Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Mimpi Punya Sepeda Lagi

25 Maret 2016   23:43 Diperbarui: 4 April 2016   20:33 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sepeda WimCycle tipe MTB Fatman, sepeda idaman saya. FOTO: Wimcycle.com"][/caption]

Setiap kali mengunjungi Facebook, saya kok jadi semakin kepengin punya sepeda lagi. Lho, apa hubungannya?

Jadi begini. Salah seorang teman Facebook saya dari Purbalingga selalu mengunggah foto-foto dia tengah bersepeda. Bukan bersepeda ke kantor apalagi ke pasar ya. Teman satu ini punya sebuah komunitas gowes yang setiap pekan rutin menelusuri rute-rute tertentu sembari berwisata alam.

Kebanyakan sih gowesnya masih dalam area Kabupaten Purbalingga. Mengunjungi tempat-tempat wisata alternatif yang tak kalah indah dari yang lebih populer, atau menapak-tilas jejak peradaban lampau dengan mendatangi situs-situs sejarah. Beberapa kali dia dan teman-teman gowesnya juga menempuh rute lintas kota, sampai ke Purwokerto dan Banyumas. Lumayan itu kalau bersepeda bolak-balik.

Kemarin, dia kirim pesan via Facebook Messenger ke saya, menanyakan spot-spot wisata menarik apa saja yang ada di Pemalang. Dia mengutarakan niat untuk gowes ke Pemalang suatu waktu. Wuih, semakin lama semakin jauh jarak tempuhnya. Kalau rencana ini terlaksana, beri dua jempol saja tidak cukup. Soalnya rute Purbalingga-Pemalang jalurnya naik-turun bukit. Jalannya sempit dan dilewati banyak kendaraan lintas provinsi. Tidak mudah.

Saya jawab, wisata Pemalang yang paling menarik justru ada di sebelah selatan. Ini wilayah Pemalang yang berbatasan langsung dengan Purbalingga. Perkebunan teh di Moga, contohnya. Atau perkebunan agrowisata di Belik. Kalau mau mendekati sisi utara Gunung Slamet juga bisa ke gardu pandang di Moga. Ingin main air bisa mendatangi Curug Bengkawah atau Curug Sibedil. Semuanya di Pemalang sisi selatan.

Habis chat dengan dia saya jadi teringat impian ambisius saya beberapa tahun sebelumnya. Tepatnya hanya beberapa bulan setelah menikah medio 2009, saya punya impian bersepeda Pemalang-Jogja. Impian yang sampai sekarang belum terwujud.

Waktu itu saya masih sering bolak-balik Jogja-Pemalang. Saya lebih banyak berada di Jogja untuk urusan pekerjaan, sedangkan istri mengajar di Pemalang. Biasanya saya naik bis Pemalang-Purwokerto melewati daerah-daerah Pemalang selatan dan Purbalingga utara menuju Purwokerto, lalu berganti bis ke Jogja. Pemandangan di sepanjang jalur Pemalang-Purbalingga ini sungguh menyejukkan mata. Hijau di mana-mana. Udaranya pun sejuk. Apa daya, jangankan bersepeda Pemalang-Jogja, sepedanya saja saya belum punya. :)

Diajari Teman

Agak lupa-lupa ingat, tapi rasanya terakhir kali saya bersepeda sudah hampir 10 tahun lalu. Maksudnya, bersepeda yang intens setiap hari dan menempuh rute lumayan jauh. Kalau cuma iseng bersepeda 5-10 menit sih masih sering, pinjam sepeda bapak mertua atau tetangga biasanya.

Saya sendiri terhitung telat belajar sepeda. Itupun karena dipaksa kondisi. Lahir dan besar di kota besar seperti Palembang, sepeda tidak dibutuhkan bagi keluarga kami. Mau pergi ke mana-mana ada angkutan umum yang selalu siap berhenti hanya dengan melambaikan tangan. Lagipula rumah kami terletak di sebuah lorong dan diapit rumah tetangga dengan halaman sempit. Tak ada ruang untuk bersepeda secara leluasa bagi anak-anak seumuran saya.

Naik kelas lima SD kami sekeluarga pindah ke daerah transmigrasi bernama Batumarta VIII. Di sana pemukiman warga dibagi-bagi dalam blok-blok, dan saya bersama orang tua tinggal di Blok A. Sementara sekolah saya berada di Blok D. Untuk menuju ke sekolah, saya harus menempuh perjalanan selama 25-30 menit melewati hutan dan perkebunan karet.

Banyak anak-anak asal Blok A yang bersekolah. Sehingga kami biasa berangkat sekolah ramai-ramai jalan kaki. Tergantung cuaca hari itu, kalau malamnya hujan sepatu dilepas dan perjalanan ditempuh dengan telanjang kaki. Sesampainya di sekolah barulah cuci kaki dan sepatu dipakai kembali.

Lalu tibalah saat Ebtanas alias ujian akhir untuk siswa kelas VI SD. Masalah bagi saya datang, sebab lokasi Ebtanas bukan di sekolah saya, tapi di sekolah lain yang jaraknya lebih jauh. Tak mungkin jalan kaki karena ujian sudah dimulai jam 07.00 WIB. Lagipula siswa kelas VI dari Blok A hanya ada empat anak termasuk saya. Nah, yang jadi masalah adalah saya belum bisa naik sepeda!

Jadilah libur hari tenang selama sepekan sebelum Ebtanas saya manfaatkan untuk belajar naik sepeda. Memakai sepeda dewasa milik tetangga, saya diajari seorang teman sepermainan yang merupakan adik ke;as. Dengan sabar teman saya ini memegangi boncengan sepeda agar saya dapat latihan menyeimbangkan badan dan menggenjot. Alhamdulillah, sehari sebelum Ebtanas saya sudah lancar melajukan sepeda dalam jarak jauh.

Lulus SD saya masuk SMP yang terletak di desa tetangga, dikenal sebagai Batumarta VI atau Unit VI. Saya tinggal bersama adik Ibu, seorang bidan yang bersuamikan tentara. Sebagai bidan desa, Bulik mendapat sepeda inventaris. Tapi karena beliau sudah punya sepeda motor, sepeda inventaris itu pun jadi "milik" saya. Di situlah saya lebih lancar lagi bersepeda.

Aktivitas bersepeda mulai jarang saya lakukan saat pindah ke Jambi. Di sini sekolah dekat, sehingga saya cukup berjalan kaki. Di SMA pun demikian, saya lebih suka berjalan kaki ke sekolah karena dekat sekali dengan kontrakan. Praktis, bersepeda hanya untuk jalan-jalan sore saja keliling desa bersama adik saya yang masih kecil.

Ke Kampus dengan Sepeda

Masuk bangku kuliah di Jogja, barulah saya akrab lagi dengan sepeda. Kampus yang jauh dari kos-kosan membuat saya memilih beli sepeda. Jadilah wira-wiri ke kampus, ke minimarket untuk beli kebutuhan sehari-hari, ke warung makan, ke perpustakan, ke kontrakan kawan, saya naik sepeda.

Kenapa tidak sepeda motor saja? Pertama, harga sepeda jauh lebih murah. Lebih-lebih di Jogja banyak ditawarkan sepeda bekas dalam kondisi bagus dengan harga murah. Kedua, sepeda tidak perlu bensin untuk dijalankan. Ketiga, pengendara sepeda tidak perlu memiliki SIM untuk bisa berkendara di jalanan, juga tidak dikenakan pajak tahunan. Keempat, bersepeda itu menyehatkan.

Beruntung sekali teman-teman kampus banyak yang suka bersepeda. Bahkan ada yang rumahnya sangat jauh dari kampus, tapi tetap memilih bersepeda setiap kali ada kuliah. Salut!

Oya, waktu itu sepeda yang saya pakai sepeda biasa. Entah mereknya apa karena saya beli dari teman. Catnya sudah diganti sehingga merek aslinya sudah hilang. Meski bekas, sepeda pertama saya tersebut menemani saya selama kira-kira dua tahun, sebelum berganti sepeda yang sedikit lebih bagus. Sepeda yang rantainya bisa diatur supaya kita bisa menggenjot dengan ringan tapi laju sepeda tetap kencang.

Lalu terbitlah angan-angan bersepeda ketika saya mulai bolak-balik Jogja-Pemalang setelah menikah pada Agustus 2009. Sayang, semuanya itu baru sebatas mimpi. Hingga kemudian punya dua anak, impian punya sepeda belum juga keturutan.

Sepeda WimCycle

Meski demikian impian harus terus dijaga. Cara saya menjaga impian tersebut adalah dengan rajin-rajin membaca ulasan tentang sepeda. Sering juga saya menyimpan foto-foto sepeda yang saya dapat dari internet. Walau sangat jarang menonton televisi, tapi saya terbantu juga dengan sinetron bertema sepeda-sepeda karena terus mengingatkan saya pada impian punya sepeda. Setiap hari.

Saya tak terlalu silau dengan produk impor. Apalagi pabrikan lokal dapat memproduksi sepeda tak kalah bagus, bahkan berstandar internasional. Contohnya PT Wijaya Indonesia Makmur Bicycle Industries.

Perusahaan pemegang merek sepeda WimCycle ini bukan perusahaan abal-abal. Perusahaan ini sudah beroperasi sejak 1972, mendominasi pasar lokal Indonesia dan sekarang malah menembus pasar dunia. Setidaknya sepeda WimCycle dipasarkan di 20 negara. Prestasi yang tentunya mencerminkan kualitas sepeda-sepeda produksi perusahaan yang didirikan oleh Hendra Widjaja ini.

Untuk urusan kualitas, WimCycle menerapkan standar internasional pada sepeda-sepeda produksinya. Untuk tabung mekanik, misalnya, telah lulus uji Japan Industrial Standard alias berstandar Jepang. Lalu bagian-bagian komponennya lulus uji British Standards and Customer Product Safety Comission Standard. Dengan kata lain, komponennya berstandar Inggris. Standar Eropa.

Keunggulan produk WimCycle diakui dengan sertifikat ISO 9001 pada tahun 2008. Di pasar domestik, merek WimCycle adalah pemegang penghargaan Superbrand selama lima tahun berturut-turut pada 2005 hingga 2009. Ditambah predikat TOP BRAND selama tiga tahun berturut-turut pada 2007, 2008 dan 2009. Lalu tahun ini mendapatkan predikat Kids Top Brand untuk produk-produk sepeda anaknya.

Kembali ke sepeda idaman, rasanya tak perlu pikir panjang bagi saya untuk memilih sepeda WimCycle. Brand lokal dengan kualitas internasional dan telah berpengalaman puluhan tahun. Apalagi untuk memilih sepedanya saya cukup mengunjungi situsnya yang beralamat di WimCycle.com, buka menu PRODUCT, lalu pilih MOUNTAIN BIKE alias sepeda gunung dan terakhir klik pilihan HARD TRAIL. Tinggal pilih deh.

Kalau boleh memilih sih, saya maunya MTB Fatman yang bannya gede itu. Tolong bantu aminkan ya... :)

[caption caption="WimCycle MTB Fatman. FOTO: Wimcycle.com"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun