakta itu merupakan gambaran jika pada masa itu Indonesia tergolong salah satu tim yang diperhitungkan di Asia. Masa kejayaan timnas kita yang kerap dibangga-banggakan Tommy Welly, si public enemy netizen itu, pada kenyataannya bukanlah pepesan kosong, melainkan fakta belaka.

Coba bandingkan dengan Jepang yang tersingkir di fase grup Asian Games 1986 itu. Di saat Indonesia menjadi runner-up Grup C dan kemudian menang atas Uni Emirat Arab di perempatfinal, Blue Samurai dibantai 0-5 oleh Kuwait dan gagal melaju karena hanya bisa mengambil poin dari dua tim terbawah Grup D: Bangladesh dan Nepal.

Ketika kemudian mencatatkan peningkatan dengan melaju ke perempatfinal Asian Games 1990, modal Biru Samurai hanyalah kemenangan atas Bangladesh selaku tim terlemah di grup. Lalu keok dari Iran dan tersingkir.

Betul, Indonesia pernah dibantai Jepang 0-5 di Preliminary Round Kualifikasi Piala Dunia 1990. Namun di paruh akhir era 80-an hingga awal 90-an itulah Indonesia mampu mencatatkan dua hasil imbang dan sekali menang atas Jepang.

Dan di era itu pulalah tim pemantau dari Japan Football Association (JFA) mendatangi Indonesia untuk mempelajari model Liga Sepak Bola Utama (Galatama). Ya, Anda tidak salah baca dan saya tidak salah menulis: Jepang belajar soal liga domestik ke Indonesia.

Era Dua Liga

Sebagai pengantar bagi netizen generasi Y, Z, dan terutama Gen Alpha, masa itu di Indonesia ada dua liga domestik: Liga Perserikatan yang amatir dan Galatama yang semi-profesional.

Perserikatan adalah lanjutan liga garapan PSSI sejak era prakemerdekaan. Sedangkan Galatama diresmikan pada Oktober 1978 dan musim pertamanya dimulai pada Maret 1979.

Jika Perserikatan diikuti klub-klub tradisional nan bersejarah seperti Persija, Persib, Persebaya, PSIM, serta klub-klub lain dengan nama berawalan "Per" atau "P", Galatama diikuti klub-klub yang berarosiasi dengan perusahaan-perusahaan besar nasional.

Pada musim perdana, Galatama diikuti 14 klub di mana 8 di antaranya berbasis di Jakarta. Dari nama-namanya, kita bisa menebak perusahaan apa yang menjadi induk sebuah klub kontestan liga ini.

Warna Agung, misalnya, sepenuhnya dibiayai oleh perusahaan cat bernama sama. Lalu NIAC Mitra adalah klub yang dimodali oleh New International Amusement Center. Demikian pula Pardedetex yang merupakan klub bentukan TD Pardede, raja tekstil Medan.

Hadirnya Galatama membuat iklim sepak bola nasional semakin bergairah. Terlebih klub-klub kontestan dibebaskan merekrut sebanyak mungkin pemain asing sepanjang mereka mampu membayar gajinya.

Jauh sebelum PSSI era Erick Thohir getol mendatangkan pesepak bola berdarah Indonesia, Tunas Inti sudah melakukannya di Galatama musim ketiga (1982-83). Kala itu klub Jakarta itu mendatangkan Moses Isaac dan Hans Manuputty, dua pemain asal Belanda berdarah Ambon.

Nama Galatama semakin melambung ketika kontestannya meraih hasil positif dalam pertandingan uji coba melawan klub-klub Eropa. Satu yang sering diungkit di media sosial adalah kemenangan NIAC Mitra atas Arsenal di Stadion Gelora 10 November, Surabaya, pada 16 Juni 1983.

Lebih Sukses Terapkan Formula Galatama

Nama harum Galatama sampai ke telinga petinggi JFA. Kala itu Jepang belum punya liga profesional. Yang ada baru Japan Soccer League (JSL), sebuah liga amatir terdiri atas 2 divisi.

Yang membuat JFA tertarik dengan Galatama, ada kemiripan antara mayoritas kontestan liga nasional Indonesia itu dengan peserta JSL. Yakni klub-klubnya sama-sama terasosiasi dengan perusahaan-perusahaan besar nasional Jepang.

Sebutlah misalnya Mitsubishi Motors FC yang kini bernama Urawa Red Diamonds, Hitachi SC (kini Kashiwa Reysol), Furukawa Electric (kini JEF United Chiba), Nissan Motors (kini Yokohama F. Marinos) atau Yanmar Diesel FC (kini Cerezo Osaka).

Satu saja perbedaannya, seperti diceritakan mantan pemain timnas Ricky Yacobi kepada Historia (31/10/2018). Kata pesepak bola Indonesia pertama yang merumput di Liga Jepang ini, pemain klub-klub JSL mayoritas adalah karyawan perusahaan-perusahaan dimaksud.

"...misal Matsushita (kini bernama Gamba Osaka), ya pemainnya diambil dari pegawai Matsushita, bukan orang luar yang memang dikontrak karena skill-nya," tutur Yacobi kepada Historia.

Maka datanglah tim dari JFA ke Jakarta pada 1991, tahun di mana timnas Indonesia meraih medali emas SEA Games Manila. Tentu tak cuma ke Indonesia, tim studi banding JFA juga menyebar ke Eropa untuk mempelajari model-model lain dari liga domestik di sana.

Dari kunjungan di Asia, model Galatama mereka nilai sebagai yang paling cocok untuk dipelajari dan diterapkan. Sedangkan dari Eropa, tim JFA terkesan pada sistem Bundesliga-nya federasi sepak bola Jerman (DFB).

Pada 1993, lahirlah Japan Professional Football League alias J.League. Partai pembuka musim perdana mempertemukan tuan rumah Verdy Kawasaki (kini Tokyo Verdy) dengan Yokohama Marinos di Tokyo National Stadium, 15 Mei tahun itu.

Ironisnya, ketika kemudian J.League berkembang menjadi liga profesional papan atas Asia, ditandai dengan lakunya pemain-pemain hasil didikan kompetisi ini ke Eropa, Galatama justru sekarat dan pada akhirnya mati. Maraknya suap dan pengaruh kuat bursa taruhan tak kuasa diatasi federasi, sehingga lebih memilih membubarkan liga ini pada 1994.

Dampak Jangka Panjang

Naiknya pamor J.League dan bubarnya Galatama seolah menjadi patok penanda mulai melebarnya perbedaan kualitas kedua negara. Dampak kejadian di tahun-tahun awal era 90-an itu kian nyata terlihat dari tahun ke tahun, dekade ke dekade.

Jika di tahun 1986 Indonesia bisa mencapai semifinal Asian Games ketika Jepang memble, sewindu berselang Jepang melaju ke perempatfinal ketika nama Indonesia bahkan tak masuk sebagai daftar peserta cabang sepak bola Asian Games 1994.

Capaian itu didahului oleh peningkatan prestasi di level dunia. Di mana Jepang nyaris saja lolos ke Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat andai keunggulan mereka atas Irak tak digagalkan gol penyama kedudukan pada injury time.

Pertandingan yang mentas di Al-Ahlia Stadium, Doha, Qatar, pada 28 Oktober 1993 tersebut dikenal publik Jepang sebagai "Doha no higeki", The Agony of Doha. Satu momen paling menyakitkan yang menjadi pemicu bagi segenap stakeholder sepak bola di sana untuk melompat lebih tinggi lagi.

Empat tahun berselang, Jepang boleh saja rontok di putaran kedua Asian Games 1998. Namun mereka mengkonversi kegagalan tersebut dengan lolos ke putaran final Piala Dunia untuk kali pertama.

Sejak saat itulah nama Jepang selalu ada dalam daftar peserta putaran final Piala Dunia. Pun pada edisi 2026 mendatang, saya yakin sekali lagu kebangsaan Kimigayo juga bakal kembali bergema di stadion-stadion yang menjadi panggung pertandingan.

Bagaimana dengan Indonesia yang pernah menjadi tempat belajar Jepang?

Saya yakin sekali netizen kita nan budiman jauh lebih paham apa jawabannya. Ringkas saja, bahkan untuk menjuarai Piala AFF yang sudah bolak-balik berganti nama pun Tim Garuda masih belum mampu.

Karena itulah ketika menyaksikan pertandingan Indonesia vs Jepang di kanal YouTube resmi AFC, saya kembali teringat momen Galatama dijadikan model pengembangan liga profesional di Nippon. Lalu jadi berandai-andai sendiri. 

Ah, andai dulu PSSI memilih jalan yang sama dengan JFA di awal era 90-an. Andai saja para petinggi federasi Indonesia terus konsisten di jalur pembinaan dengan etalase utamanya adalah liga domestik seperti yang dilakukan pembesar-pembesar JFA.

Jika itu yang dulu terjadi, Erick Thohir tak perlu melakukan misi-misi ajaib menjurus mustahil demi meraih impian lolos ke Piala Dunia 2026. Toh, ketika 9 dari 11 starter timnas merupakan pemain naturalisasi yang dicomot dari liga-liga Eropa sekalipun, kita masih saja berapologi, "butuh proses panjang, tidak bisa instan."

Talang Datar, 16 November 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun