Lalu bukti lain adalah pertandingan Australia vs Bahrain yang dipimpin wasit Omar Mohamed Ahmed Hassan Al-Ali. Momen persisnya ketika pria asal Uni Emirat Arab tersebut memberi kartu merah pada Kusini Yengi dari kubu tuan rumah.
Lalu disebut-sebut pula kalau Presiden AFC, yakni Sheikh Salman bin Ibrahim Al Khalifa, adalah orang Bahrain yang juga mantan Presiden BFA (PSSI-nya Bahrain). Fakta-fakta ini lantas dikait-kaitkan sedemikian rupa untuk mendukung dugaan terhadap Al-Kaf dan Al-Ali.
Sampai di sini, hadirlah apa yang disebut sebagai malinformasi. Ini istilah untuk informasi yang benar berdasarkan realitas, berdasarkan penggalan maupun keseluruhan fakta obyektif, tetapi dalam penyajiannya dikemas sedemikian rupa agar merugikan pihak lain.
Pihak lain itu bisa perseorangan, organisasi maupun negara lain. Dalam kaitan teori konspirasi hasil seri Indonesia dan kekalahan Australia, targetnya malah ketiga-tiganya: wasit Al-Kaf dan Al-Ali serta Sheikh Salman sebagai perorangan, AFC sebagai organisasi, juga Bahrain dan negara-negara Timur Tengah lainnya.
Melihat ini, saya jadi teringat bagaimana orang Italia sangat marah kepada Denmark dan Swedia yang bermain imbang 2-2 di partai terakhir Grup C Euro 2004. Hasil imbang yang membuat Gli Azzurri tersingkir sekalipun punya poin sama dengan kedua rival tersebut.
Tahu apa respons orang Denmark dan Swedia ketika dituduh sengaja bermain mata oleh orang Italia? Mereka menanggapi santai dengan berkata, "Hanya pencuri yang menganggap orang lain juga suka mencuri."
Phone-nya Smart, Penggunanya Belum
Mudahnya misinformasi, malinformasi dan bahkan hoaks ini dipercaya menunjukkan rendahnya tingkat literasi orang kita. Padahal setiap kita dapat dengan mudah mencari tahu kebenaran sebuah kabar yang beredar.
Kita bisa kok, melakukan apa yang seharusnya dilakukan wartawan ketika mengumpulkan informasi, yakni check-recheck and cross-check. Cukup dilakukan lewat genggaman tangan dengan bantuan smartphone. Bisa sambil rebahan pula.
Masalahnya, pekerjaan itu hanya bisa dilakukan seseorang dengan tingkat literasi memadai. Karena literasi tak cuma soal menulis dan membaca, tetapi juga kemampuan mengolah informasi dari berbagai sumber untuk kemudian mengambil kesimpulan.
Di sinilah masalahnya. Bahkan laporan Kemendikbud Ristek sendiri, yakni rilisan tahun 2021, menyebutkan Indonesia tengah menghadapi darurat literasi. Bukan sekadar rendah ternyata, malah lebih parah lagi.
Ini sebabnya saya membuka tulisan ini dengan menyinggung angka penetrasi smartphone di Indonesia yang semakin naik. Mengutip Global Mobile Market Report yang dilansir Newzoo, penetrasi smartphone di Indonesia meningkat pesat dari hanya 14% pada 2014 menjadi 68% pada 2023 lalu.