Kedua, kaitannya dengan tugas dan kewajiban PSSI sebagai pembina sepak bola nasional. Masih adanya naturalisasi pemain menunjukkan jika PSSI belum sukses memikul tanggung jawab tersebut.
Mau tak mau harus diakui, adanya naturalisasi adalah sebentuk pengakuan jika pemain lokal hasil pembinaan PSSI tak cukup berkualitas di level atas. Tak cukup mampu untuk bersaing, bahkan di kawasan Asia Tenggara sekalipun.
Dengan kata lain, naturalisasi pemain adalah cermin gagalnya pembinaan yang dijalankan PSSI.
Saya tidak sedang menyalahkan siapapun di sini. Saya hanya menyayangkan PSSI yang selama ini lebih banyak ditunggangi kepentingan-kepentingan di luar sepak bola. Salah satunya kepentingan politik praktis.
Akibatnya, alih-alih menyusun cetak biru pembinaan secara serius, para pengurus lebih sibuk mengejar prestasi instan. Prestasi yang bisa diraih dalam satu periode masa jabatan.
Kenapa harus dalam satu masa jabatan? Supaya bisa ikut mengarak sang juara dan dielu-elukan publik. Bisa ikut trending, jadi pusat pemberitaan yang sedikit-banyak tentulah mendongkrak elektabilitas.
Kalau yang dikerjakan membangun cetak biru kompetisi nasional, misalnya, itu butuh waktu panjang. Sangat panjang sekali bahkan. Tidak akan cukup satu periode jabatan untuk turut merasakan hasilnya.
Kalaupun nanti program tersebut sukses, yang dapat nama pengurus berikutnya. Para oportunis penunggang PSSI tentu tidak mau ini terjadi. Enak saja!
***
Untuk sementara ini, okelah kita terima kenyataan bahwa naturalisasi adalah solusi paling masuk akal jika ingin melihat timnas berprestasi dalam waktu dekat. Event terdekat ya Piala Asia pada Januari 2024 mendatang.
Namun jangan jadikan naturalisasi pemain Eropa sebagai program berkelanjutan. Cukup sebagai jembatan saja. Cukup sebagai pengungkit saja.