Lalu ada pula nama Phoa Sian Liong yang jadi langganan timnas pada era tersebut. Ditambah Liem Thay Hie dan Kho Thiam Gwan.
Tampil oke bersama klub, mudah ditebak jika nama-nama tersebut kemudian dipanggil memperkuat timnas. Kalau ada yang dengan bangga menceritakan hasil seri melawan Uni Soviet di Olimpiade Melbourne 1956, jangan lupakan lima pemain berdarah Tionghoa yang membela Indonesia saat itu.
Lima dari sebelas, itu artinya separuh dari kekuatan timnas di Melbourne adalah para pemain keturunan Tionghoa. Tan Liong Houw, Thio Him Tjiang, Kwee Kiat Sek, Phwa Siang Liong dan Liem Soen Joe; itulah nama kelima pemain dimaksud.
Dua tahun berselang, kembali timnas yang diperkuat deretan penggawa berdarah Tionghoa menorehkan prestasi. Ya, inilah yang disinggung pada awal tulisan: raihan medali perunggu Asian Games 1958. Capaian yang entah kapan bisa diulang.
Amunisi untuk Mengulang Kejayaan?
Kalau sekarang kita membangga-banggakan Asnawi Mangkualam dan Pratama Arhan karena bermain di luar negeri, pesepak bola keturunan Tionghoa adalah perintis fenomena ini. Bahkan terjadinya jauh sebelum Kurniawan Dwi Yulianto direkrut FC Lucern pada 1994.
Pelopor pesepak bola Indonesia merantau ke liga luar negeri adalah Liem Soei Liang. Nama indonesianya Surya Lesmana, pemain jebolan UMS. Pada 1974, ia dikontrak salah satu klub Hong Kong dengan gaji HK $2.000 per bulan.
Kini, nyaris tak ada lagi pemain keturunan Tionghoa di pentas sepak bola nasional. Jangankan sampai jadi andalan timnas, memperkuat klub secara reguler pun tidak banyak.
Dulu yang performanya terhitung menonjol hanyalah Nova Arianto bersama Persib Bandung. Ya, asisten Shin Tae-yong di timnas kita itu berdarah Tionghoa. Lihat saja bentuk sepasang matanya yang sangat oriental.
Sempat ada nama Juan Revi, Irvin Museng, Febryanto Wijaya, Kim Jeffrey Kurniawan yang masih kerabat keturunan Thio Him Tjiang, juga Sutanto Tan. Namun kesemuanya belum menunjukkan penampilan menawan, apatah lagi sampai mengulangi capaian para pendahulu di timnas.
Di tengah getolnya PSSI mengejar dan mengikat para pemain keturunan Indonesia di luar negeri, saya malah merindukan hadirnya kembali penggawa timnas keturunan Tionghoa. Sayangnya memang sangat sedikit sekali peranakan Tionghoa yang berminat menyeriusi sepak bola sebagai profesi.
Apa boleh buat, saya hanya bisa berandai-andai. Jika kembali diperkuat pemain-pemain keturunan Tionghoa, akankah Indonesia menjadi Macan Asia seperti era 1950-an hingga 1960-an?