Kita tak akan terlalu menyombongkan diri saat tim idola meraih kemenangan, sekalipun atas tim unggulan yang berkekuatan jauh lebih superior. Begitu pula sebaliknya, kita tidak akan merasa malu apalagi terhina ketika kekalahan melanda.
Sikap sama juga bakal kita pertunjukkan terhadap sosok pelatih yang menangani tim itu. Berbekal pemahaman "bola itu bulat", kita tak akan terlalu mudah menyanjung-nyanjung seorang pelatih ketika tim asuhannya meraih hasil mencengangkan.
Kenapa demikian? Karena bisa jadi hasil buruk sudah menunggu di depan mata.
Lihat saja bagaimana Shin Tae-yong dielu-elukan ketika sukses membawa Garuda Muda mencapai semifinal Piala Asia U-23 beberapa waktu lalu. Namun tak lama berselang sosok yang sama menghadirkan kekecewaan karena gagal menembus Olimpiade Paris 2024, padahal sudah berada di ambang pintu kelolosan.
Sebaliknya, kita juga tak akan dengan gampang merendah-rendahkan seorang pelatih ketika tim asuhannya mendapatkan hasil buruk. Karena sangat boleh jadi malah pelatih tersebut yang justru sukses menghasilkan prestasi yang telah lama dinanti-nanti oleh kita semua.
Contohnya?
Mau tak mau saya harus menyebut nama Indra Sjafri. Sosok ini oleh netizen kerap kali dianggap rendah serta dinilai kalah kualitas, lebih-lebih jika dibandingkan dengan STY.
Ketika gagal memberikan hasil bagus di Asian Games 2022, contohnya, tak kurang-kurang cercaan ditujukan pada Coach Indra. Bahkan ketika kemudian ia sukses mempersembahkan medali emas SEA Games 2023 sekalipun, lalu menjuarai Piala AFF U-19 belum lama ini, masih saja ada yang meremehkan.
Misalnya, dengan mengatakan "cuma pelatih level AFF". Bahkan sempat ada yang punya usul agar Indra Sjafri khusus menangani timnas di kompetisi tingkat regional Asia Tenggara, sedangkan STY untuk kompetisi level Asia dan dunia.
Nyatanya, pelatih level AFF itu bisa mengalahkan Argentina, lo. Seakan-akan hendak menyadarkan kita semua bahwa adagium "bola itu bulat" masih dan akan selalu berlaku di sepak bola.
Satu lagi.