Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Saat Brendan Rodgers Tak Lagi Dipercaya Fans Liverpool [On This Day]

4 Oktober 2022   23:40 Diperbarui: 5 Oktober 2022   01:42 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOTO: Press Association via Leicester Mercury

Dan Rodgers tak asal bicara. Dia punya contoh nyata dalam wujud Swansea City. Klub asal Wales selatan itu dia jadikan sebuah tim dengan gaya permainan menarik lagi atraktif. Menjadi buah bibir di kasta kedua sepak bola Inggris.

Rodgers memang tidak sampai membawa Swansea City menjuarai Championship. Namun begitu promosi ke Premier League, racikan Rodgers pada The Swans menuai banyak pujian. Kira-kira seperti Brighton and Hove Albion racikan Graham Potter di musim ini.

Akan tetapi lain Swansea City, lain pula Liverpool FC. Pproyek yang harus dikerjakan Rodgers di Anfield bukanlah pekerjaan ringan, tentu tanpa meremehkan apa yang telah dia lakukan selama menangani Swansea.

Pada saat Rodgers datang, Liverpool sudah tak menjamah trofi juara selama 22 tahun. Trofi terakhir yang masuk ke lemari kaca klub adalah Piala Liga peninggalan Kenny Dalglish pada 2012. Trofi mayor, tetapi tak cukup bergengsi bagi fan.

Toh, sesuram-suramnya Liverpool sepanjang dua dasawara itu-- saat Rodgers ditunjuk sebagai manajer pada 2012, setidaknya 11 trofi baru masuk ke daftar koleksi gelar juara. Rinciannya, 3 trofi Piala FA, 4 trofi Piala Liga, masing-masing 1 trofi Piala UEFA dan Liga Champion, plus 2 trofi Piala Super Eropa.

Tidak banyak memang, karena 11 dalam 22 tahun berarti hanya 0,5 trofi per musim. Namun tetap saja ini bukan jumlah yang sedikit.

Masalahnya, pencapaian tersebut tetap saja itu tidak cukup di mata suporter Liverpool. Maklum saja, Kopite terbiasa melihat timnya mendominasi liga, lalu mengakhiri musim dengan mengarak trofi juara keliling kota.

Kenangan mereka adalah tentang menghajar rival sekota, meremukkan musuh bebuyutan Manchester United, berpesta gol ke gawang tim papan bawah seperti yang digambarkan dalam lirik lagu We Are Liverpool, dan deretan piala di akhir musim.

Mendominasi dan menjuarai liga domestik adalah puncak kerinduan fan Liverpool. Maka jangan heran Gerard Houllier tetap dipecat sekalipun sanggup meraih treble di tahun 2001, satu-satunya treble Liverpool di era Premier League.

Nasib serupa dialami Rafael Benitez bertahun-tahun kemudian. Meski sukses membawa The Reds kembali berjaya di Eropa dengan 2 kali tampil di final Liga Champion dalam tempo 3 tahun dan membawa pulang 1 trofi, tetap saja Rafa ditendang keluar.

Hanya Tiga Tahun

Begitulah. Kejayaan masa lalu, tuntutan komersial dari pemilik klub, serta ekspektasi tinggi dari suporter menjadi tiga hal penting yang harus pintar-pintar Rodgers selaraskan. Karenanya sejak awal dia menekankan pada semua pihak untuk tidak terburu-buru menilai hasil pekerjaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun