Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Juara Piala Asia? Sabar, Rebut Piala AFF Dululah!

16 Juni 2022   00:00 Diperbarui: 16 Juni 2022   00:12 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Elkan Baggott merayakan gol ke gawang Nepal bersama Pratama Arhan dan Marselino Ferdinan. FOTO: dok. PSSI

ORANG Indonesia memang tak perlu diragukan lagi kalau sudah soal nasionalisme. Ini juga tercermin dalam setiap kali timnas bertanding. Tak peduli tampil di GBK, Pakansari, atau di stadion mana pun di seantero negeri ini, penonton selalu membludak.

Tidak peduli timnas kerap menunjukkan penampilan menggemaskan serta tak kunjung menjadi juara, dukungan suporter Indonesia tetap saja meriah. Bahkan saat tampil di negeri orang lain pun, pendukung Tim Garuda selalu banyak dan dipastikan ramai.

Contoh terbaru pertandingan semalam, ketika anak-anak asuhan Coach Shin Tae-yong berpesta 7 gol tanpa balas melawan Nepal. Mentas di Kuwait nun jauh yang berselisih 4 zona waktu, Indonesia seolah-olah bermain di rumah sendiri.

Sayang, tingginya semangat serta nasionalisme membuat orang Indonesia seringkali tak realistis. Logika selalu kalah dengan emosi berlebihan. Kenyataan pun selalu tertutup oleh harapan membuncah.

Ambil contoh jelang pertandingan melawan Yordania beberapa hari lalu. Banyak the so-called pundit di YouTube yang mengatakan target realistis timnas adalah seri. Target yang menurut saya lebih mirip harapan.

Belajar Lebih Realistis

Hei, Bung! Yordania berada di peringkat 90 FIFA saat memulai Kualifikasi III ini. Bandingkan dengan Indonesia yang menduduki peringkat 160. Selisihnya 70 angka!

Maka, menurut saya saat itu---seperti saya katakan pada istri, tanya saja dia kalau tak percaya---target paling realistis bagi timnas adalah tidak kalah dengan skor telak. Kalah tipis saja, syukur-syukur bisa mencetak gol balasan. Jangan malah jadi lumbung gol bagi Yordania.

Menahan imbang Yordania itu justru target melebihi realistis. Bukan berarti tidak optimis, tetapi kita sedang membicarakan probabilitas berdasarkan rasional yang ditumpukan pada deretan data. Ya, meski analisisnya masih ecek-ecek bermodal Google.

Okelah, bola itu bundar, katanya. Namun, tetapi saja the man behind the ball yang pegang kendali bagaimana nanti bola tersebut bakal bergulir di lapangan. Pada poin ini, timnas Yordania yang belum lama tampil apik di Piala Arab 2022 menurut saya lebih unggul ketimbang timnas kita.

Mari kita mundur agak lebih jauh, ke final leg kedua Piala AFF 2020 melawan Thailand awal tahun ini, untuk melihat contoh lain. Serupa tapi tak sama.

Kala itu Indonesia dibantai 0-4 di leg pertama. Para pemain tampak sekali down usai pertandingan, Shin Tae-yong menunjukkan raut muka kecewa, tetapi sebaliknya dengan netizen. Di media sosial, mereka melambungkan optimisme super tinggi: membalikkan keadaan di leg kedua. Pasti bisa!

Wahai! Bukan bermaksud meremehkan apalagi merendahkan kemampuan para pemain, ya. Namun, cobalah lebih realistis sedikit. Sedikiiit saja.

Timnas yang dibawa Coach Shin di Piala AFF 2020 merupakan skuat muda. Rataan usia pemain Indonesia waktu itu 23,7 tahun, salah satu yang paling rendah dibanding kontestan lain. Angka rataan tersebut bisa lebih rendah andai Victor Igbonefo tidak masuk skuat.

Bandingkan dengan Thailand yang membawa sederet pemain berusia lebih dari 30 tahun. Kiper andalan mereka sepanjang turnamen, Siwarak Tedsungnoen, malah nyaris menyentuh usia kepala empat: 37.

Coba kamu pikir, kata Lady Quinn, usia Siwarak itu dua kali lipatnya Ernando Ari Sutayadi. Bahkan Siwarak masih pantas menjadi ayah Nadeo Argawinata.

Dengan harapan-harapan yang seringkali tidak realistis begini, tak heran jika penonton dibuat kecewa berat saat timnas tak kunjung mampu mewujudkan harapan mereka. Euforia mengalahkan logika.

Mental Instan

Bukan cuma suporter, rupanya mental begini juga menjangkiti tuan-tuan pengurus PSSI. Contoh terbaru bisa kita lihat dari pemberitaan seputar PSSI sepanjang timnas melakoni Kualifikasi III Piala Asia 2023 di Kuwait.

Mungkin karena sadar kinerja mereka dinilai berdasarkan prestasi timnas, para pengurus PSSI terjebak untuk selalu menelurkan kebijakan berorientasi hasil instan. Tak peduli bagaimana caranya, yang penting timnas berprestasi.

Timnas menang, jadi juara kompetisi tertentu dan dielu-elukan netizen, lalu para pengurus PSSI dipuja-puji sehingga mendongkrak ... enggak jadi, deh.

Karena targetnya kesuksesan instan, maka cara mencapainya pun cari yang instan-instan pula. Maklum saja, periode jabatan ketua umum dan juga Exco PSSI tidak lama. Maka, harus cepat dan cepat.

Efeknya, proses pembinaan yang merupakan kunci kesuksesan sejati lagi langgeng terus-terusan dipinggirkan, kalau tak mau kita sebut diabaikan.

Ambil contoh program naturalisasi yang ditempuh sejak masa kepemimpinan Nurdin Halid. Meski memang ada manfaatnya, tetapi jika terus-terusan dijalankan apalagi sampai seperti diobral belakangan, program ini menurut saya jauh lebih banyak sisi negatifnya.

Kebijakan naturalisasi pemain hanya mempertegas mental instan para pengurus PSSI, sekaligus sikap tak acuh akan pentingnya proses pembinaan pemain. Juga sebetulnya sebentuk pengakuan dari PSSI sendiri bahwa mereka tidak mampu memutar liga seberkualitas asal para pemain naturalisasi.

Di masa Prof. Djohar Arifin Husin, mental instan tampak saat Alfred Riedl diganti secara semena-mena menjelang laga Pra Piala Dunia 2014 kontra Turkmenistan. Penggantinya, Wim Rijsbergen, dinilai lebih kompeten karena pernah merasakan atmosfer Piala Dunia bersama timnas Belanda (sebagai pemain) dan juga timnas Trinidad-Tobago (sebagai asisten pelatih).

Ya, di atas kertas Wim mungkin memang punya rekor lebih mentereng. Namun di atas lapangan terlihat jelas bagaimana Riedl jauh lebih berpengalaman sebagai pelatih. Menurut saya, penampilan timnas di bawah asuhan Wim di antara yang terburuk yang pernah saya tonton.

Terkini, gelagat serupa ditunjukkan dengan bergulirnya wacana pelengseran Shin Tae-yong dari timnas senior demi fokus pada timnas U-19. Ini isu yang digulirkan oleh PSSI sendiri, lo.

Kita semua tahu tahun depan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Timnas Indonesia U-19 bakal ikut berpartisipasi. Tentu tidak sulit rasanya membaca ke mana arah manuver dari bergulirnya isu downgrade Coach Shin.

Process Oriented

Tidak ada kesuksesan yang bisa diperoleh dengan cara-cara instan. Kalaupun bisa, ibarat mi instan, kenyangnya tak akan lama. Singapura bisa jadi contoh.

The Lions memang sempat sukses merajai Piala AFF berkat limpahan pemain naturalisasi. Namun lihatlah setelahnya bagaimana. Ya kembali lagi ke "setelan awal".

Bandingkan dengan Vietnam yang memilih sabar berada di jalur pembinaan berjenjang. Tak ada naturalisasi pemain, apalagi yang proses perekrutannya bikin timnas kita lebih mirip klub saja. Bikin garuk-garuk kepala.

Kesabaran Vietnam sudah bejalan lebih dua dekade dan mereka mulai memetik buahnya. Perlahan tapi pasti Vietnam adalah calon paling pantas untuk menjadi raja Asia Tenggara menggantikan Thailand.

Okelah, Vietnam masih jadi bulan-bulanan tim-tim raksasa Asia di Kualifikasi III Piala Dunia 2022. Namun setidak-tidaknya mereka menampilkan permainan menawan. Juga mampu memetik poin dan mencetak gol ke gawang lawan, bahkan menjadi tim AFF pertama yang meraih kemenangan di putaran itu.

Belajar dari para tetangga di Asia Tenggara, ada baiknya tuan-tuan pengurus PSSI mulai bersikap realistis dan lebih berorientasi pada proses dalam membuat kebijakan-kebijakan baru.

Ini dapat dimulai dengan secara serius membangun liga domestik yang lebih kompetitif dan berkualitas. Tingkatkan level para pengadil pertandingan. Jangan sampai lagi terjadi hakim garis Liga 1 tidak tahu bedanya offside atau bukan.

Banyak PR memang. Namun denga tekun dan sabar, satu demi satu pasti bisa diselesaikan.

Target Berjenjang

Khusus untuk timnas, pola pikir dan sikap process oriented bisa dipraktikkan dengan menyusun target secara berjenjang. Tentu saja target yang realistis dan terukur. Target-target sederhana tetapi tetap menantang untuk diraih, serta semakin lama semakin meningkat levelnya.

Contoh sederhana, sudah enam kali Indonesia mencapai final Piala AFF. Setengah lusin! Namun semua itu berujung nirgelar. Jadi, bagaimana kalau PSSI fokus pada target sederhana nan menarik ini: juara Piala AFF 2022?

Bermodal skuat yang membawa Indonesia ke final Piala AFF 2020, juga lolos ke putaran final Piala Asia 2023, Shin Tae-yong memberikan optimisme bagi saya. Saya yakin sekali, atau katakanlah berharap sekali, Coach Shin menjadi pemberi gelar pertama.

Begitu trofi Piala AFF sudah digenggam, barulah kejar target yang lebih tinggi. Misalnya, tampil dominan di kawasan Asia Tenggara. Di mana timnas tak lagi keteteran menghadapi Singapura atau Malaysia, juga tak lagi minder saat bertemu Thailand atau Vietnam.

Dari Asia Tenggara, barulah target selanjutnya masuk level Asia. Tak usah muluk-muluk, bisa menjadi langganan putaran final Piala Asia di setiap edisi saja sudah bagus.

Juga, jangan lagi timnas sampai menempuh tiga putaran kualifikasi plus sekali play-off seperti sekarang. Suatu saat kelak timnas harus sudah bisa mendapat tiket ke Piala Asia di kualifikasi pertama.

Berikutnya baru deh, pasang target untuk bisa lolos ke babak knock out. Ini fase yang belum pernah sekali pun diraih timnas dari sekian partisipasi. Siapa yang mau memecahkan rekor?

Namun, balik lagi, kita tetap harus bersikap realistis. Jangan setelah menyaksikan timnas main trengginas dan menang 7-0 atas Nepal, kita terlalu mengumbar euforia. Sampai-sampai melepas target terlampau muluk: menjuarai Piala Asia 2023.

Iya, saya juga percaya (atau lebih tepatnya berharap) timnas Indonesia bakal menjuarai Piala Asia suatu saat nanti. Namun, tidak sekarang.

Kapan? Kalau program pembinaan berjalan secara konsisten dan para pengurus PSSI tidak terus-terusan sibuk dengan urusan "asesoris" seperti mengubah-ubah nama dan format liga, saya estimasi Indonesia paling cepat baru akan jadi pesaing serius di Piala Asia pada 20-30 tahun lagi.

Tidak sabar? Ya sudah, kita rebut gelar juara Piala AFF 2022 dulu saja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun