ADA satu cuitan lucu di Twitter yang membuat saya ngakak tadi malam. Lumayanlah sebagai penghiburan usai menyaksikan kekalahan timnas Indonesia dari tuan rumah Vietnam di partai kedua semifinal Piala AFF 2022.
Saya lupa-lupa ingat, tetapi kurang-lebih begini kalimat si empunya cuitan: Ya Tuhan, tolonglah kasih kesempatan liat timnas jadi juara. Dari SMP sampai sekarang punya anak 2, Piala AFF saja enggak pernah menang.
Sayangnya saya tidak men-screenshot cuitan tersebut. Saya sudah lama tidak main Twitter, punya akun pun kena gembok sejak kapan tahun entah karena alasan apa. Jadi, saya tidak bisa memberi love maupun me-retweet, padahal sangat ingin.
Bukan apa-apa, saya merasa senasib dengan si pembuat cuitan tersebut. Jika dia dari SMP, maka saya baru mulai mengikuti kiprah timnas Indonesia semenjak masuk SMA Negeri 1 Muara Bulian pada tahun 1997.
Orang tua saya tinggal di Sungai Bahar. Tempat ini hanya kira-kira 30 kilometer dari Muara Bulian. Namun buruknya sarana jalan plus minimnya jasa angkutan yang menghubungkan kedua tempat, membuat saya tidak mungkin ulang-alik setiap hari.
Maka saya musti mencari tempat kos di Muara Bulian. Karena merantau ke ibukota Kabupaten Batang Hari itu jugalah saya jadi bisa menikmati listrik dan tentunya menonton siaran televisi, serta membeli koran dan majalah.
Final SEA Games 1997
Minat saya pada sepak bola dimulai sejak saat ini. Ketularan teman-teman sekelas juga teman satu kos yang hobi baca Tabloid BOLA dan selalu membahas tentang pertandingan Serie A setiap hari Senin. Mulanya hanya ikut mendengarkan, lama-lama jadi tertarik.
Bertepatan dengan saat saya masuk SMA, Indonesia sedang jadi tuan rumah SEA Games 1997. Partai timnas pertama yang saya saksikan adalah final cabang sepak bola turnamen ini. Tepatnya laga Indonesia vs Thailand di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
18 Oktober 1997 tanggalnya. Saya ingat betul, ketika itu Indonesia bermain imbang 1-1 dengan Thailand. Skor seri berlanjut hingga babak tambahan habis dimainkan. Penentuan juara lantas dilanjutkan dengan adu penalti.
Di sinilah keseruan sesungguhnya. Entah memang bermental kerupuk atau memang kualitas para pemain kita yang kurang, Indonesia kalah adu penalti. Thailand keluar sebagai juara.
Penonton yang tidak terima dengan kekalahan ini lantas melempari lapangan dengan batu, botol berisi entah air minum atau air seni. Bahkan sampai ada yang membakar tribun. Layar televisi dipenuhi warna merah api dan putih akibat tebalnya asap yang mengambang di dalam stadion.
Baru bertahun-tahun kemudian saya tahu jika Indonesia terakhir kali menjuarai cabang sepak bola SEA Games di tahun 1991. Sudah berlalu enam tahun, wajar jika suporter ingin melihat timnasnya jadi juara lagi. Sayang, malah di rumah sendiri keok.
Saya lupa-lupa ingat apakah Azwar Anas (Ketua Umum PSSI saat itu) atau Wismoyo Arismunandar (Ketua KONI saat itu) yang masuk ke lapangan untuk menenangkan massa. Bisa jadi malah beliau berdua. Yang jelas lamaaa sekali baru keadaan dapat berubah kondusif sehingga prosesi pemberian medali dilaksanakan.
Sungguh bukan kesan pertama yang bagus, bukan? Sudahlah timnas kalah di kandang sendiri, ditambah lagi melihat suporter mengamuk. Pemandangan yang kelak saya tahu merupakan ciri khas sepak bola di negara ini.
Juara Dagelan
Sejak partai final SEA Games 1997 hingga laga leg kedua semifinal Piala AFF 2022 tadi malam, sudah 25 tahun saya mengikuti kiprah timnas Indonesia. Ya, kita semua sama-sama tahu, selama seperempat abad itu belum pernah sekalipun Tim Merah Putih menjadi juara.
Oh, tunggu! Saya jadi ingat salah satu podcast di kanal YouTube SEA News. Dalam acara itu Budi Sudarsono mengingatkan Valentino 'Jebret' Simanjuntak dan Cristiano Gonzales kalau timnas Indonesia sebetulnya pernah jadi juara.
Kapan? Tanggalnya 29 Agustus 2008. Nama ajangnya Piala Kemerdekaan. Indonesia menjadi juara setelah 'menang' atas Libya dalam partai final yang berlangsung di SUGBK.
Ya, kata 'menang' saya beri tanda kutip, sebab kemenangan itu diperoleh secara kontroversial. Bahkan kata yang lebih tepat adalah memalukan. Pasalnya, Libya menolak bertanding lagi usai satu insiden yang menimpa pelatih mereka, Gamal Adeen Abu Nowara, di lorong kamar ganti saat jeda pertandingan.
Padahal Libya sedang unggul 1-0 di babak pertama. Karena pelatihnya mengaku dipukul salah satu offisial timnas Indonesia, para pemain Libya ogah masuk lapangan di babak kedua. Alhasil, Indonesia dinyatakan menang WO dengan skor 3-1.
Itulah satu-satunya 'keberhasilan' timnas Indonesia selama 25 tahun saya mengikuti kiprah mereka. Namun agaknya itu bukan sebuah hal yang bisa dibanggakan. Buktinya, dalam podcast tadi Budi Sudarsono menceritakan momen juara tersebut sambil tersenyum tipis nan kecut. Bukan ekspresi bangga.
Kalau pemain yang jadi 'juara' saja tidak mengenangnya dengan penuh kebanggaan, apatah lagi saya yang hanya menyaksikan partai final dagelan tersebut lewat layar kaca?
Seperempat Abad yang Tersia-sia
Balik lagi ke pertandingan melawan Vietnam semalam, pertanyaan yang kemudian muncul di kepala saya adalah: apa saja sih, yang sudah dilakukan para pengurus PSSI sejak kegagalan di final SEA Games 1997?
Pertanyaan lainnya lagi, kenapa orang-orang yang didapuk jadi pengurus PSSI selama 25 tahun belakangan sepertinya sama sekali tidak merasa terganggu dengan kemajuan yang ditunjukkan negara-negara yang lebih lemah dari Indonesia di Asia Tenggara.
Indonesia pernah membantai Filipina 13-1 di Piala AFF 2002. Sebuah kemenangan mudah. Namun dua dasawarsa berselang, kita tahu sendiri betapa susah payahnya Marc Klok en vrienden meraih kemenangan 2-1 atas lawan yang sama beberapa waktu lalu.
Demikian halnya Kamboja. Salah satu komentator ANteve (yang maaf, saya lupa namanya) pernah berkelakar, Indonesia lawan Kamboja itu skornya lebih mirip pertandingan tenis. Sekarang? Lagi-lagi timnas kita tampak kesusahan mengalahkan mereka dalam dua perhelatan Piala AFF terakhir.
Bagaimana dengan Vietnam? Jelang pertandingan tadi malam banyak yang mengingatkan momen kemenangan telak Indonesia di My Dinh National Stadium. Skornya 3-0, ajangnya fase grup Piala AFF 2004. Indonesia benar-benar mendominasi permainan kala itu.
Sampai pertemuan terakhir di semifinal Piala AFF 2016, Vietnam itu tidak pernah bisa mengalahkan Indonesia. Partai leg kedua di My Dinh enam tahun lalu adalah salah satu penampilan timnas yang tidak bakal pernah saya lupakan.
Namun, lihat perbedaannya sekarang. Vietnam mampu melaju hingga putaran tiga di Kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia, sedangkan Indonesia menjadi juru kunci grup di putaran kedua.
Walaupun akhirnya tersingkir, setidaknya Vietnam bisa mengalahkan China dan menahan imbang Jepang. Sementara Indonesia jadi bulan-bulanan Uni Emirat Arab, Thailand, Vietnam dan Malaysia di putaran kedua. Hanya meraih 1 poin dari delapan pertandingan.
Untuk semakin mendramatisir perbandingan ini, saya merasa perlu mengungkit capaian Vietnam di Piala AFF.
Hingga edisi 2016, Indonesia masuk final 5 kali tetapi tidak pernah juara. Dalam periode yang sama, Vietnam hanya sekali mencapai final (di Piala AFF 2008) dan langsung merengkuh gelar juara.
Entah di mana salahnya sampai hal ini terjadi, seharusnya para cerdik pandai yang berkantor di Senayan sana yang lebih paham. Sebagai penonton dan pendukung setia timnas, saya hanya merasa waktu 25 tahun ini sangat disia-siakan sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H