Begitulah, saya pun menumpang di mobil Pakde. Waktu itu belum ada Tol Trans Jawa, jadi jalur utama di Jawa adalah Pantura. Sesampainya di Semarang, rombongan Pakde berbelok ke selatan untuk menghampiri saya.
Karena belum ada jalan tol itulah, perjalanan dari Jogja ke Wonorejo terasa sangat lama lagi melelahkan. Saya lupa persisnya memakan waktu berapa jam. Namun seingat saya, saat itu kami menghabiskan waktu lebih dari 24 jam.
Saya ingat betul kami berangkat dari tempat kos saya di bilangan Jokteng Wetan selepas Isya. Sampai di tujuan dua pagi setelahnya. Kira-kira 36 jam perjalanan alias dua malam satu hari.
Padahal sopir langganan Pakde adalah seorang yang tahan melek. Beliau ini terkenal tahan banting lagi cepat. Sepanjang rute Jogja-Banyuwangi, si sopir ini hanya berhenti sekali selama sekitar 2-3 jam untuk ngeliyep di sebuah pom bensin.
Akan tetapi segala rasa lelah itu seketika lenyap saat saya mengetahui seperti apa keadaan di kampung kelahiran Ibu. Kedatangan pertama yang sangat mengesankan bagi saya. Membuat saya kepengin datang lagi ke sana dan menghabiskan waktu lebih lama.
Waktu itu saya hanya bertahan di sana selama tiga hari karena tidak mau bolos kerja lama-lama. Saya pulang sendiri menumpang bus EKA dari Banyuwangi, menyelaraskan perjalanan Pakde sekeluarga yang hari itu menuju Muncar.
Bayangkan saja, begitu keluar dari rumah Paman dan berdiri di halaman, di depan mata menghampar sawah nan menghijau. Lalu di kejauhan tampak Gunung Baluran di sebelah kanan dan Pegunungan Ijen di sebelah kiri.
Pergi ke ujung timur, ada Pantai Pandean yang dari sana samar-samar terlihat Pulau Bali di sisi selatan. Kalau mau melihat Bali lebih jelas lagi, tinggal pergi ke kawasan wisata Watudodol yang hanya berjarak (waktu itu) 20-an menit.
Mau masuk ke TN Baluran? Tinggal jalan kaki saja. Ibu saya tidak sekali-dua bercerita, orang-orang di kampungnya biasa menerobos masuk ke kawasan lindung tersebut. Nama Bekol sudah saya dengar bahkan sebelum merantau ke Jawa.
Cuma tentu saja ini tidak baik diikuti. Sebaiknya masuk lewat gerbang depan, jadi harus naik sepeda motor atau setidaknya bersepeda. Sebab dari gerbang menuju ke kawasan taman terhitung jauh. Belum lagi kalau mau sampai ke Pantai Bama.
Pendek kata, saya langsung merasa betah di tempat Paman, di kampung kelahiran Ibu. Saya bertekad harus datang lagi ke sana suatu saat nanti. Cuma saya ogah kalau disuruh naik mobil lagi. Capek. Apalagi naik bus umum yang harus berganti-ganti.