NAMA Aditya sempat jadi pusat pemberitaan beberapa tahun lalu. Sayang, kabar yang beredar kala itu bikin mengelus dada. Pesepak bola eks diklat Persib Bandung ini harus mengalami amputasi akibat patah kaki saat bertanding.
Tindakan amputasi itu tidak perlu terjadi andai Aditya mendapat penanganan yang tepat sejak awal. Namun agaknya sudah guratan takdir menentukan demikian. Luka yang kian parah pada kakinya membuat dokter terpaksa mengambil langkah menyesakkan.
Sempat merasa down, Aditya kembali bersemangat menekuni olah raga. Hingga pada tahun ini pemuda berusia 24 tahun tersebut menemukan hikmah besar dari peristiwa buruk tersebut: dirinya berkesempatan tampil di Piala Dunia Amputasi 2022.
Patah Kaki
Sama halnya kebanyakan remaja seusianya, Aditya masuk ke diklat Persib Bandung pada 2014 dengan satu impian besar. Dia ingin menjadi pesepak bola profesional, pemain andalan Maung Bandung, serta tentu saja puncaknya membela timnas Indonesia.
Di diklat Persib, Aditya satu angkatan dengan Gian Zola Nasrulloh dan Hanif Syahbandi. Kita sama tahu sudah sejauh apa perjalanan karier dua pemain yang namanya disebut belakangan di pentas sepak bola nasional.Â
Demi meraih impian, Aditya remaja tak keberatan meniti karier dari tangga bawah. Dia memperkuat Persib U-17 dan juga aktif mengikuti berbagai kompetisi antarkampus. Semua demi mengasah kemampuannya di atas lapangan hijau.
Sayang, salah satu kompetisi yang Aditya ikuti justru membawa bencana.
Dalam obrolan di kanal YouTube REPUBLIKBOBOTOHTV setahun lalu, Aditya menceritakan kejadian buruk tersebut. Momen tersebut terjadi dalam event bertajuk Kampus Cup 2017. Gelaran yang disponsori salah satu merek kopi sachet ini diikuti sejumlah tim sepak bola kampus se-Bandung.
Kala itu klub yang dibela Aditya turun melawan tim Universitas Padjadjaran. Menit ke-11, dia mendapat peluang bagus untuk mencetak gol. Namun pada saat berusaha melewati kiper, lawan justru maju mengadang sambil melakukan tekel keras.
Aditya terjatuh. Bukan saja peluangnya untuk mencetak gol yang sirna, kejadian itu juga membuat sebelah kakinya patah.
Amputasi
Keluarga memutuskan pengobatan alternatif sebagai pertolongan pertama terhadap Aditya. Pemuda itu dibawa ke seorang ahli patah tulang di Cilengkarang, Kota Bandung. Namun ternyata ahli tersebut, seperti dituturkan Aditya, tidak sanggup.
Saat kontrol di pekan berikutnya, Aditya diminta mencoba berjalan kaki. Terang saja si pemuda merasa kesakitan, meski dia tahan demi kesembuhan. Sampai-sampai keringat membanjiri tubuhnya karena menahan rasa sakit.
Sesampainya di rumah, luka di kaki Aditya mengeluarkan banyak darah. Keadaan ini mendorong ayahnya untuk membawa sang anak ke rumah sakit khusus bedah.
Hasil pemeriksaan di rumah sakit menyatakan Aditya musti menjalani dua kali operasi. Yang pertama operasi kulit dan kedua operasi tulang. Mengingat kondisi kakinya yang sudah tergolong parah, dokter menganjurkan untuk langsung menjalani operasi.
Namun anjuran dokter tidak dapat dipenuhi keluarga Aditya. Ayahnya memutuskan tidak menjalani operasi dulu karena terkendala biaya. Pengobatan alternatif lantas kembali menjadi harapan.
Atas saran kerabat, Aditya dibawa ke satu tempat pijat patah tulang di kawasan Cibiru, Bandung. Juru pijat yang membuka praktik di sana konon berasal dari Cimande, Bogor. Cimande sendiri sudah sejak lama dikenal luas sebagai daerah asal Haji Naim, seorang legenda pijat patah tulang.
Saat melakukan pemeriksaan, ahli pijat tulang mengatakan kondisi kaki Aditya sudah parah. Aditya sendiri tidak merasakan apa-apa pada saat posisi tulangnya "dibetulkan". Namun luka yang sudah terlalu lama membuat dagingnya berhamburan jatuh ketika balutan pada area patah kaki dibuka.
Dua tahun tanpa penanganan tepat serta memadai, keadaan kaki Aditya bertambah buruk. Sampai pada akhirnya keputusan pahit itu harus diambil: amputasi. Sejak 2019, Aditya memulai lembaran baru dalam hidupnya sebagai pria berkaki satu.
Panggilan Jiwa
Siapa orangnya yang tidak bersedih kehilangan satu kaki. Namun Aditya cepat bangkit dan memotivasi diri sendiri. Toh, keputusan amputasi dia ambil dengan berlandaskan pemikiran jernih.
Pikir Aditya, seperti disampaikan pada BBC Indonesia, dengan diamputasi setidaknya dia bisa bangun lagi dan terus melanjutkan hidup walaupun cuma punya satu kaki. Ini jauh lebih baik ketimbang terus-terusan mempertahankan kakinya yang sudah luka parah.
Hanya satu hal yang kemudian membuat Aditya merana. Dengan satu kaki, dia tidak bisa lagi menekuni sepak bola. Benar-benar tidak terbayang olehnya bagaimana bisa bermain sepak bola lagi mengingat kini hanya punya satu kaki.
Padahal bagi Aditya sepak bola bukan sekadar hobi, melainkan panggilan jiwa. Dia merasa ada yang kurang di dalam hidupnya, di dalam dirinya, jika tidak bermain sepak bola. Inilah yang sempat membuatnya kehilangan semangat.
Merasa dirinya tak bisa lagi merumput, Aditya mencoba beralih ke cabang olah raga lain. Dia sempat menjajal voli duduk, tetapi merasa kurang sreg sehingga akhirnya berhenti. Renang juga pernah dia cicipi, tetapi merasa kurang tertarik dan lagi-lagi ditinggalkan.
Agaknya yang ada di hati Aditya memang cuma sepak bola. Tidak ada tempat bagi olah raga lain.
Sampai kemudian seorang kenalan memberi tahu Aditya tentang sepak bola amputasi. Dia pun mencari-cari referensi tentang sepak bola khusus penyandang disabilitas dengan satu kaki ini.
Pucuk di cinta ulam tiba. Inilah yang dicari-cari Aditya selama ini. Harapannya untuk bermain sepak bola kembali tumbuh. Maka dia segera memutuskan bergabung dengan Indonesia Amputee Football Association (INAF) alias Persatuan Sepak Bola Amputasi Indonesia (PSAI), PSSI-nya sepak bola amputasi.
Dari Nol Lagi
Jangan pikir Aditya yang eks peserta diklat Persib bisa dengan mudah memainkan sepak bola amputasi. Dia harus kembali memulai dari nol, sebab cabang ini sangat berbeda dengan sepak bola biasa yang pernah sangat dikuasai olehnya.
Meski sama-sama dimainkan di atas lapangan rumput, sepak bola amputasi mewajibkan para pemain memakai dua tongkat sebagai penopang tubuh. Inilah kesulitan pertama Aditya. Selama ini dia terbiasa menggunakan satu tongkat saja untuk berjalan.
Aditya lantas memulai petualangan barunya dengan berlatih keras agar dapat berlari menggunakan dua tongkat. Tentu saja tidak mudah, tetapi dia tidak mau lekas menyerah. Setiap hari dia berlatih dengan giat.
Seiring berjalannya waktu, Aditya bukan saja bisa berlari dengan bertumpu pada dua tongkat. Dia juga sudah dapat menggiring dan menendang bola. Kemampuannya sebagai seorang pesepak bola amputasi komplet sudah.
Kepercayaan diri Aditya kembali pulih. Dia bisa memainkan olah raga panggilan jiwanya lagi, sepak bola. Ketika kemudian INAF/PSAI mengadakan seleksi timnas sepak bola amputasi, Aditya turut serta dan dinyatakan lolos.
Pada perjalanannya, Aditya dipercaya memegang ban kapten timnas amputasi. Dunia yang semula telah dia anggap runtuh, kembali memberikan harapan pada Aditya. Bunga-bunga dalam impiannya kembali bermekaran.
Lolos Piala Dunia
Timnas PSAI mengikuti Kualifikasi Piala Dunia Amputasi 2022 Zona Asia Timur di Dhaka, Bangladesh, pada Maret lalu. Meski berangkat dalam kondisi penuh kekurangan, utamanya perkara dana, Aditya dan kawan-kawan tetap menunjukkan permainan terbaik. Semangat mereka tidak patah.
Hasilnya, tim tuan rumah Bangladesh mereka bantai dengan skor telak: 8-0. Aditya, dkk. seolah tidak mau kalah dengan timnas asuhan Shin Tae-yong yang menggebuk Nepal 7-0 di Kualifikasi III Piala Asia 2023.
Tak hanya atas Bangladesh, kemenangan juga diraih kala meladeni tetangga sebelah rumah, Malaysia. Skor 3-0 tercipta bagi kemenangan Indonesia. Dua kemenangan ini cukup untuk mengamankan satu tiket ke putaran final yang akan digelar di Turki, Oktober mendatang.
Bagi Aditya, tampil di Piala Dunia jelas sebuah impian besar yang tak disangka-sangka dapat menjadi kenyataan. Sesuatu yang bahkan tidak berani dia bayangkan saat masih merintis karier di sepak bola non-disabilitas.
Namun Aditya tidak ingin cepat berpuas diri. Bersama rekan-rekannya yang lain di timnas Garuda Inaf, dia bertekad memberikan penampilan terbaik di Turki. Mereka ingin mengulangi kesuburan saat melakoni kualifikasi.
Selain itu Aditya punya impian lain yang tak kalah besar. Dia bercita-cita mendirikan sekolah sepak bola amputasi. Baginya, sepak bola adalah olah raga bagi semua kalangan tanpa batasan apa pun. Siapa saja, kondisi apa pun harus bisa bermain.
"Sepak bola itu untuk semua, enggak ada itu diskriminasi dan perbedaan," ujar Aditya, seperti dikutip dari BBC Indonesia.
***
Suka dengan tulisan ini? Jangan sungkan-sungkan untuk mentraktir nanas madu kesukaan saya via Trakteer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H