Ceritanya, kenalan saya ini dapat proyek penulisan biografi seorang tokoh di kabupaten tempatnya tinggal. Buku kenang-kenangan memasuki masa pensiun.
Buku ini tidak dicetak banyak, seingat saya lebih dari 50 tetapi tidak sampai 100 eksemplar. Juga tidak dijual bebas. Namun kenalan saya ini punya trik agar pengajuan ISBN-nya tembus dan memang tembus.
Untungnya, buku karya kenalan saya ini bisa dipastikan berkualitas bagus. Saya tahu betul portofolio dia, lalu dia juga sudah belasan tahun berkecimpung sebagai editor.
Dengan menceritakan ini saya hanya ingin menyampaikan bahwa ada celah yang dapat diakali dalam pembatasan ISBN. Celah yang musti segera ditambal oleh pihak-pihak berkepentingan.
Kita semua dapat berpartisipasi dalam memulihkan krisis ISBN yang melanda Indonesia. Salah satunya dengan menyebarkan paham yang benar mengenai ISBN. Mari kita bantu kikis salah paham dan juga salah kaprah mengenai ISBN.
Dengan begini, ISBN bakal kembali pada fungsi sesungguhnya. Tidak lagi disalah-artikan sekaligus disalah-gunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak sesuai dengan awal mula sistem ini diciptakan.
Mau ber-ISBN atau tidak, buku tetaplah buku. Yang menentukan kualitas buku tersebut hanyalah isinya, bukan yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H