Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang asyik berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet juga berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Wacana 20 Klub di Liga 1, Kepentingan Siapa Sebenarnya?

9 Januari 2024   17:07 Diperbarui: 9 Januari 2024   22:24 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pemain PSIS Semarang merayakan gol di Liga 1 2023-24. FOTO: PSSI.org

MEDIA-MEDIA nasional tahu-tahu saja mengangkat berita ini. Konon, PSSI berencana mengubah jumlah peserta Liga 1 menjadi 20 klub mulai musim 2024-25.

Karena diawali dengan 'konon', maka ini memang masih berupa rumor. Belum ada konfirmasi resmi dari federasi maupun pengelola liga.

Portal detikSport mengembel-embeli judul pemberitaan tentang hal ini dengan terma "Rumor Sepakbola" (sumber). Sedangkan beberapa pemberitaan lain menyelipkan kata "isu" atau "diisukan".

Menariknya, rumor atau isu tersebut juga menjelaskan skema promosi-degradasi menuju perubahan jumlah peserta Liga 1 2023-24. Berapa tim Liga 1 yang bakal turun ke Liga 2 dan berapa dari Liga 2 yang bakal naik.

Salah satu skenario yang disebutkan adalah, jumlah tim terdegradasi dari Liga 1 tetap 3 tim. Sebagai gantinya yang promosi dari Liga 2 sebanyak 5 tim.

Namun ada pula skenario yang bikin kening berkerut. Yaitu Liga 1 musim ini tidak ada yang didegradasi, lalu dari Liga 2 promosi dua tim.

Jika rumor ini menjadi kenyataan dan skenario kedua di atas terjadi, tentu bakal mengundang pertanyaan besar. Bahkan juga kecurigaan akan terjadinya kongkalikong.

Ada apa ini? Siapa di balik kebijakan yang sama sekali tidak bijak ini?

Penghuni Zona Degradasi

Kita sama tahu, ada beberapa nama besar di zona degradasi. Ralat, kalimat yang lebih tepat adalah beberapa klub dengan koneksi nama-nama besar.

Lihat saja, di dasar klasemen ada Bhayangkara Presisi FC, klub yang lekat dengan Kepolisian Republik Indonesia. CEO-nya seorang Inspektur Jenderal, sedangkan manajernya berpangkat Ajun Komisaris Besar.

Bhayangkara FC pernah menjuarai Liga 1 pada 2017, lalu musim-musim berikutnya selalu berada di tiga besar. Baru pada musim ini The Guardians berada di zona merah, bahkan berposisi paling buncit.

Satu garis lebih atas ada Persikabo 1973. Jika Bhayangkara FC terkait dengan kepolisian, maka Persikabo 1973 ada hubungan dengan tentara. Nama badan hukumnya adalah PT Cilangkap TNI Jaya.

Jika kita menilik sejarahnya, bibit atau asal-usul klub Bogor ini adalah PS TNI. Setelah gonta-ganti nama yang dibarengi dengan aksi akuisisi dan merger, jadilah apa yang sekarang dikenal sebagai Persikabo 1973.

Baca ulasan saya sebelumnya tentang Persikabo 1973: Mengenang PS TNI, Klub Amatir Milik Tentara yang Berubah Profesional

Naik sedikit di atas Persikabo 1973, bertenggerlah satu klub yang setahun lalu sempat jadi pusat pemberitaan: Arema FC. Bukan klub milik aparat, tetapi punya kaitan erat dengan eks pejabat teras PSSI.

Adalah Tragedi Kanjuruhan yang secara tidak langsung menguak secara gamblang siapa sebenarnya pemilik Arema FC. Sebelumnya, nama owner yang disebut-sebut adalah Gilang Widya Permana atau kondang dikenal sebagai Juragan 99.

Setelah Gilang menjalani pemeriksaan oleh kepolisian buntut dari terjadinya Tragedi Kanjuruhan, ternyata sosok ini hanya memegang sedikit saham di PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia (PT AABBI). Hanya 15% proporsinya, setara 750 lembar saham senilai Rp 750 juta.

Pemegang saham terbesar di PT ABBII, dengan kata lain pemilik sesungguhnya Arema FC, adalah Iwan Budianto. Eks Wakil Ketua Umum PSSI ini memegang 3.750 lembar saham alias 75%, senilai Rp 3,75 miliar (sumber).

Meski tak lagi menjabat di PSSI, koneksi dan pengaruh Iwan Budianto tentu masih ada. Terlebih ia sempat lama sekali berada di lingkungan federasi sepakbola Indonesia tersebut.

Naik ke peringkat 17, tepat di atas zona degradasi, ada Persis Solo yang hanya berselisih 4 poin dari Arema FC. Tanpa saya jelaskan panjang lebar, semua sudah tahu siapa di balik klub legendaris ini.

Mengutip onefootball.com, komposisi pemilik saham PT Persis Solo Saestu adalah Kaesang Pangarep 40%, Kevin Nugroho 30% dan Mahendra Agakhan Thohir 20%. Nama pertama anak presiden negara, nama ketiga anak presiden federasi.

Kebijakan Pesanan?

Meski baru berupa rumor atau isu, kabar penambahan jumlah kontestan Liga 1 ini layak diwaspadai. Jangan sampai menjadi kenyataan dan ternyata hanya demi menyelamatkan klub-klub tertentu.

Saya tentu saja tidak bermaksud menuduh. Toh, semuanya baru berupa rumor. Namun jika kemudian menjadi kenyataan, ya jangan salahkan kalau kemudian muncul kecurigaan ke arah sana.

Terlebih jika skenario yang dipakai untuk menambah jumlah peserta Liga 1 adalah skema tidak ada degradasi. Ini jelas mencederai semangat sportivitas yang dijunjung tinggi dalam olahraga, termasuk sepakbola.

Kalau memang ingin menambah kontestan, tirulah apa yang pernah dilakukan pengelola Serie A. Kompetisi level atas Liga Italia tersebut juga pernah mengembangkan jumlah peserta dari 18 menjadi 20.

Transisinya terjadi pada musim 2003-04 yang menjadi musim terakhir Serie A beranggotakan 18 klub. Mulai musim 2004-05, Serie A diikuti 20 klub.

Meski ada perubahan, proses degradasi dan promosi tetap berjalan. Dari Serie A tetap turun 4 tim, di mana yang 3 langsung terdegradasi sedangkan satunya lagi (peringkat 15) melalui pertandingan play-off.

Sebaliknya, kuota promosi dari Serie B khusus musim itu ditambah. Dari sebelumnya 4, menjadi 6 tim. Namun peringkat 6 Serie B melalui jalur play-off, bertanding dengan peringkat 15 Serie A.

Kalau cara seperti ini yang ditempuh PSSI untuk menambah jumlah kontestan Liga 1, saya sih setuju. Ini fair dan sama sekali tidak mencederai asas sportivitas. Dari Liga 1 tetap terdegradasi 3 tim, dari Liga 2 promosi 5 tim.

Quality Over Quantity

Akan tetapi kalau boleh memberi saran, alih-alih menambah jumlah kontestan justru sebaiknya Liga 1 itu dirampingkan saja. Tidak perlu 20 klub, kalau perlu cukup 12 klub saja tetapi benar-benar profesional dan AFC verified.

Salah satu persoalan klub Indonesia adalah tidak mampu (atau tidak mau?) memenuhi kualifikasi verifikasi AFC. Ini menandakan klub bersangkutan masih belum sepenuhnya profesional. Dengan kata lain, masih semi amatir.

Lalu bukankah musim ini juga masih terdengar berita gaji pemain terlambat? Sampai-sampai ada pelatih yang berniat menjual memorabilia untuk membantu pembayaran gaji pemain-pemainnya.

Ada juga klub penghuni papan atas Liga 1 yang membayar gaji pemainnya secara mencicil. Sebut saja namanya PSIS Semarang.

Betul, masih bagus gaji pemain tetap dibayar sekalipun dengan cara dicicil. Namun poinnya adalah, dengan format sekarang yang 18 klub saja ada sejumlah klub yang sampai berdarah-darah keuangannya.

Jadi, alih-alih mengembangkan kuantitas alias menambah jumlah peserta, akan jauh lebih baik dan bermanfaat jika PSSI membantu meningkatkan kualitas tim-tim kontestan Liga 1. Quality over quantity.

Tidak masalah Liga 1 hanya berisikan 12 tim, tetapi semuanya sehat dan dapat dibanggakan ketika mewakili Indonesia di kancah Asia. Semuanya benar-benar merupakan sebuah klub sepakbola dengan standar tinggi.

Toh, dengan kontestan lebih sedikit para pemain tak perlu lagi bermain tiap lima hari. Mainnya cukup sepekan sekali saja, jadi tenaga dan level kebugaran pemain lebih baik. Di mana hal ini akan berefek pada kualitas tiap pertandingan liga.

Dari segi operasional klub, menghadapi 11 lawan dalam total 22 pertandingan semusim tentulah biayanya lebih sedikit dari melawan 17 apalagi 19 tim dengan menjalankan total 34-38 laga. Berat di ongkos, apalagi kalau tim asal Sumatera harus tandang ke Indonesia Timur atau sebaliknya.

Harapannya, dengan liga yang ramping keuangan klub tak lagi terkuras banyak hanya untuk tiket pesawat dan sewa hotel. Pemain juga tidak banyak kecapaian di perjalanan dengan jarak antarlaga yang terhitung rapat.

Dengan kondisi finansial lebih baik, semoga tak ada lagi cerita gaji pemain terlambat ataupun dicicil pembayarannya. Semoga pula klub jadi punya kemampuan untuk membangun training center, setidak-tidaknya punya gym sendiri di mes pemain.

Kalau ada yang protes 22 pertandingan dalam semusim terlalu sedikit, itulah alasan untuk menghidupkan kembali turnamen tahunan Piala Indonesia. Kapan terakhir kali kita menyaksikan tim Liga 3 bertanding melawan tim Liga 1?

Saya yakin, sebagai seorang pebisnis Erick Thohir lebih paham soal-soal beginian. Jadi, tak perlulah saya menjabarkan panjang kali lebar, beliau pasti jauh lebih mengerti dan tahu harus melakukan apa.

Salam satu bola.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun