Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Banjir Misinformasi Jelang Tiongkok vs Indonesia

15 Oktober 2024   05:25 Diperbarui: 17 Oktober 2024   02:26 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penetrasi smartphone di Indonesia semakin meningkat tahun demi tahun. Sayang, itu tak diimbangi dengan tingkat literasi penggunanya. Alhasil, misinformasi, malinformasi sampai hoaks masih saja dengan mudah dipercayai. Termasuk terkait pertandingan Tiongkok vs Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui bersama, timnas Indonesia bakal menantang tuan rumah Tiongkok di lanjutan Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026. Partai ini diagendakan berlangsung di Qingdao, Selasa (15/10/2024) malam nanti.

Nah, begitu tahu panitia pelaksana di Tiongkok memilih Qingdao sebagai lokasi pertandingan, mulailah berseliweran misinformasi di media sosial. Yang bikin geregetan, netizen dengan mudahnya percaya dan lantas turut menyebarkan informasi tidak benar itu.

Tentang Qingdao, misalnya, yang dikesankan sebagai sebuah kota kecil lagi terpencil. Malah ada pula yang menyebut ini merupakan strategi tuan rumah Tiongkok untuk mempersulit Indonesia.

Tujuannya tentu saja demi meraih poin maksimal, sebab tim asuhan Branko Ivankovic selalu kalah dalam tiga partai awal Putaran Ketiga. Teori begini cepat sekali dipercaya, terutama jika timnas gagal meraih kemenangan seperti di kandang Bahrain tempo hari.

Nyatanya, Qingdao tidaklah sepelosok itu. Tidak pula sekecil yang dikesankan sejumlah media.

Benar ini hanyalah kota level prefektur, bukan kota provinsi apalagi nasional (tier 1). Namun untuk urusan kemajuan dan kemegahan, banyak kota-kota besar di Indonesia yang tidak ada apa-apanya dibandingkan Qingdao.

Bayangkan, Qingdao sudah punya apa yang di Indonesia disebut sebagai MRT sejak 16 Desember 2015. Kini, tak sampai 10 tahun berselang, lintasannya yang berjumlah 10 lines sudah menghubungkan nyaris seluruh bagian kota.

Bandingkan dengan Jakarta, ibukota negara kita saat ini, yang baru memiliki metro alias MRT empat tahun berselang. Dengan kata lain, Jakarta ketinggalan 4 tahun dari Qingdao soal metro. Itupun jumlah lintasan yang beroperasi baru satu. Ya, satu saja!

Lagipula, kalau memang mengikuti perkembangan olah raga nasional, seharusnya tidak asing lagi dengan nama Qingdao. Karena atlet layar Oka Sulaksana pernah bertanding di pantai kota ini saat tampil di Olimpiade 2008.

Pak Taufik Uieks telah menuliskan tentang Qingdao secara panjang lebar. Silakan baca untuk mengetahui seberapa maju dan modern-nya kota yang masuk dalam daftar 15 New Tier 1 Cities di Tiongkok tersebut.

Head-to-head Keliru

Okelah, manusia memang tempatnya salah dan dosa. Terlebih di media sosial yang latar belakang penggunanya sangat beragam.

Yang bikin geregetan, misinformasi juga turut disebarkan oleh media arus utama. Sebagai orang yang pernah belajar dan juga berkecimpung di dunia jurnalistik semasa di Jogja, saya jadi bertanya-tanya: apakah para jurnalis di media-media tersebut sudah lupa tentang "Check, Recheck & Cross-chek"?

Kali ini misinformasi tentang head-to-head kedua negara.

Saya sempatkan membaca sejumlah pemberitaan dari beberapa media berbeda dan isinya seragam alias sama semua. Dengan demikian semuanya memuat misinformasi yang sama, membuktikan bahwa ketika menuliskan berita-berita tersebut tidak ada proses cek-ricek-kroscek yang seharusnya dilakukan seorang wartawan.

Kelirunya di mana? Di jumlah kemenangan Indonesia atas Tiongkok.

Kebanyakan, kalau tidak malah semua, media menuliskan Indonesia pernah menang 3 kali atas Tiongkok. Padahal dari tiga yang disebut kemenangan itu, hanya satu yang pantas dicatatkan sebagai rekor timnas.

Satu-satunya kemenangan Indonesia atas Tiongkok itu terjadi di Kualifikasi Piala Dunia 1958. Ketika Ramang mencetak brace di Lapangan Ikada, Jakarta, pada 12 Mei 1957, untuk membawa Tim Garuda menang 2-0.

Sedangkan kemenangan kedua di ajang President's Cup 1971, ternyata yang dihadapi Indonesia bukan Tiongkok. Tidak ada nama Tiongkok dalam daftar peserta President's Cup tahun itu.

Terus, siapa yang dikalahkan Indonesia di sana? Kalau mencocokkan tanggal pertandingan seperti yang dimuat di kebanyakan media nasional, yakni 5 Mei 1971, lawan timnas di Dongdaemun Stadium di Seoul adalah Hong Kong. 

Sekalipun Hong Kong bagian dari Tiongkok, tetap saja keduanya adalah entitas yang berbeda dalam sepak bola. Mengalahkan Hong Kong tidak sama dengan mengalahkan Tiongkok, sekalipun kedua tim menyanyikan lagu kebangsaan yang sama.

Lagipula tahun itu Hong Kong masih menjadi bagian dari Kerajaan Inggris, menyusul Perjanjian Nanking yang diteken pada 29 Agustus 1842. Kenapa tidak sekalian saja dibilang Indonesia mengalahkan Inggris?

Demikian pula dengan apa yang disebut sebagai "kemenangan timnas" di FAT King's Cup pada 20 Februari 1987. Padahal yang turut serta di kejuaraan tersebut bukan timnas Indonesia, melainkan tim Galatama XI.

Sesuai namanya, Galatama XI adalah sebuah tim berisikan pemain-pemain terbaik Liga Sepak Bola Utama (Galatama)--salah satu liga domestik di Indonesia masa itu. Tidak bisa disebut timnas, sekalipun mungkin mayoritas pemainnya adalah penggawa Tim Garuda.

Tambahan lagi, ketika itu yang dihadapi Galatama XI bukanlah Tiongkok. Mengutip RSSSF, lawannya adalah kesebelasan dari Hubei. Ini nama provinsi yang beribukota di Wuhan, lokasi di mana wabah Covid-19 pertama kali muncul.

Hubei memang bagian dari Tiongkok. Namun sama halnya Hong Kong tadi, kesebelasan dari Hubei jelas bukan timnas Tiongkok.

Pertandingan vs Bahrain Diulang?

Kalau yang dua itu masih tergolong misinformasi, ada pula hoaks yang sempat berkembang luas dan--parahnya--dipercaya begitu saja. Yaitu kabar kalau pertandingan melawan Bahrain bakal diulang.

Saya sungguh garuk-garuk kepala melihat ini. Sejak kapan ada pertandingan sepak bola diulang cuma gara-gara pihak yang kalah merasa dicurangi?

Jangankan karena yang kalah merasa dicurangi, bahkan andai wasit yang bertugas terbukti melakukan kesalahan sekalipun tak bakal sebuah pertandingan diulang lagi. Perangkat pertandingan yang lalai memang dijatuhi sanksi, tetapi hasil pertandingan tetap.

Contohnya ketika gol Luis Diaz ke gawang Tottenham Hotspur di Premier League musim lalu, dianulir wasit Simon Hooper gara-gara kelalaian VAR Darren England dan asistennya Dan Cook. Kedua VAR-AVAR dijatuhi hukuman, tetapi Liverpool tetap saja kalah dari Spurs.

Yang terakhir beredar adalah adanya skenario negara-negara Timur Tengah (baca: Arab) untuk menjegal tim-tim potensial di Kualifikasi Piala Dunia 2026. Indonesia yang performanya tengah menanjak disebut-sebut sebagai salah satu target operasi penjegalan ini.

Kalau ditanya bukti, hasil seri di kandang Bahrain bakal disebut. Mereka percaya wasit Ahmed Al-Kaf berat sebelah dan memang sengaja memperpanjang additional time agar tuan rumah, setidaknya, terhindar dari kekalahan.

Lalu bukti lain adalah pertandingan Australia vs Bahrain yang dipimpin wasit Omar Mohamed Ahmed Hassan Al-Ali. Momen persisnya ketika pria asal Uni Emirat Arab tersebut memberi kartu merah pada Kusini Yengi dari kubu tuan rumah.

Lalu disebut-sebut pula kalau Presiden AFC, yakni Sheikh Salman bin Ibrahim Al Khalifa, adalah orang Bahrain yang juga mantan Presiden BFA (PSSI-nya Bahrain). Fakta-fakta ini lantas dikait-kaitkan sedemikian rupa untuk mendukung dugaan terhadap Al-Kaf dan Al-Ali.

Sampai di sini, hadirlah apa yang disebut sebagai malinformasi. Ini istilah untuk informasi yang benar berdasarkan realitas, berdasarkan penggalan maupun keseluruhan fakta obyektif, tetapi dalam penyajiannya dikemas sedemikian rupa agar merugikan pihak lain.

Pihak lain itu bisa perseorangan, organisasi maupun negara lain. Dalam kaitan teori konspirasi hasil seri Indonesia dan kekalahan Australia, targetnya malah ketiga-tiganya: wasit Al-Kaf dan Al-Ali serta Sheikh Salman sebagai perorangan, AFC sebagai organisasi, juga Bahrain dan negara-negara Timur Tengah lainnya.

Melihat ini, saya jadi teringat bagaimana orang Italia sangat marah kepada Denmark dan Swedia yang bermain imbang 2-2 di partai terakhir Grup C Euro 2004. Hasil imbang yang membuat Gli Azzurri tersingkir sekalipun punya poin sama dengan kedua rival tersebut.

Tahu apa respons orang Denmark dan Swedia ketika dituduh sengaja bermain mata oleh orang Italia? Mereka menanggapi santai dengan berkata, "Hanya pencuri yang menganggap orang lain juga suka mencuri."

Phone-nya Smart, Penggunanya Belum

Mudahnya misinformasi, malinformasi dan bahkan hoaks ini dipercaya menunjukkan rendahnya tingkat literasi orang kita. Padahal setiap kita dapat dengan mudah mencari tahu kebenaran sebuah kabar yang beredar.

Kita bisa kok, melakukan apa yang seharusnya dilakukan wartawan ketika mengumpulkan informasi, yakni check-recheck and cross-check. Cukup dilakukan lewat genggaman tangan dengan bantuan smartphone. Bisa sambil rebahan pula.

Masalahnya, pekerjaan itu hanya bisa dilakukan seseorang dengan tingkat literasi memadai. Karena literasi tak cuma soal menulis dan membaca, tetapi juga kemampuan mengolah informasi dari berbagai sumber untuk kemudian mengambil kesimpulan.

Di sinilah masalahnya. Bahkan laporan Kemendikbud Ristek sendiri, yakni rilisan tahun 2021, menyebutkan Indonesia tengah menghadapi darurat literasi. Bukan sekadar rendah ternyata, malah lebih parah lagi.

Ini sebabnya saya membuka tulisan ini dengan menyinggung angka penetrasi smartphone di Indonesia yang semakin naik. Mengutip Global Mobile Market Report yang dilansir Newzoo, penetrasi smartphone di Indonesia meningkat pesat dari hanya 14% pada 2014 menjadi 68% pada 2023 lalu.

Data lebih lengkap dan terkini dapat dilihat di laman Statista. Di mana dilaporkan detail jumlah gawai per kapita, kelompok usia dan jenis kelamin pengguna gawai, sampai merek apa yang banyak dipakai orang Indonesia.

Alasan saya mengangkat angka-angka ini karena pada istilah smartphone ada kata 'smart' yang berarti cerdas. Pada pikir saya, pemakai smartphone seharusnya adalah orang-orang cerdas. Kalaupun sebelumnya tidak atau belum cerdas, maka seiring waktu lama-lama bakal menjadi cerdas karena mudahnya mencari informasi melalui ujung jari.

Sepertinya tidak demikian yang terjadi. Banjir misinformasi, malinformasi, sampai hoaks seputar kiprah timnas menunjukkan hal sebaliknya.

Talang Datar, 14 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun