SEBETULNYA saya berencana menulis topik lain. Ada beberapa ide tulisan yang belum sempat dieksekusi. Namun begitu menghidupkan laptop, membuka Kompasiana, lalu mengintip laman notifikasi, satu kejutan manis ternyata sudah menanti di sana.
Tepat tiga jam lalu, terselip di antara pemberitahuan adanya rating dan komentar pada artikel-artikel saya, tampak sebaris notifikasi yang berasal dari akun Kompasiana. Pendek saja bunyinya, "Verifikasi - Selamat, akun Anda telah diverifikasi."
Penuh rasa penasaran, langsung saja saya klik notifikasi tersebut. Namun tidak tampil apa-apa. Malah saya diarahkan ke halaman profil yang berisi deretan artikel plus kotak-kotak berisi angka total jumlah artikel, total jumlah penayangan, total jumlah komentar, dan lain-lain.
Begitu berada di halaman profil, perhatian saya langsung tertuju pada artikel Warga di Tidore Ini Upacara Bendera Setiap 18 Agustus, Bukan 17 Agustus. Pasalnya, foto utama pada artikel berganti. Padahal saya tidak pernah menggantinya sejak pertama ditayangkan pada Jumat, 19 Agustus 2022, lalu.
Foto utama pada artikel tersebut saya comot dari laman InfoPublik.id, sebuah media daring lokal di Maluku Utara. Gantinya adalah foto hasil jepretan jurnalis Tribun Ternate yang adalah media lokal dalam jaringan Kelompok Kompas Gramedia (KKG).
Saya pribadi lebih senang foto pilihan saya, karena pada foto itu aksi pengibaran bendera berlatarkan lautan di depan Tanjung Mafutabe. Lalu di kejauhan tampak Pulau Ternate dalam bentuk gunung membiru.
Cuma, ya enggak apa-apalah. Senyum saya malah merekah lebar karenanya. Sebab seingat saya, kalau tiba-tiba foto utama pada artikel berganti, biasanya itu "kena razia" admin Kompasiana dan diberi status Artikel Utama.
Benar saja, meski sudah tak lagi tayang di halaman muka Kompasiana, artikel tersebut memang benar sudah berganti menjadi AU dari sebelumnya Pilihan. Tak heran jika jumlah view-nya terus saja bertambah, jauh melebihi ekspektasi saya.
Sejarah Lokal yang Terpendam
Mungkin bagi beberapa Kompasianer saya terkesan lebay. "Dapat AU dan view melejit saja, kok. Biasa aja kalee!"
Namun bagi saya ini penting, sebab yang saya angkat dalam artikel tersebut adalah satu sejarah lokal Tidore. Peristiwa yang sedikit-banyak berpengaruh pada sejarah terbentuknya negara ini, tetapi sempat tidak terdengar di skala nasional. Lama terpendam di bawah dominasi sejarah yang jawasentris.
Jangan kata di level nasional, orang-orang di Maluku Utara saja tidak semua tahu peristiwa 18 Agustus 1946 di Tanjung Mafutabe tersebut. Memang ada media nasional yang sempat mengangkat, tetapi agaknya belum terlalu memberikan efek. Terutama bagi satu-satunya pelaku sejarah yang tersisa saat itu: mendiang Nenek Amina Sabtu.
Baca juga: Mengenang Perjumpaan dengan Amina Sabtu, Fatmawati-nya Tidore
Saya termasuk beruntung karena begitu mengetahui kisah ini dari Anita Gathmir, saat pertama kali datang ke Tidore pada April 2017, saya berkesempatan menemui dan mewawancarai langsung Nenek Amina. Tekad saya semakin bulat untuk menyebar-luaskan peristiwa heroik ini melalui media apa pun yang dapat saya jangkau.
Saya lantas mengikuti jejak Sofyan Daud, budayawan Maluku Utara, yang pernah mengangkat sosok Nenek Amina di media setempat. Namun saya memilih jalur berbeda. Saya cukup sadar diri akan kapasitas serta kredibilitas saya yang bukan siapa-siapa ini.
Maka saya lantas memilih cara yang mungkin dianggap aneh. Alih-alih mengirim artikel hasil liputan saya ke sana-sini, saya putuskan untuk menggalang satu kampanye di Kitabisa. Ya, saya membuat penggalangan dana bertajuk Apresiasi untuk Amina Sabtu, Fatmawati-nya Tidore.
Mulanya saya pasang target Rp 25 juta. Namun lagi-lagi saya sadar diri, sehingga target diturunkan menjadi Rp 10 juga saja. Itupun sampai akhir kampanye tidak terpenuhi. Padahal sudah mendapat bantuan donasi berlimpah dari acara lelang amal Hard Rock FM dan juga Wardah.
Namun tidak jadi masalah. Sejak awal tujuan utama saya memang bukan dananya, tetapi exposure terhadap peristiwa sejarah di Tanjung Mafutabe, Kelurahan Mareku, di Pulau Tidore pada 76 tahun lalu.
Perhatian Membawa Perubahan
Target yang satu ini terbukti sukses. Exprosure skala nasional itu akhirnya bisa didapat. Setidaknya dari perhatian yang diberikan Hard Rock FM Jakarta, sebuah stasiun radio yang menyasar pendengar dari kalangan generasi muda.
Dua kali saya diwawancarai Hard Rock FM untuk menceritakan perihal Nenek Amina, peristiwa Tanjung Mafutabe, dan mengapa kita semua layak mengangkat kisah heroik ini serta mengapresiasi para pelakunya. Bersama saya juga ikut diwawancarai seorang co-founder Kitabisa.
Hard Rock FM juga menggelar lelang amal, di mana hasilnya diberikan pada kampanye untuk Nenek Amina di Kitabisa tadi. Lalu ada tambahan donasi pula dari Wardah yang memanfaatkan momentum Hari Kartini untuk memberi apresiasi pada penggalangan dana yang target donasinya perempuan.
Ketika kemudian saya mengikuti upacara 18 Agustus 2017 di Tanjung Mafutabe, ketua pemuda Mareku mengatakan kepada saya perhelatan tahun itu lebih meriah dari biasanya. Dalam artian, lebih banyak media yang datang meliput, juga lebih beragam tetamu kehormatan yang datang.
Satu hal yang bagi saya sangat spesial di hari tersebut, Nenek Amina mendapatkan penghargaan dari Sultan Tidore Hi. Husain Syah. Itulah penghargaan pertama bagi para pelaku sejarah pengibaran bendera merah putih di Tanjung Mafutabe.
Plakat penghargaan tersebut diserahkan oleh Syaifuddin Alting, Letnan Ngofa Kesultanan Tidore yang juga pengawal pribadi Sultan Husain Syah. Jou Sultan sendiri terpaksa diwakili karena pada saat itu tengah sakit.
Ketika kemudian saya mendatanginya lagi ke rumah untuk menyerahkan hasil penggalangan dana di Kitabisa, Nenek Amina tampak terus tersenyum sembari memamerkan plakat penghargaan yang baru saja beliau dapat. Suasana di rumah tersebut sangat riang.
Tampak sekali Nenek Amina begitu gembira. Saya melihat sendiri, penghargaan itu lebih membuat sang nenek senang ketimbang titipan donasi yang saya serahkan. Itulah sebenar-benarnya apresiasi baginya.
Kejutan Kedua, Si Biru
Balik lagi soal notifikasi tadi. Setelah mengamat-amati deretan artikel di laman profil, barulah saya menyadari satu hal. Tanda centang hijau yang ada di sebelah nama saya ternyata sudah berubah menjadi biru.
Wahai! Ternyata inilah maksud notifikasi singkat tadi. Saya jadi tertawa sendiri menyadari kekonyolan diri ini.
Mulanya saya saya pikir notifikasi itu memberi-tahukan persetujuan atas perubahan data diri yang saya lakukan. Beberapa hari lalu saya memang mengganti bionarasi pada profil. Saya tambahkan bahwa selain menulis tema-tema sepak bola, saya juga tertarik mengulas sejarah.
Maka dari itu saya tidak langsung menangkap apa maksud sebenarnya dari notifikasi di atas. Bahkan sempat saya abaikan dan langsung beralih ke laman profil untuk mengecek pertumbuhan view, rating, juga komentar pada setiap artikel.
Eh, ternyata itu notifikasi spesial bagi saya. Setelah menunggu satu bulan lebih beberapa hari dari notifikasi bakal calon Kompasianer Centang Biru, akhirnya tanda centang itu benar-benar berubah juga.
Terima kasih, Kompasiana. Sesuai janji saya, apa pun warna centangnya, juga dikasih K-Rewards ataupun tidak, saya akan tetap terus menulis di platform ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H