Karena itu saya seketika mengulum senyum ketika ada seorang calon pemilih membuat satu perumpamaan menarik mengenai caleg. Katanya, memilih caleg itu ibarat membantu orang yang sepeda motornya mogok di jalan.
Sebagian dari kita pasti pernah mengalami kejadian demikian. Tahu-tahu melihat ada sepeda motor mogok di jalan dan berinisiatif membantu si pengendara.
Seringkali kita tidak kenal siapa pengendara tersebut. Melihat mukanya pun baru kali itu, apatah lagi tahu namanya.
Begitu sepeda motor bisa menyala, si pengendara mengucapkan terima kasih dan berlalu pergi. Entah kapan kita bisa bertemu lagi dengannya. Bahkan mungkin tidak akan pernah lagi bersua dan kemudian lupa akan kejadian itu.
Demikian halnya memilih caleg, kata calon pemilih tadi. Sebut saja namanya Tarjani, masih ada hubungan kekerabatan dengan pihak keluarga istri saya. Beliau sedang makan siang ketika saya datangi rumahnya pada Ahad (11/02/2024) lalu.
"Kita tidak pernah kenal siapa caleg itu, bertemu juga tidak pernah. Terus, kita bantu dia dengan cara mencoblos namanya dalam Pemilu.
"Setelah Pemilu, ya sudah. Caleg itu pergi begitu saja dan tidak akan mengingat kita para pemilihnya," ujar Tarjani, dengan nada bicara dan raut wajah datar.
Saya menanggapi ucapannya dengan senyuman. Sembari di dalam hati mebenarkan, ya memang begitulah kenyataannya.
Jangan kata para pemilih di dapilnya, bahkan alat-alat peraga kampanyenya ditelantarkan begitu saja ketika masa tenang datang. Dibiarkan menjadi sampah dan ujung-ujungnya masyarakat sekitar yang membersihkan.
Alhasil, tak cuma mendorong sepeda motor mogok. Bahkan muka kita juga kena asap dari knalpot ketika si pengendara kembali melaju usai ditolong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H