Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sepak Bola Indonesia di Era Joko Widodo: Sanksi FIFA, Banjir Naturalisasi, dan Tragedi

22 Oktober 2024   05:25 Diperbarui: 22 Oktober 2024   07:26 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segenap rakyat Indonesia melepas Joko Widodo dari jabatan Presiden RI ke-7. Ada banyak kenangan yang ditinggalkan olehnya, termasuk dinamika dalam sepak bola yang penuh warna sepanjang satu dasawarsa terakhir.

Sama halnya dengan pelantikan Prabowo Subianto pada 20 Oktober lalu, Joko Widodo resmi menjabat sebagai Presiden RI pada tanggal dan bulan sama 10 tahun lalu. Seluruh Indonesia larut dalam gegap gempita menyambut sosok yang akrab dipanggil Jokowi tersebut.

Namun jagat sepak bola nasional menyambut presiden baru dengan sebuah insiden memalukan. Hanya enam hari setelah pelantikan, 26 Oktober 2014, Indonesia digegerkan oleh terjadinya sepak bola gajah antara PSS Sleman dan PSIS Semarang.

Peristiwa itu terjadi di laga terakhir babak delapan besar Divisi Utama. Baik PSS maupun PSIS yang sudah sama-sama memastikan lolos ke semifinal sebagai dua teratas di Grup 1,  saling berbalas gol bunuh diri karena sama-sama tak mau menang!

Belakangan terungkap jika kedua tim berupaya menghindari salah satu kontestan di Grup 2 yang disinyalir punya dukungan nonteknis. Ujung-ujungnya, setelah PSSI dan FIFA turun tangan untuk menginvestigasi partai memalukan tersebut, kedua tim didiskualifikasi dan sejumlah pemainnya mendapat skorsing keras.

Sebulan berselang, tepatnya 28 November 2014, kabar buruk lain dari dunia sepak bola datang ke telinga Jokowi. Kali ini dari kiprah timnas Indonesia di Piala AFF 2014 yang tersingkir di fase grup karena kalah bersaing dari Vietnam dan Filipina.

Ini kali kedua berturut-turut Indonesia mentok di fase grup Piala AFF. Edisi sebelumnya, Tim Garuda juga mengakhiri partisipasi dengan menduduki peringkat ketiga grup dengan koleksi 4 poin.

Alhasil, Jokowi mengakhiri tahun 2014, tahun pertamanya sebagai Presiden RI, dengan dua catatan negatif dari dunia sepak bola nasional. Seakan menjadi tanda jika pada masa kepemimpinannya bakal terjadi tragedi besar.

Skorsing FIFA

Memasuki 2015, pemerintahan Jokowi melalui Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi melakukan cawe-cawe terhadap federasi. Pada 17 April tahun itu, Kemenpora membekukan PSSI dan menggantikannya dengan sebuah tim transisi bentukan kementerian tersebut.

Dengan demikian Kongres Luar Biasa PSSI yang berlangsung keesokan harinya, dianggap angin lalu oleh Menpora. Berarti pula kepemimpinan Ketua Umum terpilih periode 2015-2019, La Nyalla Mattalitti, tidak diakui Pemerintah.

Satu-satunya yang diakui Pemerintah cq. Kemenpora sebagai pengampu sepak bola nasional hanyalah Tim Transisi PSSI. Menariknya, sejumlah nama dari 17 anggota tim tersebut masuk dalam Kabinet Merah Putih yang baru saja dibentuk Presiden Prabowo.

Tak cukup sampai di sana, pada 2 Mei 2015 Menpora juga menghentikan Liga Super Indonesia yang belum lama bergulir. Hal ini memicu reaksi FIFA yang langsung menjatuhkan skorsing bagi PSSI pada 30 Mei 2015.

Buntut skorsing ini, timnas Indonesia dinyatakan gugur dari Kualifikasi Piala Dunia 2018 yang juga sekaligus merupakan Kualifikasi Piala Asia 2019. Demikian pula tim kelompok umur yang batal berkompetisi di Piala AFF U19 dan Kualifikasi Piala Asia U16.

Masih beruntung FIFA mau memberi dispensasi bagi tim U23. Tim di bawah arahan Aji Santoso tersebut tetap diizinkan bertanding di SEA Games 2015 Singapura.

Sejumlah drama mewarnai perseteruan antara PSSI dengan Pemerintah. Sampai kemudian digelar sebuah pertemuan bersama antara Pemerintah, PSSI, unsur pemain dan wasit yang diinisiasi Tim Ad-hoc bentukan FIFA pada 11 Desember 2015.

Tepat sebulan berselang, yakni 11 Januari 2016, hasil pertemuan tersebut disampaikan Tim Ad-hoc kepada FIFA. Keputusan atas permasalahan di Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada Kongres AFC dan FIFA.

10 Mei 2016, Presiden Jokowi mencabut pembekuan PSSI. Keputusan ini diikuti dengan pencabutan skorsing FIFA tiga hari berselang, bersamaan dengan dimulainya KLB PSSI yang menghasilkan nama Hinca Panjaitan sebagai Pelaksana Tugas Ketum PSSI.

KLB digelar karena La Nyalla Mattalitti terjerat kasus hukum. Meski sempat mempertahankan posisi, politisi asal Surabaya tersebut didepak dari jabatan Ketua Umum PSSI pada 3 Agustus tahun itu.

Tugas utama Hinca Panjaitan sebagai Plt. Ketum PSSI adalah menyelenggarakan KLB untuk membentuk kepengurusan baru dalam tempo sesingkat-singkatnya. Kongres yang kemudian diadakan tepat pada peringatan Hari Pahlawan.

Luis Milla nan Dipuja

KLB 10 November 2016 menghasilkan Letnan Jenderal Edy Rahmayadi sebagai Ketua Umum PSSI periode 2016-2020. Era di mana nama Ratu Tisha Destria, wakil ketua umum saat ini, mulai menanjak sebagai Sekretaris Jenderal federasi.

Islah sepak bola nasional diikuti kembalinya timnas Indonesia ke partai final Piala AFF 2016. Tim Garuda bahkan nyaris menjadi juara, usai mengalahkan Thailand 2-1 di leg pertama yang berlangsung di Stadion Pakansari, Bogor.

Sayang, ketika ganti bertandang ke Bangkok, Indonesia kalah 0-2 yang mengakibatkan skor agregat menjadi 3-2 untuk keunggulan Thailand. Untuk kali kelima sepanjang sejarah Piala AFF, Tim Garuda harus puas hanya menjadi runner-up.

Era kepemimpinan Edy Rahmayadi juga ditandai dengan penunjukan Luis Milla sebagai pelatih timnas pada Januari 2017. Berbekal pengalaman memperkuat Barcelona, eks gelandang bertahan asal Spanyol tersebut membuat fans sepak bola Tanah Air terpesona oleh permainan Tim Garuda. 

PSSI membebankan target tinggi di SEA Games 2017 dan Asian Games 2018 kepada Luis Milla. Namun ia memulai kiprah dengan hanya mampu mempersembahkan medali perunggu SEA Games.

Setelah membawa Indonesia ke perdelapanfinal Asian Games 2018, Luis Milla memutuskan mundur. Ia merasa gagal karena lagi-lagi tak mampu mencapai target yang dibebankan PSSI, yakni mencapai semifinal.

Padahal performa Indonesia U23 pada event tersebut jauh dari kata buruk. Hansamu Yama Pranata, dkk. lolos ke perdelapanfinal sebagai juara Grup A, serta tersingkir hanya karena kalah adu penalti dari Uni Emirat Arab.

Menutup tahun 2018, hasil minor kembali diraih timnas di ajang Piala AFF. Alih-alih menjadi juara sesuai harapan, Indonesia justru tersingkir dini di fase grup akibat mampu finish di peringkat keempat Grup B.

Tuan Rumah Piala Dunia U20

Edy Rahmayadi tak menyelesaikan kepemimpinannya. Demi mengikuti Pemilihan Kepala Daerah, ia mengundurkan diri pada 20 Januari 2019.

Joko Driyono yang merupakan Wakil Ketua Umum lantas ditunjuk menjadi Pelaksana Tugas. Ironisnya, tak genap sebulan berselang Satgas Antimafia Bola menetapkan pria ini sebagai tersangka pengaturan skor di Liga Indonesia.

Joko Driyono ditangkap dan isu mafia skor di sepak bola nasional sempat menyeruak luas tahun itu. Namun topik ini kemudian redam secara perlahan oleh gegap gempita keberhasilan Indonesia menjuarai Piala AFF U22.

Berikutnya, kalangan komite eksekutif PSSI bergolak karena Gusti Randa yang naik sebagai pengganti Joko Driyono. Beberapa anggota Exco lantas mengadakan rapat dan memutuskan yang berhak menduduki jabatan Plt. Ketum adalah Iwan Budianto selaku pejabat Kepala Staf Ketua Umum.

20 Oktober 2019, Jokowi yang kembali memenangkan Pemilu dilantik sebagai Presiden RI untuk periode kedua. Pelantikannya diikuti kabar gembira bagi Indonesia berkat kinerja kesekretariatan PSSI yang dipimpin Ratu Tisha.

Ya, hanya empat hari setelah pelantikan kedua Jokowi, FIFA menetapkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 edisi 2021. Pencapaian ini menjadi penyelamat muka kepengurusan PSSI periode 2016-2020 yang lebih banyak diwarnai pemberitaan negatif.

2 November 2019, PSSI menggelar KLB yang menghasilkan Mochamad Iriawan alias Iwan Bule sebagai Ketua Umum periode 2019-2023. Banyak nama lawas dalam kepengurusan ini, termasuk Iwan Budianto.

Sementara itu Ratu Tisha tetap menduduki posisi Sekjen.

Banjir Pemain Naturalisasi

Kepemimpinan Iwan Bule langsung diikuti tampilnya Indonesia di final SEA Games 2019. Sayang, Garuda Muda yang begitu perkasa di fase grup--mengalahkan 4 dari 5 lawan termasuk Thailand, terganjal oleh keperkasaan Vietnam.

Kegagalan tersebut dan juga terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20, membuat PSSI merasa perlu mencari sosok pelatih mumpuni. Dari sekian nama yang sempat masuk daftar calon, Shin Tae-yong menjadi pilihan.

Sedianya Shin Tae-yong diplot sebagai pelatih Indonesia U20. Namun karena turnamen ditunda akibat merebaknya pandemi, juru taktik Korea Selatan di Piala Dunia 2018 tersebut diminta menangani timnas senior.

Sempat tak mengesankan di lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2022 dan SEA Games 2021, STY membius publik dengan penampilan di Piala AFF 2020 yang digelar secara tunda pada akhir 2021. Ia membawa tim muda, berusia rata-rata 23 tahun, mencapai final.

Meski lagi-lagi gagal juara, apa yang diperbuat Coach Shin membuat namanya melambung. Terlebih kemudian ia sukses membawa Indonesia lolos ke putaran final Piala Asia 2023, lalu diikuti sejarah partisipasi perdana di Piala Asia U23.

PSSI mematok target tinggi kepada Shin Tae-yong. Dibalas dengan permohonan pemain naturalisasi yang seolah tiada henti dengan dalih agar ia dapat mencapai target yang diberikan.

Ketika kemudian tampuk kepemimpinan PSSI berganti dari Iwan Bule kepada Erick Thohir, jumlah pemain yang dinaturalisasi semakin menjadi-jadi. Ini mungkin terjadi karena pemerintahan Jokowi mendukung penuh upaya pengembangan sepak bola (baca: timnas) yang diupayakan PSSI.

Sayang, sederet dukungan yang diberikan PSSI dan Pemerintah belum juga membuat STY meraih prestasi. Di tahun terakhir Jokowi menjabat, pria Korea ini justru menghadirkan rentetan kegagalan.

Satu-satunya yang menurut saya boleh dibilang sebagai prestasi adalah keberhasilan mencapai semifinal Piala Asia U23. Itupun dengan catatan, tim yang dimainkan Coach Shin di ajang ini isinya kebanyakan penggawa timnas senior.

Tragedi Kanjuruhan

Mundur lagi ke tahun 2022, era Jokowi diwarnai satu tragedi sepak bola nan memilukan. Ratusan penonton tewas dalam kepanikan massal yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, usai pertandingan Arema vs Persebaya Surabaya pada 1 Oktober.

Peristiwa ini dipicu masuknya segerombol suporter tuan rumah ke lapangan seusai pertandingan. Petugas keamanan merespons keadaan dengan tidak semestinya, termasuk melepas gas air mata yang membuat keadaan di dalam stadion bertambah chaos.

Keadaan diperparah oleh kealpaan petugas stadion yang belum membuka semua pintu. Penonton yang panik pun menumpuk di Gerbang 11, 12 dan 13, di mana banyak korban tewas akibat kekurangan oksigen dan juga terinjak-injak saat berebut keluar.

Pemerintah merespons dengan membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan. Tim lantas mengeluarkan 9 rekomendasi yang menyasar PSSI, Kepolisian, panitia pelaksana pertandingan, sampai suporter tuan rumah.

TGIPF juga merekomendasikan agar kepengurusan PSSI Iwan Bule mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggung-jawaban. Namun anjuran ini tak diikuti. Jajaran Exco PSSI tetap duduk di jabatan masing-masing sampai kemudian KLB digelar pada 16 Februari 2023.

Kongres menghasilkan nama Erick Thohir sebagai Ketua Umum periode 2023-2027. Ratu Destria kembali masuk kepengurusan sebagai wakil ketua umum bersama Zainuddin Amali.

Sementara itu, keluarga korban Tragedi Kanjuruhan terus menanti keadilan. Sekalipun beberapa orang telah dijatuhi hukuman, Aremania merasa tindakan tersebut belum maksimal dan tidak tepat sasaran.

Karena itulah keluarga korban menyambut riuh kunjungan kerja Jokowi dan Erick Thohir, dalam kapasitasnya sebagai Menteri BUMN, di Pasar Bululawang pada 23 Juli 2024. Mereka bermaksud menagih janji Pemerintah dan PSSI, tetapi tak kuasa mendekat karena pengawalan ketat di sekeliling Presiden.

Oktober 2024, bulan di mana Jokowi meletakkan jabatan, bertepatan dengan peringatan 2 tahun Tragedi Kanjuruhan. Keluarga korban masih terus menanti keadilan yang bagi mereka belum hadir wujudnya.

Talang Datar, 21 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun