APA yang dikhawatirkan segenap tifosi Juventus terjadi juga. Wajib menang demi menjaga asa lolos ke fase gugur, La Vecchia Signora justru takluk di kandang Benfica pada matchday kelima Liga Champions 2022-23, Rabu (26/10/2022) malam WIB.
Di atas kertas, seharusnya Juventus tidak kesulitan menghadapi Benfica. Baik dari kualitas para pemain pembentuk skuat, nama besar pelatih, maupun akumulasi poin koefisien klub di pentas Eropa, Juventus (107.000) berada satu level di atas Benfica (61.000).
Namun jangankan bertanding di Estadio da Luz, di kandang lawan, mentas di Juventus Stadium pun tim asuhan Massimilliano Allegri keok. Maka tidak heran jika sebelum pertandingan tadi malam banyak yang pesimis Leonardo Bonucci, cs. bakal membawa pulang tiga poin.
Benar saja. Jika pada pertemuan pertama di Turin jalannya pertandingan cenderung berimbang, tadi malam Juventus benar-benar dibuat mati kutu oleh agresifnya barisan depan Benfica.
Meski sempat mengimbangi dalam 21 menit awal, selebihnya Si Nyonya Tua lebih sering berada dalam tekanan tuan rumah. Mereka bahkan sempat tertinggal 1-4, ketertinggalan yang tidak layak diderita klub dengan nama sebesar Juventus.
Sempat membangkitkan asa dengan mencetak dua gol dalam tempo dua menit untuk membuat skor jadi 4-3, tetap saja kekalahan tidak terelakkan. Hasil ini membuat Juventus dipastikan gagal melaju ke fase gugur.
Akumulasi poin Juve dari lima pertandingan hanya 3, sama seperti milik Maccabi Haifa yang merupakan tim terlemah di kompetisi musim ini. Hanya selisih gol yang lebih baik yang bakal mengirim Juve ke Europa League.Â
Kutukan Seperempat Abad
Kegagalan musim ini seolah menegaskan bahwa Juventus tengah berada dalam jerat kutukan Liga Champions. Sejak terakhir kali mengangkat trofi si Kuping Besar pada Mei 1996, La Vecchia Signora tidak pernah lagi berjaya di pentas tertinggi Eropa.
Gianluca Vialli menjadi kapten Juventus terakhir yang dapat mengangkat tinggi-tinggi trofi Liga Champions di atas kepalanya. Setelah itu Juventus hanya merasakan atmosfer partai final, untuk kemudian menyaksikan lawan yang berpesta di akhir pertandingan.
Semusim setelah final di Roma nan bersejarah itu, sebetulnya Juventus berpeluang langsung mengulang kejayaan. Mereka jadi favorit usai melaju ke partai pamungkas menyusul kemenangan atas Ajax Amsterdam, lawan di final tahun sebelumnya.
Namun Juventus tersandung oleh Borussia Dortmund di partai pamungkas. Adalah brace eks pemain Lazio, Karl-Heinz Riedle, yang merobek-robek asa tifosi I Bianconeri untuk kembali berpesta.
Musim 1997/98, untuk kali ketiga secara berturut-turut Marcello Lippi membawa Juventus mencapai partai final Liga Champions. Lagi-lagi mereka jadi favorit juara setelah menyabet gelar scudetto berkat kegemilangan Alessando del Piero dan Zinedine Zidane.
Akan tetapi, sekali lagi Juventus harus gigit jari. Stadion Amsterdam Arena ternyata jadi medan perayaan Real Madrid. Gol tunggal Predrag Mijatovic pada menit ke-66 jadi pembeda pada pertandingan tersebut.
Musim berikutnya, posisi Lippi digantikan oleh Carlo Ancelotti. Juventus tetaplah Juventus yang lagi-lagi tampil mengesankan sejak fase grup hingga kemudian tersandung di kaki Manchester United di semifinal.
Skor imbang 1-1 pada semifinal leg pertama di Old Trafford seolah jadi pertanda kesialan Juventus musim itu. I Bianconerri hampir menang dengan gol tunggal Antonio Conte. Namun Rio Ferdinand menyamakan skor di masa injury time babak kedua.
Pada leg kedua di Turin, waktu itu masih berkandang di Stadion Delle Alpi, dua gol cepat Filippo Inzaghi dalam 11 menit awal sempat memberikan harapan pada segenap Juventini. Namun ternyata kemudian Man. United melakukan comeback yang terasa sangat menyakitkan bagi tuan rumah.
Dimulai dari gol Roy Keane pada menit ke-24, disusul penyama kedudukan dari Dwight Yorke sepuluh menit berselang, lalu dipungkasi gol ketiga Andy Cole pada menit ke-84. Harapan para pemain Juventus habislah sudah.
Kegagalan pada Liga Champions 1998/99 tersebut juga dibarengi performa buruk di Serie A. Juventus hanya mampu finish di peringkat ketujuh pada musim tersebut, sehingga tidak lolos ke Liga Champions 1999/2000.
Sungguh sebuah kemunduran yang sangat massif. Lebih-lebih di musim 1999/2000 tersebut Juventus harus merelakan gelar scudetto ke Lazio dengan cara sangat menyakitkan pada menit-menit akhir pertandingan terakhir.Â
Juventus kembali ke Liga Champions Eropa di musim 2000/01. Namun comeback ini sangat buruk. La Vecchia Signora memulai petualangan dengan bermain imbang 4-4 melawan Hamburg SV. Bahkan kemudian kalah 1-3 dari Panathinaikos.
Alhasil, Juventus tidak lolos dari fase grup putaran pertama. Bukan sekadar tidak lolos, tetapi juga menjadi juru kunci grup!
Lippi Kembali dan ke Final Lagi
Gagal bersama Ancelotti, manajemen klub melakukan perombakan besar-besaran. Lippi kembali digaet sebagai pelatih. Zidane dilego ke Real Madrid, digantikan sederet pemain potensial dalam diri Gianluigi Buffon, Fabio Cannavaro, Pavel Nedved, dan Lilian Thuram.
Namun efek perubahan tersebut tidak langsung terlihat, meski ada peningkatan. Juventus memang berhasil lolos ke fase grup putaran kedua, tetapi gagal terus melaju karena (lagi-lagi) menjadi juru kunci grup.
Semusim berselang barulah tuah tangan dingin Lippi terlihat. Lagi-lagi pelatih kelahiran Viareggio tersebut membawa Juventus ke partai final, sekalipun terhitung beruntung di fase grup putaran kedua.
Lawan di final yang berlangsung di Stadion Old Trafford, 28 Mei 2003, tersebut adalah rival senegara: AC Milan. Karenanya media Inggris menyebut pertandingan ini sebagai all Italian final.
Ini kali pertama dua tim asal Serie A bersua di partai pamungkas Liga Champions. Tak pelak laga penentuan ini jadi kental dengan permainan khas Italia yang tengah demam cattenaccio menyusul kesuksesan di Euro 2000.
Setelah bermain tanpa gol selama 120 menit, penentuan harus dilakukan dengan adu penalti. Gianluigi Buffon memang berhasil menggagalkan eksekusi Clarence Seedorf dan Kakha Kaladze, tetapi di pihak lain Nelson Dida sukses memblok tendangan tiga eksekutor Juventus.
Juventus harus kembali menelan pil pahit. Padahal mereka lebih diunggulkan sebelum pertandingan. Wajar, tim asuhan Lippi datang ke Manchester sebagai juara Serie A 2002/03, sedangkan AC Milan hanya bertengger di peringkat ketiga klasemen akhir.
Setelah kekalahan dari AC Milan tersebut, butuh waktu 12 tahun bagi Juventus untuk kembali mencapai partai final. Kali itu, di musim 2014/15, bersama Allegri sebagai juru taktik dan Buffon memakai ban kapten.
Carlos Tevez jadi andalan Juventus dengan koleksi tujuh gol jelang pertandingan di Olympiastadion, 6 Juni 2015. Namun lawan Juventus kali ini adalah Barcelona yang diperkuat trio MSN: Lionel Messi, Luis Suarez yang baru saja pindah dari Liverpool, plus Neymar.
Penunjukkan Karl-Heinze Riedle sebagai duta partai final seolah jadi sinyal buruk bagi Juventus. Dan memang itulah yang kemudian terjadi. Sempat menahan skor 1-1 selama satu jam, gawang Buffon bobol dua kali lagi sehingga I Bianconeri keok 1-3.
Masih ingat skor saat Juventus dikalahkan Dortmund di final tahun 1997? Ya, 1-3 juga di mana Riedle menyumbang dua gol.
Juventus baru bisa balas dendam pada Barcelona dua musim berselang, yakni di perempatfinal Liga Champions 2016/17. Mereka mengamuk di leg pertama dengan menang 3-0, lalu meraih hasil imbang 0-0 di Nou Camp pada leg kedua.
Usai mengalahkan AS Monaco dengan skor agregat 4-1 di semifinal, Juventus menantang Real Madrid di partai final. Final kedua di bawah arahan Allegri, final kedua dalam rentang tiga musim.
Sayang, Juventus seolah muncul di hadapan Madrid pada saat yang salah. Meski sempat mengimbangi jagoan La Liga itu di babak pertama, I Bianconerri kocar-kacir pada babak kedua. Madrid menambah tiga gol lagi untuk mengunci kemenangan jadi 4-1.
Itulah penampilan terakhir Juventus di final Liga Champions. Setelahnya mereka selalu terpental sebelum mencapai semifinal. Bahkan secara pencapaian mengalami penurunan dari musim ke musim.
Dua kali berturut-turut Juventus tersingkir di perempatfinal (2017/18 dan 2018/19), lalu tiga kali berturut-turut mentok di babak 16 besar (2019/20, 2020/21 dan 2021/22), sampai akhirnya musim ini bahkan tidak lolos dari fase grup.
Jika ada bayi yang lahir saat Vialli mengangkat trofi Liga Champions pada 22 Mei 1996, bayi tersebut telah berusia 26 tahun sekarang. Selama itu pulalah tifosi Juventus menantikan klub idola mereka kembali menjadi juara di level tertinggi Eropa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H