Dari kunjungan di Asia, model Galatama mereka nilai sebagai yang paling cocok untuk dipelajari dan diterapkan. Sedangkan dari Eropa, tim JFA terkesan pada sistem Bundesliga-nya federasi sepak bola Jerman (DFB).
Pada 1993, lahirlah Japan Professional Football League alias J.League. Partai pembuka musim perdana mempertemukan tuan rumah Verdy Kawasaki (kini Tokyo Verdy) dengan Yokohama Marinos di Tokyo National Stadium, 15 Mei tahun itu.
Ironisnya, ketika kemudian J.League berkembang menjadi liga profesional papan atas Asia, ditandai dengan lakunya pemain-pemain hasil didikan kompetisi ini ke Eropa, Galatama justru sekarat dan pada akhirnya mati. Maraknya suap dan pengaruh kuat bursa taruhan tak kuasa diatasi federasi, sehingga lebih memilih membubarkan liga ini pada 1994.
Dampak Jangka Panjang
Naiknya pamor J.League dan bubarnya Galatama seolah menjadi patok penanda mulai melebarnya perbedaan kualitas kedua negara. Dampak kejadian di tahun-tahun awal era 90-an itu kian nyata terlihat dari tahun ke tahun, dekade ke dekade.
Jika di tahun 1986 Indonesia bisa mencapai semifinal Asian Games ketika Jepang memble, sewindu berselang Jepang melaju ke perempatfinal ketika nama Indonesia bahkan tak masuk sebagai daftar peserta cabang sepak bola Asian Games 1994.
Capaian itu didahului oleh peningkatan prestasi di level dunia. Di mana Jepang nyaris saja lolos ke Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat andai keunggulan mereka atas Irak tak digagalkan gol penyama kedudukan pada injury time.
Pertandingan yang mentas di Al-Ahlia Stadium, Doha, Qatar, pada 28 Oktober 1993 tersebut dikenal publik Jepang sebagai "Doha no higeki", The Agony of Doha. Satu momen paling menyakitkan yang menjadi pemicu bagi segenap stakeholder sepak bola di sana untuk melompat lebih tinggi lagi.
Empat tahun berselang, Jepang boleh saja rontok di putaran kedua Asian Games 1998. Namun mereka mengkonversi kegagalan tersebut dengan lolos ke putaran final Piala Dunia untuk kali pertama.
Sejak saat itulah nama Jepang selalu ada dalam daftar peserta putaran final Piala Dunia. Pun pada edisi 2026 mendatang, saya yakin sekali lagu kebangsaan Kimigayo juga bakal kembali bergema di stadion-stadion yang menjadi panggung pertandingan.
Bagaimana dengan Indonesia yang pernah menjadi tempat belajar Jepang?
Saya yakin sekali netizen kita nan budiman jauh lebih paham apa jawabannya. Ringkas saja, bahkan untuk menjuarai Piala AFF yang sudah bolak-balik berganti nama pun Tim Garuda masih belum mampu.