BEBERAPA hari lalu saya dan istri ke apotek. Kami hendak membelikan satu produk 'pemanis alami dari sari jagung' untuk kakeknya anak-anak. Pada saat itulah kami baru ingat kalau stok kondom sudah habis.
Setelah berdiskusi singkat, saya dan istri sepakat untuk sekalian membeli kondom. Tidak ada pembahasan lebih lanjut mengenai merek. Sebab kami sudah mantap dengan satu merek murah meriah yang biasa dipakai sepanjang menikah.
Maka, begitu staf apotek menyerahkan sekotak 'pemanis alami dari sari jagung' yang sebelumnya kami pesan dan bertanya, "Apa lagi?" Istri langsung menjawab, "Kondom."
Sudah jadi kebiasaan pula, kami membeli yang kemasan kotak isi 24 pcs. Staf itu lantas berlalu lagi untuk mengambilkan apa yang kami ingin beli.
Ketika kemudian si staf kembali, dia langsung membungkus kotak kondom tadi dengan kertas putih. Saya pun jadi heran, sebab selama ini saya enggak pernah beli kondom di apotek. Saya lebih suka beli di minimarket atau malah secara online.
Didorong rasa heran, saya pun bertanya, "Kenapa dibungkus, Mbak?"
Si staf apotek lantas menjelaskan secara singkat, itu sudah semacam prosedur di tempat mereka. Khusus kondom, mau kemasan apa pun harus dibungkus kertas putih terlebih dahulu baru diserahkan pada pembeli.
Saya yang pada dasarnya suka bertanya, kembali mengejar dengan pertanyaan lagi. Apa itu dilakukan karena yang beli merasa malu ketahuan membeli kondom?
Tak ada jawaban. Si staf apotek hanya tertawa kecil, sembari terus menyelesaikan pekerjaannya. Setelah terbungkus rapi dalam balutan kertas putih, tidak akan ada yang tahu kalau di dalamnya kondom. Tentu saja kecuali saya, istri, si staf tadi, juga kasir kepada siapa kami membayar kemudian.
Perkara Umum
Tidak dapat tidak, kejadian di apotek itu membuat saya menduga satu hal: agaknya masih banyak orang yang malu jika ketahuan membeli kondom. Bahkan mungkin hendak membeli kondom pun merasa malu duluan.