Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenang Perjumpaan dengan Amina Sabtu, Fatmawati-nya Tidore

18 Juli 2018   22:06 Diperbarui: 19 Juli 2018   17:26 3499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Almh. Nenek Amina Sabtu bersama Ipul (paling kiri), Olan, dan dua cucunya yang lain saat pertama kali saya temui pada 11 April 2017. FOTO: Eko Nurhuda

Didahului Ci Ita sekeluarga, satu-satu kami berjongkok menyalami Nenek Na. Saat saya mencium tangannya, Nenek Na memandangi wajah saya lekat-lekat. Pandangan matanya begitu tajam, tapi juga penuh kelembutan seorang nenek terhadap cucu. Mulutnya berkomat-kamit seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada sedikit pun suara yang keluar.

Ci Ita lalu mendekati Nenek Amina lagi. Olan sigap berdiri di sebelah Nenek, membungkukkan badan agar mulutnya tepat berada di telinga neneknya.

"Ini kawan-kawan dari Jakarta, Nek. Pengen jumpa Nenek," ujar Ci Ita memperkenalkan kami setelah semua anggota rombongan menyalami si nenek.

Almh. Nenek Amina Sabtu bersama Ipul (paling kiri), Olan, dan dua cucunya yang lain saat pertama kali saya temui pada 11 April 2017. FOTO: Eko Nurhuda
Almh. Nenek Amina Sabtu bersama Ipul (paling kiri), Olan, dan dua cucunya yang lain saat pertama kali saya temui pada 11 April 2017. FOTO: Eko Nurhuda
Nenek Amina memandangi wajah Ci Ita, lalu menoleh memandangi kami satu per satu. Tuan rumah menyediakan tiga kursi kosong, namun jumlah kami 14 orang. Jadilah kami duduk lesehan di lantai, beberapa lagi berdiri merapat tembok. Tiga kursi diduduki Ci Ita, Yuk Annie, dan Fia puteri Ci Ita.

Melihat sebagian kami berdiri, Nenek Amina menoleh ke arah Olan dan mengatakan sesuatu. Suaranya kecil sekali. Olan tersenyum, menganggung-angguk, lalu menjawab dalam bahasa Tidore.

"Nenek suruh duduk," Olan menerjemahkan. Rupanya Nenek Amina meminta Olan cari tambahan kursi agar kami semua bisa duduk.

Kami jadi tersenyum. Ci Ita mewakili menjawab, "Iya, Nek. Biar, tidak apa-apa." Lalu kepada yang masih berdiri Ci Ita memberi aba-aba agar duduk. Kami pun lesehan di lantai beralas karpet plastik.

Nenek Amina sudah sangat lanjut. Beliau berusia 19 tahun saat Kakek Dullah, dkk. mengibarkan bendera merah putih pada 18 Agustus 1946. Itu berarti pada malam kami mengunjunginya saat itu, 11 April 2017, usia Nenek Na genap 90 tahun. Bisa dimaklumi jika daya pendengarannya, seperti kata Olan, sudah berkurang.

"Ini Nenek Amina yang saya ceritakan," Ci Ita berkata lagi. "Nenek ini yang menjahit bendera merah putih pertama yang dikibarkan di Tidore."

Kami menyimak. Saya sendiri seketika terbayang pada sosok almarhum Simbah dari pihak ibu. Jika masih hidup, saya rasa usia Simbah hanya terpaut satu-dua tahun dari Nenek Amina. Sewaktu saya kecil Simbah sering bercerita pengalamannya di zaman Jepang. Simbah juga sempat mengajarkan beberapa mars tentara Dai Nippon.

Ci Ita lalu melanjutkan. Suaranya berubah parau. "Kasihan Nenek. Selama ini nggak ada yang merhatiin..." ucapannya terputus. Sebelah tangannya cepat mengusapkan tisu ke sudut-sudut mata. Saya melihat ada kristal di kedua mata tersebut. Ci Ita menangis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun