Paul memang tidak sampai menjunjung trofi seperti halnya Janota. Akan tetapi ia merupakan ahlinya mengubah sebuah tim semenjana menjadi kuda hitam di tingkat nasional.
Perseman Manokwari adalah contoh karyanya. Tak berlebihan mengatakan klub asal Bumi Cenderawasih ini sebagai buah racikan tersukses Paul selama berkiprah di Indonesia.
Tim yang sebelumnya biasa berkutat di divisi bawah, oleh Paul dibawa menjuarai Divisi I Perserikatan pada 1983. Itu artinya, tahun berikutnya mereka mentas di Divisi Utama sebagai panggung utama sepak bola nasional.
Tak sekadar menjadi tim promosi yang numpang lewat, Perseman menjadi kuda hitam di liga. Musim pertama di Divisi Utama memang belum menghasilkan apa-apa, tetapi setidaknya mereka sanggup bertahan.
Taji Perseman mulai keluar di musim 1985. Secara mengejutkan mereka sukses menembus empat besar dan bermain di Senayan (kini Stadion Utama Gelora Bung Karno).
Bagi klub-klub Indonesia masa itu, bisa mentas di Senayan adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Ekuivalen dengan tampil di Stadion Wembley bagi klub-klub di Inggris. Artinya, yang bisa tampil di Senayan adalah tim-tim yang telah mencapai prestasi besar.
Namun di balik kesuksesan itu Perseman mendapat caci maki. Gaya bermain anak asuh Paul dicap keras menjurus kasar. Bahkan, konon, melebihi style rap-rap ala PSMS Medan yang terkenal itu.
Paul bergeming. Baginya yang dibesarkan di iklim sepakbola Inggris, permainan keras adalah hal biasa. Yang penting pemainnya jangan sampai sengaja melanggar dengan niat jahat mencederai lawan.
Musim berikutnya, Perseman melaju lebih jauh lagi. Mereka kembali tampil di Senayan dan bahkan sukses melaju hingga ke partai final.
Yang jadi lawan Perseman di final adalah Persib Bandung. Klub asal Tanah Priangan ini juga tengah naik daun kala itu, buah dari pondasi tim yang dibentuk Janota beberapa tahun sebelumnya.