Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Apa Jadinya Jika Sepak Bola Tanpa Adu Penalti?

2 Juli 2022   11:50 Diperbarui: 2 Juli 2022   12:11 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

INDONESIA meraih medali perunggu SEA Games 2021 yang baru lalu berkat adu penalti. Meski sempat dibuat ketar-ketir karena eksekusi pertama oleh Asnawi Mangkualam membentur mistar gawang, timnas kesayangan kita pulang membawa medali karena empat penendang lain sukses mengemban tugas.

Mundur lebih jauh ke tahun sebelumnya, partai final Euro 2020 (diselenggarakan pada 2021) juga musti dipungkasi dengan adu tendangan penalti. Inggris yang memimpin duluan lewat gol cepat Luke Shaw (menit 2), harus memeras keringat lebih banyak karena Leonardo Bonucci menyamakan kedudukan pada menit ke-67.

Pertandingan berakhir imbang 1-1 setelah 90 menit waktu normal. Papan skor masih tetap sama setelah babak tambahan 2 x 15 menit digelar. Apa boleh buat, pemenang musti ditentukan lewat tos-tosan dari titik 16 meter.

Andrea Bellotti dan Jorginho dari kubu Italia memang gagal melesakkan bola ke dalam gawang. Namun kegagalan di pihak Inggris lebih banyak lagi. Tiga pemain muda Marcus Rashford, Jadon Sancho dan Bukayo Saka yang  tiga eksekutor terakhir The Three Lions sama-sama gagal.

Trofi Euro 2020 dimenangkan Italia dengan skor 3-2 dalam adu penalti. It's coming Rome.

Terhitung Aturan Baru

Semakin ke sini, semakin banyak pertandingan menentukan dalam turnamen sepak bola yang harus berakhir dengan adu penalti. Final Liga Champions Eropa, contohnya. Belakangan lebih sering menampilkan skor tipis, lalu tak sedikit pula yang pemenangnya ditentukan lewat babak tos-tosan.

Menariknya, adu penalti sebetulnya terhitung peraturan baru dalam dunia sepak bola. Baru sejak 1970 metoda penentu kemenangan yang satu ini disepakati oleh International Football Association Board (IFAB).

Laws of the Game direvisi, di mana undian koin dihapuskan dari salah satu cara menentukan pemenang. Sejak itu pula baru FIFA menerapkan aturan adu penalti dalam pertandingan-pertandingan resmi setelahnya.

Ini menjadi menarik, sebab sepak bola secara resmi sudah ditandingkan sejak 30 November 1872, yakni ketika Inggris melawat ke Glasgow untuk menghadapi Skotlandia. Laga yang digelar di Hamilton Crescent inilah yang diakui secara resmi oleh FIFA sebagai pertandingan sepak bola pertama dalam sejarah.

Partai ini sendiri dipromosikan sebagai pertandingan yang menggunakan aturan-aturan asosiasi, maksudnya IFAB sebagai pencetus peraturan sepak bola modern. Penonton yang masuk dengan membayar tiket sebesar 1 shilling, harus puas mendapatkan hasil imbang 0-0.

Dari 1872 ke 1970, ada selisih 98 tahun sampai kemudian aturan adu penalti diberlakukan. Lantas, bagaimana caranya menentukan pemenang di masa lalu jika dua tim yang bertanding sama kuat?

Di sinilah menariknya. Maksud saya, banyak kejadian menarik dalam pertandingan sepak bola yang kemudian jadi pemicu diterapkannya aturan adu penalti.

Replay hingga Undian Koin

Dulu, sebelum diberlakukannya adu penalti, pertandingan yang berakhir imbang bakal dilanjutkan ke babak extra time 2 x 15 menit.  Jika masih imbang juga, maka pertandingan bakal diulang lagi beberapa hari berselang. Replay.

Piala Eropa, kini Euro, pada edisi awal-awal sempat memberlakukan aturan begini. Demikian pula dengan pertandingan cabang sepak bola di Olimpiade.

Masih ingat pertandingan heroik yang sering diulang-ulang media nasional, yakni ketika timnas Indonesia menahan imbang Uni Soviet 0--0 di Olimpiade Musim Panas 1956?

Saat itu Indonesia seharusnya menghadapi Vietnam Selatan terlebih dahulu di putaran pertama. Namun Vietnam Selatan mengundurkan diri sehingga Indonesia mendapat kemenangan walkover. Majulah timnas langsung ke perempatfinal dan bertemu ... Uni Soviet!

Meski Indonesia tengah berada di masa-masa jayanya, Uni Soviet juga merupakan kekuatan sepak bola dunia. Tidak heran jika kebanyakan pengamat memprediksi Uni Soviet tak akan kesulitan menaklukkan tim asuhan Antun Pogacnik.

Eh, kejutan kemudian terjadi di Olympic Park Stadium, Melbourne, tempat pertandingan digelar pada 29 November 1956. Alih-alih menang, Uni Soviet justru ditahan imbang Indonesia dengan skor 0-0.

Pertandingan dilanjut ke babak extra time dan skor masih bertahan 0--0. Mau tidak mau, pertandingan ulang harus digelar dua hari berselang di tempat sama.

Indonesia yang sebagian besar pemainnya mengalami cedera akibat bermain begitu heroik di pertandingan pertama, harus mengakui keunggulan Uni Soviet di pertandingan ulang. Dua gol Sergei Salnikov dan masing-masing satu dari Valentin Ivanov dan Igor Netto mengantar Uni Soviet menang telak 4--0.

Setiap kali membaca kisah ini, saya jadi berandai-andai sendiri. Apa yang terjadi jika saat itu pertandingan pertama yang berakhir 0-0 tadi diselesaikan dengan adu penalti alih-alih replay? Lalu ada pula pertanyaan kedua: bagaimana kalau pertandingan replay juga berakhir imbang?

Lagi-lagi kita harus menyebut Uni Soviet karena eks negara adikuasa yang sudah bubar ini pernah terlibat di dalam kejadian seperti itu. Kejadiannya di semifinal Piala Eropa 1968. Menghadapi Italia, Uni Soviet terus ditahan imbang dalam dua pertandingan berturut-turut.

Karena baik pertandingan pertama maupun replay terus imbang, satu-satunya cara untuk menentukan pemenang dalam peraturan adalah ... mengundi koin! Ya, Anda tidak salah baca dan saya tidak salah tulis. Seperti sudah disinggung di atas, aturan undian koin baru dihapuskan pada 1970 ketika adu penalti diterapkan.

Begitulah yang terjadi di semifinal Piala Eropa 1968. Hasil undian koin memenangkan Italia sehingga melaju ke final untuk menghadapi Yugoslavia.

Gara-gara Tidak Terima

Jika orang Uni Soviet terkesan santuy saja menerima kekalahan undian koin dari Italia, tidak demikian halnya dengan seorang Israel bernama Yosef Dagan. Pria ini didaulat sebagai pencetus adu penalti yang kita kenal sekarang. Penyebabnya, Dagan tidak terima negaranya kalah dari Bulgaria di perempatfinal Olimpiade 1968.

Ketidak-relaan Yosef Dagan tentu beralasan kuat. Sama halnya Uni Soviet di semifinal Piala Eropa 1968, Israel waktu itu juga dinyatakan kalah dengan cara mengundi koin. Pertandingan di waktu normal sendiri berakhir imbang 1-1 setelah gol telat Yehoshua Figenbaum memupus keunggulan Bulgaria.

Karena tidak memberlakukan extra time, maka wasit langsung menggelar undian koin begitu 90 menit usai. Hasilnya, Israel dinyatakan kalah dan Bulgaria melaju ke semifinal.

Dagan tidak terima. Menurut dia undian koin sangat tidak fair juga bersifat untung-untungan. Jauh dari kesan sepak bola sebagai olah raga yang mengedepankan sportivitas. Dia merasa perlu satu cara lain yang lebih baik, yaitu adu penalti.

Maka Dagan lantas mengirim proposal berisi usulan aturan adu penalti ke IFA, federasi sepak bola Israel. Presiden IFA waktu itu, Michael Almog, meneruskan proposal tersebut ke FIFA.

Usulan Dagan menarik perhatian Koe Ewe Teik, anggota komisi wasit FAM (federasi sepak bola Malaysia). Koe Ewe Teik-lah yang kemudian memimpin gerakan agar FIFA mengadopsi usulan ini.

20 Februari 1970, FIFA menggelar diskusi bersama IFAB membahas usulan ini. IFAB menindak-lanjuti dengan melakukan diskusi internal. Hasilnya, dalam pertemuan tahunan pada 27 Juni 1970, IFAB resmi mengadopsi adu penalti sekaligus mencoret undian koin yang sebelumnya diberlakukan.

Pertandingan profesional pertama yang menerapkan adu penalti adalah semifinal Watney Cup yang mempertemukan Hull City dengan Manchester United di Boothferry Park, Hull. Pemain pertama yang melakukan tendangan penalti adalah George Best, sedangkan yang pertama kali gagal menceploskan bola ke dalam gawang adalah Denis Law.

Tendangan Law saat itu digagalkan Ian McKechnie, menjadikannya sebagai penjaga gawang pertama yang menepis tembakan penalti. McKechnie juga menjadi kiper pertama yang mengambil tendangan penalti. Sayang, eksekusinya gagal sehingga Hull City tersingkir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun