Kala itu Indonesia dibantai 0-4 di leg pertama. Para pemain tampak sekali down usai pertandingan, Shin Tae-yong menunjukkan raut muka kecewa, tetapi sebaliknya dengan netizen. Di media sosial, mereka melambungkan optimisme super tinggi: membalikkan keadaan di leg kedua. Pasti bisa!
Wahai! Bukan bermaksud meremehkan apalagi merendahkan kemampuan para pemain, ya. Namun, cobalah lebih realistis sedikit. Sedikiiit saja.
Timnas yang dibawa Coach Shin di Piala AFF 2020 merupakan skuat muda. Rataan usia pemain Indonesia waktu itu 23,7 tahun, salah satu yang paling rendah dibanding kontestan lain. Angka rataan tersebut bisa lebih rendah andai Victor Igbonefo tidak masuk skuat.
Bandingkan dengan Thailand yang membawa sederet pemain berusia lebih dari 30 tahun. Kiper andalan mereka sepanjang turnamen, Siwarak Tedsungnoen, malah nyaris menyentuh usia kepala empat: 37.
Coba kamu pikir, kata Lady Quinn, usia Siwarak itu dua kali lipatnya Ernando Ari Sutayadi. Bahkan Siwarak masih pantas menjadi ayah Nadeo Argawinata.
Dengan harapan-harapan yang seringkali tidak realistis begini, tak heran jika penonton dibuat kecewa berat saat timnas tak kunjung mampu mewujudkan harapan mereka. Euforia mengalahkan logika.
Mental Instan
Bukan cuma suporter, rupanya mental begini juga menjangkiti tuan-tuan pengurus PSSI. Contoh terbaru bisa kita lihat dari pemberitaan seputar PSSI sepanjang timnas melakoni Kualifikasi III Piala Asia 2023 di Kuwait.
Mungkin karena sadar kinerja mereka dinilai berdasarkan prestasi timnas, para pengurus PSSI terjebak untuk selalu menelurkan kebijakan berorientasi hasil instan. Tak peduli bagaimana caranya, yang penting timnas berprestasi.
Timnas menang, jadi juara kompetisi tertentu dan dielu-elukan netizen, lalu para pengurus PSSI dipuja-puji sehingga mendongkrak ... enggak jadi, deh.
Karena targetnya kesuksesan instan, maka cara mencapainya pun cari yang instan-instan pula. Maklum saja, periode jabatan ketua umum dan juga Exco PSSI tidak lama. Maka, harus cepat dan cepat.
Efeknya, proses pembinaan yang merupakan kunci kesuksesan sejati lagi langgeng terus-terusan dipinggirkan, kalau tak mau kita sebut diabaikan.