BULAN Juni di tahun genap seperti ini seharusnya menjadi waktu bagi penggemar sepak bola sedunia untuk berpesta. Disuguhi tontonan berkelas dari pemain-pemain terbaik dunia dalam ajang kalau tidak Piala Dunia, ya Piala Eropa.
Sayang, wabah Covid-19 membuat beberapa agenda sepak bola di tahun genap harus tertunda. Euro 2020 yang seharusnya dimulai sejak 12 Juni 2020, dijadwal ulang menjadi 11 Juni 2021. Demikian pula Piala AFF 2020 yang baru pada digelar akhir 2021 lalu.
Untung saja Piala Dunia 2022 tidak ikut-ikutan ditunda. Hanya bergeser saja ke akhir tahun, bukan pada pertengahan tahun. Ini dilakukan dengan alasan kondisi cuaca tuan rumah yang bagi kebanyakan negara Barat tergolong ekstrem.
Ngomong-ngomong Piala Dunia, saya jadi ingin bercerita tentang sebuah kejadian yang lantas berujung keluarnya ucapan seperti pada judul tulisan ini. Ucapan berusia 20 tahun yang sangat membekas sekali dalam ingatan saya. Sebuah ucapan penuh sesal dari orang yang bahkan tidak saya ketahui namanya.Â
Entah kapan saya bisa melupakan kejadian dan ucapan tersebut. Atau malah tidak akan pernah? Entahlah.
***
Ketika itu saya tengah bekerja sebagai tenaga paruh waktu di sebuah hotel bintang empat di Solo. Â Saya bertugas sebagai bellboy, ujung tombal dalam menyambut dan menerima tamu. Termasuklah sosok yang akan saya ceritakan di sini.
Piala Dunia 2002 baru saja memasuki babak knock out. Banyak sekali kejutan yang terjadi. Di antara pertandingan mengejutkan yang melegenda adalah kalahnya Prancis dari Senegal di partai pembuka. Juga betapa perkasanya Korea Selatan yang lolos ke fase gugur sebagai juara Grup D.
Sebagai pandemen sepak bola, tentu saja saya mengikuti setiap pertandingan. Walaupun pada sebagian besar kesempatan harus curi-curi menonton tivi di lobi sambil membuka-tutup pintu serta menyapa tamu. Atau hanya menonton beberapa puluh sampai belas menit terakhir karena mendapat shift di jam sibuk.
Lalu tibalah hari itu. Selasa, 18 Juni 2002.