Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang asyik berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet juga berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Isu Sambo Mengalihkan Rencana Kenaikan BBM atau Malah Sebaliknya?

7 September 2022   08:54 Diperbarui: 7 September 2022   09:01 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOTO: ANTARA FOTO/Ampelsa via Tempo.co

HANYA hitungan jam setelah saya mengisi full tank sepeda motor kesayangan di pom bensin terdekat, kabar "sedap" itu terdengar. Lalu diamplifikasi oleh tetangga yang selama menjual bensin eceran di depan toko kelontongnya. Harga BBM mau naik, katanya.

Namun kabar pertama itu rupanya seolah prank saja. Sebab disusul berita bahwa harga BBM tidak jadi naik. Lebih tepatnya belum, sebab hanya hitungan hari setelah itu benar-benar diumumkan secara resmi di saluran informasi resmi milik Pemerintah.

Saya yang baru saja mengisi penuh tangki sepeda motor merasa sangat bersyukur sekali. Kendaraan buatan Taiwan yang saya pakai selama belasan tahun terakhir memiliki ukuran tangki jumbo. Dalam keadaan benar-benar kosong, bisa diisi 5 liter!

Waktu saya isi penuh tepat sebelum harga BBM naik, yang bisa masuk nyari 5 liter. Hanya kurang sedikit saja, nol koma nol sekian liter. Saya bayar habisnya kisaran Rp40.000, dengan yang Rp300 masuk ke kantong mbak-mbak yang melayani saya.

Entahlah, agaknya zaman sekarang susah sekali mencari uang receh sebagai kembalian. Namun gerundelan seputar uang receh yang "ditilep" begitu saja oleh petugas SPBU tadi langsung terlupakan begitu kabar kenaikan BBM resmi disebar Pemerintah.

Kenapa saya merasa bersyukur? Ya karena saya merasa telah berhemat jauh lebih banyak dari Rp300 tadi, meski jatuhnya tetap recehan juga. Hehehe.

Harga Pertalite sebelum naik adalah Rp8.000 per liter. Mengisi, katakanlah, 5 liter berarti saya musti keluar uang Rp40.000. Bayangkan jika saya mengisi setelah harga BBM naik, di mana per liter menjadi Rp10.000.

Hitungan kasar saja sudah kelihatan kalau saya telah menghemat 5 x Rp2.000 = Rp10.000. Recehan memang, tetapi di Pemalang sini uang segitu sudah bisa untuk sarapan enak setidaknya dua orang. Tinggal pilih saja mau nasi gurih, lontong sayur, atau nasi sayur lauk tempe.

Apa Mengalihkan Siapa?

Seperti biasa, begitu harga BBM naik langsunglah penduduk Republik Wakanda mengungkapkan protes. Mula-mula hanya di media sosial, lalu beneran ada yang turun ke jalan alias melancarkan demonstrasi.

Yang jadi menarik, momen kenaikan harga BBM dan kemudian disusul merebaknya demonstrasi di sana-sini bersamaan dengan semakin meningkatnya proses penanganan kasus kematian Brigadir J.

Orang-orang yang kental dengan teori konspirasi lantas mengajukan teori: pasti kenaikan harga BBM ini sengaja untuk mengalihkan isu dari kasus polisi tembak polisi tersebut. Ya, meski masih berupa teori, tapi sudah diberi stempel "pasti".

Pendukung teori ini ndilalah banyak. Mereka percaya begitu saja kalau kenaikan harga BBM sengaja dilakukan demi mengaburkan kasus tersebut di atas. Lebih jelasnya lagi, demi menyelamatkan nama baik tersangka yang adalah seorang jenderal bintang dua yang saya tidak mau menyebut namanya.

Konon sih, praktik seperti ini sudah biasa dilakukan sejak zaman dahulu kala. Kalau ada orang-orang yang disinyalir dekat dengan kekuasaan tersangkut kasus, maka berita penanganannya akan disenyapkan dengan isu-isu lain. Karena itulah disebut pengalihan isu.

Namun ada pula yang berpendapat sebaliknya, justru kasus kematian Brigadir J ini yang dibiarkan berlarut-larut agar rencana Pemerintah menaikkan harga BBM tidak terendus. Jadi, mulusnya niatan Pemerintah menaikkan harga BBM tertolong oleh molornya penanganan kasus kriminal yang bertabur bintang tadi.

Lagi-lagi disebut sudah biasa kalau Pemerintah hendak mengambil kebijakan yang tidak populis seperti ini, maka sudah disiapkan isu lain yang bakal cepat-cepat digulirkan agar masyarakat lupa pada kenaikan harga. Dan yang percaya dengan pendapat ini juga tidak sedikit orangnya.

Jadi, mana yang lebih tepat? Kasus kematian Brigadir J adalah pengalih isu kenaikan harga BBM atau malah kenaikan harga BBM yang mengalihkan perhatian masyarakat?

Naik? Ya Sudahlah....

Kalau kata saya sih, dua-dua pendapat ala teori konspirasi tadi sama-sama tidak benar. Kasus kematian Brigadir J masih bisa dimaklumi berjalan sedemikian lama. Seperti diduga banyak pengamat, ada berbagai kepentingan dan sosok berpengaruh yang mungkin terlibat di dalamnya. Maka, Polri musti sangat hati-hati.

Demikian pula dengan kenaikan harga BBM. Enggak ada perlunya Pemerintah menutup-nutupi rencana ini, wong setiap kenaikan pasti selalu diumumkan. Sejak zaman Presiden daripada Soeharto pun, seingat saya enggak pernah kenaikan harga-harga begini tanpa pengumuman resmi.

Tahu-tahu naik saja, begitu? Tahu-tahu pas kita mengisi bensin di SPBU kaget karena harganya sudah berubah, begitu? Emangnya minimarket yang harga di etalase dan di struk bisa berbeda dan bikin kaget sewaktu kita mau bayar.

Toh, kenaikan harga BBM adalah sesuatu yang sudah pasti. Saya juga maunya harga BBM tetap Rp2.000, atau lebih tepatnya Rp1.800-an per liter, seperti saat pertama kali saya punya sepeda motor sendiri. Namun sekarang yang termurah pun sudah Rp10.000 seliter.

Jadi, marilah bersikap realistis saja. Minyak itu komoditas, seperti halnya beras, gula, minyak sayur, dan lain-lain. Sementara kita bekerja diupah pakai uang, belanja-belanji juga pakai uang, dari bahan kertas yang sejatinya tidak ada harganya.

Hasilnya adalah apa yang diistilahkan sebagai inflasi. Uang yang sejatinya tidak berharga tadi akan terus mengikuti nilai komoditas.

Kita melihatnya sebagai kejadian "apa-apa tambah naik". Padahal kejadian sebenarnya adalah nilai uang yang semakin turun karena memang pada dasarnya tidak ada harganya. Yang membuatnya berharga adalah karena kertas bergambar cantik itu dicetak oleh negara.

Inflasi itu nyata kita alami sejak dulu, bahkan konon di zaman Nabi Muhammad pun sudah terjadi inflasi. Hanya kebanyakan dari kita tidak (mau) memahaminya, mungkin karena terlalu sibuk mencari nafkah demi keluarga tercinta.

Coba deh diingat-ingat lagi, sebelum kenaikan harga BBM sekarang ini harga mie instan sudah lebih dulu naik sebagai imbas meningkatnya harga gandum dunia. Lalu sebelum itu pernah pula kejadian harga minyak goreng melambung, pun demikian harga telur ayam.

Ngomel tidak ngomel, kita harus menghadapi semua itu. Kita menggerutu ataupun tidak, tetap saja semua komoditas akan naik harganya kalau memang sudah waktunya naik. Uang kertas kita yang sebetulnya tidak berharga itu yang akan selalu dipaksa mengikuti nilai komoditas.

Kalau kita dapat bertahan sewaktu harga mie instan, minyak goreng, dan telur ayam semuanya naik, maka seharusnya kita akan tetap baik-baik saja dengan kenaikan harga BBM ini. Toh, ini bukan kali pertama, bukan?

Maka, yang harus kita lakukan hanya satu hal: beradaptasi. Seperti kata satu misattributed quote berbahasa Inggris: adapt or die. Mohon maaf, mengomel dan menggerutu tidak tergolong tindakan beradaptasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun