Kalau sekedar menjepret sih bisa, tapi menghasilkan foto yang berkualitas baik untuk keperluan blogging ya sangat tidak memadai. Tidak tajam, tidak fokus. Kalau dibuka di perangkat bermonitor besar gambarnya pecah. Maklum, pikselasi kameranya hanya 320 x 240 px.
Yang paling tidak enak kalau ikut acara di dalam ruangan. Saya pernah mengikuti sebuah event blogger di Goethe Institut, Menteng, Jakarta. Acaranya baru dimulai jelang magrib, di dalam ruangan tanpa sumber cahaya apapun selain lampu. Saya coba mengabadikan momen tersebut dengan smartphone saya. Cekrek, cekrek. Dilihat di layar smartphone yang hanya selebar 2.44 inci sih oke. Tapi begitu diunggah ke blog, alamak!
Jangan tanya bagaimana hasil fotonya kalau saya melakukan zooming. Hancur. Padahal ruangannya diset sedemikian rupa sehingga penonton berada jauh dari panggung. Jadi kalau mau ambil foto performance bintang tamu di panggung mau tidak mau ya nge-zoom.
Demikian pula sewaktu ikut acara nonton bareng. Seseruan di lokasi nobar tidak bisa saya abadikan dengan baik karena kamera smartphone milik saya tidak memadai untuk mengambil gambar di malam hari. Inilah sebabnya saya tidak punya dokumentasi apapun saat menyaksikan Liverpool FC bertanding melawan tim Indonesia XI di Stadion Utama Gelora Bung Karno, medio 2013 lalu.Â
Harap dicatat, ini tidak bermaksud menjelek-jelekkan smartphone saya sendiri lhoya. Ini adalah gambaran kalau kita, atau lebih tepatnya saya, tidak bisa menghasilkan foto berkualitas dengan kamera alakadarnya.
Jujur saja timbul rasa iri kalau melihat kawan-kawan Kompasianer yang datang ke even-even membawa smartphone keren, juga tablet high-end, malah ada pula yang menenteng kamera DSLR. Hasil fotonya tentu saja keren-keren. Reportase mereka terasa lebih menarik dibaca karena ditambahi foto-foto berkualitas bagus.
Berbekal smartphone keren tadi, rekan-rekan Kompasianer tersebut bisa melakukan live tweet atau live reporting sepanjang acara. Tentu saja dilengkapi foto-foto yang menyajikan momen menarik. Tak cuma di Twitter, mereka juga update di Instagram dan Facebook. Lalu yang punya akun YouTube membuat vlog. Kemudian di akhir acara mereka saling berkenalan dan ditutup dengan foto selfie atau wefie.
Ugh, kapan ya saya bisa seperti itu?
[caption caption="Contoh hasil bidikan kamera Samsung Galaxy S7 dan S7 Edge. (FOTO: Samsung.com)"]
Lebih Baik Bersama Samsung Galaxy S7
Jadi, menurut saya seorang Kompasianer tak cukup hanya piawai melahirkan tulisan ciamik. Ia juga harus bisa menjadi fotografer handal sehingga dapat melengkapi kontennya dengan foto-foto terkait. Untuk itulah Kompasianer tersebut butuh perangkat memadai demi mendukung kinerjanya.
Menyinggung soal perangkat memadai, saya sangat antusias sekali menyaksikan semaraknya rilis resmi Samsung Galaxy S7 dan Samsung Galaxy S7 Edge pada Februari lalu. Digelar di gedung Centre de Convencions Internacional de Barcelona, Spanyol, perusahaan teknologi asal Korea Selatan ini mengajak pengguna smartphone untuk memikirkan ulang apa yang bisa dilakukan sebuah gawai bagi kehidupan si pemilik.