Ketika Graham Arnold mengundurkan diri bulan lalu, netizen dan media Indonesia ramai-ramai menepuk dada. Semuanya menyebut pelatih Australia tersebut sebagai korban kedigdayaan timnas, sehingga lupa ada pelajaran sangat berharga yang dapat dipetik.
Sedikit mengilas balik, Arnold mundur dari jabatannya pada 20 September lalu. Keputusan tersebut diambil seturut rentetan hasil buruk Australia dalam dua partai awal Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Kampanye The Socceroos diawali kekalahan 0-1 dari Bahrain di kandang sendiri, 10 September. Lalu disusul hasil imbang tanpa gol kala meladeni Indonesia di Jakarta pada matchday berikutnya lima hari berselang.
Karena keputusan Arnold diumumkan tak lama setelah hasil imbang 0-0 melawan Indonesia, tak pelak kejadian ini pun digoreng sedemikian rupa. Sejumlah akun media sosial bahkan media arus utama mengabarkan mundurnya pelatih Australia tersebut secara hiperbolik.
Muncullah beberapa malinformasi yang semuanya bertema sama. Timnas yang semakin hebat menyebabkan lawan-lawan kewalahan, sampai-sampai pelatihnya mengundurkan diri. Harapan lolos ke Piala Dunia pun melambung tanpa kendali.
Padahal, kalau kita pandai mendudukkan segala sesuatu pada tempatnya, yang ramai mendapat puja-puji seharusnya justru keputusan Arnold. Tak cuma memuji, kita wajib belajar dan bahkan menirunya.
Sosok Bertanggung Jawab
Dibebani target lolos ke Piala Dunia 2026, Australia harus tancap gas sejak awal-awal Putaran Ketiga. Satu misi yang seharusnya tidak terlalu sulit diemban karena Arnold lumayan terbantu oleh jadwal pertandingan.
Ya, partai perdana Australia berlangsung di kandang, di hadapan suporter sendiri. Lawannya pun tim berperingkat jauh di bawah, yakni Bahrain yang menduduki rangking 76 FIFA.
Seakan belum cukup, lawan di matchday kedua adalah Indonesia yang merupakan tim terlemah Grup C. Sekalipun harus away ke Jakarta, di atas kertas Australia tetap lebih diunggulkan.
Menilik rekor pertemuan, selisih peringkat, komposisi skuat, serta profil pelatih lawan, dua partai tersebut mustinya dapat dimenangkan Australia. Namun yang kemudian terjadi seperti yang sudah kita ketahui bersama.
Kondisi ini mengancam kelanjutan langkah Australia. Tim harus selekasnya berbenah agar dapat membalik momentum atau rekor lolos ke putaran final Piala Dunia secara beruntun sejak 2006 terhenti sampai di sini.
Arnold merasa dirinyalah yang gagal dalam mengemban tugas. Kesalahannya dalam merancang taktiklah yang membuat Australia hanya mampu memetik satu dari seharusnya enam poin di dua laga awal.
Tanpa banyak drama dan alasan, eks pemain yang pernah merumput di Eredivisie ini menggelar konferensi pers dan mengumumkan pengunduran diri. Pengabdiannya selama 6 tahun di timnas Australia harus diakhiri.
Ksatria yang Sportif
Apa yang dilakukan Arnold adalah sebuah aksi ksatria. Sebuah tindakan sportif yang memang selayaknya menjadi nafas seorang insan olahraga.
Sebagai pelatih, Arnold paham betul dialah orang yang bertanggung jawab atas performa timnas Australia. Baik-buruknya permainan The Socceroos seluruhnya berada dalam genggaman tangannya, di atas panggulan bahunya.
Maka ketika Australia mendapat hasil buruk, Arnold harus mau mengakui jika itu merupakan buah dari pemilihan pemain yang ia lakukan. Dari strategi yang ia terapkan sepanjang pertandingan.
Karena itu Arnold merasa tak perlu menyalahkan siapapun saat timnya kalah dari Bahrain. Sebaliknya, dengan besar hati Arnold menerima kekalahan. Mengakui jika penampilan timnya tidak seperti yang diharapkan, sehingga gagal meraih poin maksimal.
"Sebagai sebuah kesatuan, performa kami di bawah standar dan tidak ada keraguan tentang itu. Namun ini sepenuhnya tergantung pada bagaimana kami memberi respons secara mental,"ucap Arnold mengenai kekalahan dari Bahrain, seperti dikutip Optus Sport (10/9/2024).
"Kami harus segera melupakan pertandingan tersebut. Kami masih punya banyak pertandingan untuk dilakoni dan kami harus selalu bersikap positif, tahu bahwa kami pasti bisa bersikap demikian, juga menjadi lebih baik lagi. Itulah pesan utamanya," sambungnya.
Tidak ada komentar miring terhadap kepemimpinan wasit. Tidak pula menyudutkan pemain lawan yang bagi sebagian orang, terutama netizen Indonesia, terlalu banyak drama di atas lapangan. Apalagi beralasan cuaca terlalu dingin.
***
Kesimpulannya, tindakan Arnold merupakan hal yang lumrah dilakukan seorang pelatih bertanggung jawab. Terlepas lawannya tangguh atau biasa-biasa saja, gagal memenuhi target berarti harus rela meletakkan jabatan.
Ini jauh dari soal semakin moncer atau tidaknya performa timnas Indonesia. Akun-akun media sosial pemburu views dan engagement saja yang pintar mengolah momentum dengan membuat narasi-narasi hiperbolik.
Narasi-narasi bernada jemawa dan cenderung meremehkan calon lawan yang belakangan jadi hal lumrah. Mirisnya, yang tidak ikut-ikutan bersikap jemawa dianggap meremehkan kemampuan timnas, sampai dicap tidak nasionalis karena antitimnas.
Sampai kemudian benturan keras menghantam di Bahrain. Karena malah semakin menjadi-jadi alih-alih insyaf, datanglah hantaman jauh lebih keras dari sebelumnya di Qingdao, Tiongkok.
Talang Datar, 15 Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H